Menguak Kisah Marsinah
Slamet Rahardjo meniupkan roh Marsinah ke atas layar perak. Film Marsinah lebih memotret sosok Marsinah dari mata Mutiari—tokoh yang dituduh sebagai otak pembunuhan—daripada menggunakan pendekatan biografis. Bagaimana Slamet menampilkan adegan penyiksaan?
Marsinah (Cry Justice)
Sutradara : Slamet Rahardjo Djarot
Skenario : Agung Bawantara, Karsono Hadi, Tri Rahardjo, Slamet Rahardjo, Eros Djarot
Pemain : Megarita (Marsinah), Diah Arum (Mutiari)
Produksi : PT Gedam Sinemuda Production
***
SEKELEBAT gambar hidup, sekelebat jeritan, sekelebat kematian. Marsinah hadir dalam adegan-adegan yang begitu cepat, susul-menyusul berdesakan dengan potongan gambar lain. Dia datang begitu cepat dengan semangat menggebu untuk memperjuangkan kenaikan upah buruh dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250 per hari. Dan dia pergi begitu cepat pada suatu malam tanggal 5 Mei 1993 dan tak pernah kembali. Empat hari kemudian, ia ditemukan tergeletak tak bernyawa dengan kondisi yang mengerikan di Dusun Jegong, Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur.
Tokoh Marsinah dalam rekaan sutradara Slamet Rahardjo Djarot hanya tampil dalam durasi yang begitu pendek. Namun, rohnya hidup hingga akhir film ini. Jika begitu banyak yang memprotes kenapa film ini memberikan porsi yang lebih banyak kepada Mutiari, harus dipahami bahwa penonton (Indonesia) tampaknya masih terbiasa dengan pendekatan biografis, terutama bila sosok yang diangkat sudah menjadi ikon, lambang, atau pahlawan.
Film ini pada akhirnya memang hanya mengambil satu cuplikan periode peristiwa yang dimulai dari demonstrasi para buruh PT Catur Putra Surya; disusul kematian Marsinah; pencidukan sembilan orang tertuduh, termasuk Mutiari, kepala personalia per-usahaan itu, yang dianggap sebagai otak pembunuhan; hingga pengadilan para tersangka. (more…)
‘1965’
Goenawan Mohamad
‘1965’ has become a kind of code to decipher: what Sundanese call a ‘titimangsa’, a code for a catastrophic occurence—something called ‘historic event’—and because of this, always simplifi ed. The murder of a group of generals. The terrifying revenge against the Indonesian Communist Party. The beginning of traumatic change in the history of Indonesian politics.
We know that ‘1965’ is much more than that. “History is the stride of a heartless giant,” the words in the novel Amba say, in a letter that has been hidden for years beneath a tree on the island of Buru after the writer, a doctor and political prisoner, was murdered. “History removes ordinary people from the records.”
The novel Amba portrays people who have been removed from the records of 1965—as does the novel Pulang.
For some reason, these two lengthy novels appeared close to each other in 2012. Amba, by Laksmi Pamuntjak, describes in wonderful prose the life of a young woman who is the daughter of a teacher in the small town of Kadipura, the changing and tense atmosphere in Central and East Java, the violent clashes in Yogya, and finally the life of those exiled on Buru Island. Pulang, by Leila S. Chudori, in lively and captivating narrative tells the story of those who were forced to become exiles in Europe, or who were killed in Jakarta, because they were considered to be ‘Communists’—and also their families, friends and children.
For some reason, it seems that 2012 was the year of remembering. ‘1965’ is the focus. A special edition of the journal Tempo published interviews with those who took part in murdering Communists or those suspected of being Communists around 1965; this was the fi rst time that such reporting had ever been published in Indonesia.
Then there was the documentary fi lm The Act of Killing by Joshua Oppenheimer about the 1965 executioners who were making a fi lm about their own exploits at execution, a documentary at times funny in parody-like way, at times cocky, disgusting, and horrifying—a film that Zen Rs fittingly decribed as “a grotesque picture of Indonesianness.” (more…)
BOOKS
NADIRA
Cetakan 1 : 2015 (Pengembangan dari ‘9 dari Nadira’ dengan dua tambahan cerita: “Sebelum Matahari Mengetuk Pagi” dan “Dari New York ke Legian” Penerbit : PT Kepustakaan Populer Gramedia Tebal : 301 halaman Ilustrasi muka dan dalam : Ario Anindito Harga : Rp 70 ribu Beredar di Toko Buku Gramedia atau pesan online www.gramediaonline.com atau www.grazera.com atau https://twitter.com/GrazeraCom |
||||||
Malam Terakhir
Terbit Pertamakali 1989 Penerbit PT Pustakan Utama Grafiti Tebal : 205 Halaman Pengantar : HB Jassin Ilustrasi Halaman Muka dan Dalam : Edi RM |
Malam Terakhir
Terbit Ulang : Cetakan Pertama, 2009 Penerbit : PT Kepustakaan Populer Gramedia Tebal : 117 Halaman Pengantar dari Penulis Ilustrasi Halaman Muka: Maryanto |
|||||
Malam Terakhir
Cetakan ke 2, 2013 Penerbit: PT Kepustakaan Populer Gramedia Tebal : 117 Halaman Ilustrasi : Jim Bary Aditya Beredar di Toko Buku Gramedia atau pesan online www.gramediaonline.com |
9 dari Nadira
Cetakan 1, 2009 Cetakan ke 2, 2010 Penerbit : PT Kepustakaan Populer Gramedia Tebal : 267 Halaman Pengantar dari Penulis Ilustrasi muka dan dalam : Ario Anindito Beredar di Toko Buku Gramedia atau pesan online www.gramediaonline.com |
|||||
Pulang, Sebuah Novel
Cetakan 1, Desember 2012 Cetakan 2, Januari 2013 Cetakan 3, Maret 2013 Cetakan 4, Desember 2013 Penerbit : PT Kepustakaan Populer Gramedia Tebal Halaman: 464 halaman Ilustrasi muka dan dalam: Daniel Cahya Krisna Beredar di Toko Buku Gramedia atau pesan online www. grazera.com atau www.gramedia.com Untuk e-book pembelian “Pulang” hubungi: http://www.getscoop.com/buku/pulang-27248 |
||||||
Pulang, Sebuah Novel
Cetakan 5, September 2014 Penerbit : PT Kepustakaan PopulerGramedia Tebal Halaman: 464halaman Ilustrasi muka dan dalam: Daniel Cahya Krisna Beredar di Toko Buku Gramedia atau pesan online www. grazera.com atau www.gramedia.com Untuk e-book pembelian “Pulang” hubungi: http://www.getscoop.com/buku/pulang-27248 |
||||||
“Pulang, Nostalgia, Harapan dan Kebebasan”
Robertus Robet
Home is where one starts from. As we grow older
The world becomes stranger, the pattern more complicated
Of dead and living.
(T.S. Elliot, East Coker, “Four Quartets)
Ke mana kita pulang, rupanya bukan melulu urusan arah atau tempat dari mana orang berasal. Pulang bukanlah perkara teritori geografis yang melekat dalam ekslusifitas praktik rutin individual yang tanda materialnya tergeletak rongsok dalam rupa tiket kereta api yang dijepit atau karcis tol yang tercecer, atau sepatu dan sandal yang tertata di depan pintu rumah. Pulang rupanya adalah elemen kompleks dan paling emosional, resonansi terdalam dari pengalaman kehidupan yang seringkali bersifat epik.
Dua milineum lalu, Homer memulai kisah mengenai dahsyatnya hasrat ingin pulang. Odysseus diceritakan menerjang segala godaan, menghadapi berbagai monster guna memenuhi rasa rindu paripurna untuk pulang ke tempat yang ia kenal pertama kalinya. Homer memberikan jiwa tokoh Odeysseus dengan hasrat untuk pulang. Banyak penulis kemudian, seperti Homer –langsung maupun tak langsung, menjadikan pulang sebagai tema arketip. Penulis besar seperti Virginia Wolf, Doris Lessing hingga Tony Morrison, masing-masing pernah mengisahkan pengalaman nostalgis manusia, tentang hasrat yang sekaligus juga ratapan mengenai suatu tempat di luar sana. Lalu hari ini kita menghadapi novel Pulang karya Leila S. Chudori.
Berhadapan dengan sebuah novel, kita diberi beberapa pilihan sikap. Pilihan pertama, kita bisa menghadapinya dalam kerangka seorang ahli estetika dan ahli bahasa yang memeriksa seluruh pernik serta detail kelengkapan, tata bahasa, fakta dan keunggulan estetis sebuah karya. Dari situ kita menyajikan plus-minus, efek rasa dan dimensi estetis novel tersebut kepada pembaca. Sikap kedua, kita bisa berdiri sebagai seorang Marxist, yang menilai sejauh mana novel ini mengungkap relasi-relasi sosial dan sejarah penindasan kelas. Dari situ vonis kita jatuhkan dengan kategori: novel revolusioner atau novel kontra-revolusioner. Sikap ketiga, kita bisa juga menghadapinya seperti seorang Michele Foucault. Melalui novel, kita memeriksa sejarah intelektual si penulisnya. Mengapa si penulis memilih A dan bukan B, mengapa si penulis memilih konsep atau ide A atau peristiwa B, apa kira-kira yang menjadi landasan dan kepentingannya? Doktrin kebenaran apa yang mau disajikan di dalam novel? Pilihan keempat, kita bisa mengambil sikap kesetaraan Ranciere. Dalam sikap ini yang utama bukan bagaimana novel menyajikan keadiluhungan estetiska, atau mengungkap kontradiksi kelas atau versi kebenaran apa, melainkan justru sejauh mana novel ini menerabas sekat-sekat estetis hingga bisa diresapi oleh orang banyak. Novel yang berhasil adalah novel yang secara estetis justru mampu menerjang klaim-klaim estetika dan ke-adiluhungan sehingga mampu dicerna secara setara oleh banyak orang. Cara kelima adalah cara paling mudah, dianjurkan oleh Richard Rorty. Bagi Rorty, sebuah novel tidak perlu dilihat aspek intrinsik estetisnya. Yang penting adalah bagaimana kegunaan novel itu dalam rangka ‘extensification of the self’ , sejuah mana sastra mampu mempeluas diri atau mereplikasi kemanusiaan ke dalam pembacanya hingga bisa menghalau fear and violences.
Oleh karena keterbatasan saya dalam bidang sastra, saya lebih menyukai pilihan keempat dan kelima: Ranciere dan Rorty. Oleh karenanya, soal teknis bahasa, gaya, diksi, teknis bagaimana plot disusun, bagaimana penokohan dibangun dan bagaimana level estetika, bukan menjadi urusan saya. Yang terpenting bagi saya adalah bagaimana sebuah karya mampu menerjang dan merobohkan sekat-sekat linguistik dan estetis hingga ‘affect dan effectnya’ terasa bagi semua orang dan pada akhirnya ia mampu memperluas perasaan kemanusiaan. (more…)
KEBARUAN DALAM 9 DARI NADIRA
Maman S Mahayana
Konsep cerpen—novel akhirnya gagal mempertahankan dirinya.[1] 9 dari Nadira (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Oktober 2009, xi + 270 halaman) karya Leila S. Chudori boleh mengajari para penghamba teori untuk tidak lagi bersikukuh pada konsep.[2] Bukankah teks sastra yang melahirkan teori? Maka ia harus rela mendahulukan teks (sastra) yang berhasil menyibakkan rimbun teori dalam membuka jalan baru. Itulah yang terjadi pada 9 dari Nadira yang berada pada garis demarkasi cerpen—novel. Jadi, sinyalemen Budi Darma tentang 9 dari Nadira sebagai novel, patutlah dipertimbangkan.[3] Bahkan, mengingat
* Makalah Diskusi 9 dari Nadira, diselenggarakan Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, Salihara, 2 Agustus 2010.* Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Kini bertugas sebagai dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan.[1] Sejak awal pertumbuhannya, konsep cerpen (cerita pendek) memang tidak mengadopsi konsep cerpen (short stories) dari Barat. Sejak sejumlah penerbit swasta menerbitkan karya-karya sastra, penyebutan cerita dan hikayat sering digunakan dalam pengertian yang sama. Penulisan kata Hikayat pada sejumlah cerita –novel dalam pengertian sekarang—seperti Hikajat Soeltan Ibrahim (1890), Hikajat Amir Hamzah (1891), Hikajat Njai Dasima (1896) karya G. Francis sampai ke Hikayat Kadirun (1920) karya Semaun, Hikajat Soedjanmo (1924) karya Soemantri serta karya para penulis Cina Peranakan menunjukkan adanya hubungan yang sangat dekat dengan hikayat dalam kesusastraan Melayu lama. Jika kita mencermati cerpen-cerpen Indonesia yang awal, maka di satu sisi, terbuktilah, bahwa penulisan prosa Indonesia modern dimulai dari cerpen, dan di sisi lain, menegaskan bahwa kesusastraan Indonesia tidak lahir dari sebuah kekosongan. Ada sebuah perjalanan yang bergulir mencari jati dirinya. Lihat saja majalah Sahhabat Baik yang pertama kali terbit Desember 1890, sebagai kelanjutan Soerat Kabar India-Nederland. Dinyatakan dalam semacam kata pengantar majalah itu: “Sabermoela kita mengchabarkan jang Soerat Kabar India—Nederland jang tjontonja tahoen lennyap di kirimkan kepada sekalijan orang isi negri di Tanah India—Nederland tidak boleh di teroeskan terbitnja, maka sebab ija tidak dapat pertoeloengan bagaimana mestinja… (dikutip sesuai aslinya), di dalamnya termuat cerita pendek berjudul “Tjerita Langkara dari Orang Isi Negeri jang Soeloeng di Poelaoe Djawa,” dan beberapa cerita pendek lain. Di dalam subjudulnya majalah itu, tercantum keterangan berikut ini: Hikajat, tjerita, dongeng, sjair, pantoen, dan lain-lain dari pada itoe. Di Koempoelkan dan di hijasi dengan bebrapa gambar ….”
[1] Konsep cerita pendek sebagai cerita yang ringkas dan padat –apalagi dengan singkatan cerpen—pada awal abad ke-20 memang belum begitu jelas. Cerita bersambung (feuilleton) juga disebut sebagai cerpen. Pada dasawarsa kedua abad ke-20 penamaan cerita pendek sudah mulai jelas menunjuk pada cerita-cerita yang pendek dan ringkas yang dimuat media massa. Meskipun begitu, masih banyak cerita bersambung yang disebut cerpen. Bahkan, pada zaman Jepang, cerpen pemenang pertama lomba penulisan cerita pendek, “Setinggi-tinggi Terbang Bangau” karya Andjar Asmara yang kemudian dimuat dalam majalah Djawa Baroe secara berturut-turut selama tujuh edisi (No. 1, 1 Januari 1943— No. 7, 1 April 1943), tetap disebut sebagai cerpen, meskipun jika dilihat dari jumlah halamannya lebih tepat dikatakan sebagai novel. Oleh karena itu, sangat wajar jika konsep cerpen belum begitu tegas benar.
[1] Budi Darma dalam backcover buku itu menyatakan: “Kendati potongan kisah dalam kumpulan ini ditulis dengan jeda yang lama, pada hakikatnya potongan ini bukan kumpulan cerpen (kecuali “Kirana”), namun sebuah novel yang utuh mengenai sebuah keluarga dari dua generasi ….” Lihat juga Budi Darma, “9 dari Leila,” Tempo, 6 Desember 2009, hlm. 44. (more…)
SEARCHING FOR CHRYSANTHEMUMS
Leila S.Chudori
***
Today is the best day to meet You
Jakarta doesn’t have chrysanthemums. But I will search for them to the ends of the earth, so that Mother can close her eyes in peace.
Mother always used to say that she knew what would happen when she died. My older sister Nina would sob uncontrollably (maybe even howl); my older brother Arya would chant the Surah Yasin from the Qur’an with a calm voice while trying to hold back his tears. I would be doing all the pragmatic things those busy mourning don’t think about: reporting to the local authorities, organizing the burial plot, finding the prayer robes, organizing the food and bottles of mineral water for the guests, and finding pieces of batik cloth. And last but not least, the most important of all – something Mother never failed to mention—for sure I would be out scratching around for Mother’s favorite flowers, which are difficult to find in Indonesia: white chrysanthemums. She never mentioned jasmine, or roses, red or white. It had to be white chrysanthemums. (more…)
From New York to Legian
Leila S.Chudori
***
Legian, October 16, 2002
Bali was a place of silence, a place of despair. The sea was still; the waves had ceased rolling. The sky was black; the sand was mute. The moon was hiding its sullen face. A cluster of stars, hitherto loyal in their brightening up of the night sky, now took it upon themselves to visit the wounded. All the energy on the island was focused on the candles that had been lit by grieving hearts. Utara Bayu tried to talk to them all: the sea, the waves, the sand, the moon, the stars, and the sky. But he felt that the sand he was walking on was coarse and unwelcoming, so different from its normal friendly, accepting nature. The universe had come to a standstill and it was as if all the clocks on Bali had stopped ticking. This was Day Four after the bombs had exploded in the middle of the night. Utara knew that those bombs had, in an instant, stopped the clocks.
After walking for an hour, Utara stood at the water’s edge waiting for his colleagues to return to the hotel. They had all worked non-stop for the last three days, reporting from the Legian area and from Sanglah hospital, interviewing dozens of victims and police, and helping the teams of volunteers who were patiently and painstakingly looking for the human remains that were still strewn around the Sari Club and Paddy’s Bar. At one point they heard screams when somebody found a body part dangling from a tree branch; someone else discovered a corpse, relatively intact but burnt beyond recognition. For three days and three nights Utara heard nothing but a Bob Marley song “Three Little Birds,” sung by a group of volunteers working near the police cordon. Over and over they sang it, as if they were trying to convince themselves that those two deadly bombs would not make them surrender to evil. Utara’s stomach was churning, reminding him that he, along with his colleagues, had not eaten for some time, because they had had to focus on sending their reports back to their magazine Tera in Jakarta. A few minutes later he heard the roar of the three rented motorbikes carrying Andara, Monty, Yosrizal, Andini, Rianti, and the photographer Randi. (more…)
A Red Book and Carbolic Acid
By: Leila S.Chudori
“It’s sour,” said Suwarto, putting down his glass of orange juice. Marwan was away in a world of his own. He was gazing at the wall, transfixed by the swarms of ants scurrying back to their nests laden with crumbs of bread. He imagined them accumulating all the food and then enjoying a communal meal, the spoils divided equally among them all.
One particular ant was struggling with a big piece of bread. A few of those coming behind him stopped to help, and in an instant the piece of bread was divided into four. Marwan was impressed by their initiative.
“What is it?” said Suwarto, sensing Marwan’s captivation. Marwan didn’t reply. He merely squinted in concentration as he observed the antics of the tiny insects. This was a sure sign that he was miles away, absorbed in his own thoughts. Suwarto bit his lip. He was annoyed, but he didn’t want to disturb Marwan. In fifteen minutes he had to be in the darkroom, finishing off some photographs for the next issue of the magazine. Finally, clearing his throat, he looked meaningfully at his watch. For added effect, he pushed his chair back noisily—a sound that usually grated on Marwan’s nerves. It worked. Marwan glared at him.“Just come around to my place tonight. Go and do your pictures now,” said Marwan shortly, sensing Suwarto’s agitation.
“But if…”
Marwan didn’t hear. He was back in the world of the ants. (more…)
Excerpt From Pulang, a Novel
Leila S.Chudori
Prologue
On Sabang Street, Jakarta, April 1968
Night had fallen, without complaint, without pretext. Like a black net enclosing the city; like ink from a monster squid spreading across Jakarta’s entire landscape—the color of my uncertain future.
In the dark room, I knew not the sun, the moon, or even my wristwatch. But the darkness that enveloped this room was imbrued with the scent of chemicals and anxiety.
Three years ago, the Nusantara News Office where I worked, had been cleansed of lice and germs like myself. The army was the disinfectant. We, the lice and the germs, had been eradicated from the face of the earth, with no trace left. Yet, somehow, this particular louse was eking out a living at Tjahaya Photographic Studio in central Jakarta on the corner of Jalan Sabang.
I switched on the red light to check the negatives hanging on the drying-line over my head.
It was just after 6 p.m. because I could hear the soft sound of the muezzin drifting in through the room through the door grate, summoning the faithful for evening prayer. I imagined the atmosphere on Jalan Sabang outside: the quarrelsome cackling of motorized pedicabs; the huffing and puffing of slow-moving opelets searching for passengers; the creaking of human-driven pedicabs in need of an oil job; the cring-cring sound of hand bells on bicycles as their riders wove their way through the busy intersection; and the cries of the bread seller. (more…)