“Pulang, Nostalgia, Harapan dan Kebebasan”

Robertus Robet

 

Home is where one starts from. As we grow older

The world becomes stranger, the pattern more complicated

Of dead and living.

 (T.S. Elliot, East Coker, “Four Quartets)

Ke mana kita pulang, rupanya bukan melulu urusan arah atau tempat dari mana orang berasal. Pulang bukanlah perkara teritori geografis yang melekat dalam ekslusifitas praktik rutin individual yang tanda materialnya tergeletak rongsok dalam rupa tiket kereta api yang dijepit atau karcis tol yang tercecer, atau sepatu dan sandal yang tertata di depan pintu rumah. Pulang rupanya adalah elemen kompleks dan paling emosional, resonansi terdalam dari pengalaman kehidupan yang seringkali bersifat epik.

Dua milineum lalu, Homer memulai kisah mengenai dahsyatnya hasrat ingin pulang. Odysseus diceritakan menerjang segala godaan, menghadapi berbagai monster guna memenuhi  rasa rindu paripurna untuk pulang ke tempat yang ia kenal pertama kalinya. Homer memberikan jiwa tokoh Odeysseus dengan hasrat untuk pulang.  Banyak penulis kemudian, seperti Homer –langsung maupun tak langsung, menjadikan pulang sebagai tema arketip. Penulis besar seperti Virginia Wolf, Doris Lessing hingga Tony Morrison, masing-masing pernah mengisahkan pengalaman nostalgis manusia, tentang hasrat yang sekaligus juga ratapan mengenai suatu tempat di luar sana.  Lalu hari ini kita menghadapi novel Pulang karya Leila S. Chudori.

Berhadapan dengan sebuah novel, kita diberi beberapa pilihan sikap. Pilihan  pertama, kita bisa menghadapinya dalam kerangka seorang ahli estetika dan ahli bahasa yang memeriksa seluruh pernik serta detail kelengkapan, tata bahasa, fakta dan keunggulan estetis sebuah karya. Dari situ kita menyajikan plus-minus, efek rasa dan dimensi estetis novel tersebut kepada pembaca.  Sikap kedua, kita bisa berdiri sebagai seorang Marxist, yang menilai sejauh mana novel ini mengungkap relasi-relasi sosial dan sejarah penindasan kelas.  Dari situ vonis kita jatuhkan dengan kategori: novel revolusioner atau novel kontra-revolusioner.  Sikap ketiga, kita bisa juga menghadapinya seperti seorang Michele Foucault. Melalui novel, kita memeriksa sejarah intelektual si penulisnya. Mengapa si penulis memilih A dan bukan B, mengapa si penulis memilih konsep atau ide A atau peristiwa B, apa kira-kira yang menjadi landasan dan kepentingannya? Doktrin kebenaran apa yang mau disajikan di dalam novel? Pilihan keempat, kita bisa mengambil sikap kesetaraan Ranciere. Dalam sikap ini yang utama bukan bagaimana novel menyajikan keadiluhungan estetiska, atau mengungkap kontradiksi kelas atau versi kebenaran apa, melainkan justru sejauh mana novel ini menerabas sekat-sekat estetis hingga bisa diresapi oleh orang banyak. Novel yang berhasil adalah novel yang secara estetis justru mampu menerjang klaim-klaim estetika dan ke-adiluhungan sehingga mampu dicerna secara setara oleh banyak orang. Cara kelima adalah cara paling mudah, dianjurkan oleh Richard Rorty.  Bagi Rorty, sebuah novel tidak perlu dilihat aspek intrinsik estetisnya. Yang penting adalah bagaimana kegunaan novel itu dalam rangka  ‘extensification of the self’ , sejuah mana sastra mampu mempeluas diri atau mereplikasi kemanusiaan ke dalam pembacanya hingga bisa menghalau fear and violences.

Oleh karena keterbatasan saya dalam bidang sastra, saya lebih menyukai pilihan keempat dan kelima: Ranciere dan Rorty. Oleh karenanya, soal teknis bahasa, gaya, diksi, teknis bagaimana plot disusun, bagaimana penokohan dibangun dan bagaimana level estetika, bukan menjadi urusan saya.  Yang terpenting bagi saya adalah bagaimana sebuah karya mampu menerjang dan merobohkan sekat-sekat linguistik dan estetis hingga ‘affect dan effectnya’ terasa bagi semua orang dan pada akhirnya ia mampu memperluas perasaan kemanusiaan. (more…)

KEBARUAN DALAM 9 DARI NADIRA

Maman S Mahayana

Konsep cerpen—novel akhirnya gagal mempertahankan dirinya.[1] 9 dari Nadira (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Oktober 2009, xi + 270 halaman) karya Leila S. Chudori boleh mengajari para penghamba teori untuk tidak lagi bersikukuh pada konsep.[2] Bukankah teks sastra yang melahirkan teori? Maka ia harus rela mendahulukan teks (sastra) yang berhasil menyibakkan rimbun teori dalam membuka jalan baru. Itulah yang terjadi pada 9 dari Nadira yang berada pada garis demarkasi cerpen—novel. Jadi, sinyalemen Budi Darma tentang 9 dari Nadira sebagai novel, patutlah dipertimbangkan.[3] Bahkan, mengingat


* Makalah Diskusi 9 dari Nadira, diselenggarakan Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, Salihara, 2 Agustus 2010.* Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Kini bertugas sebagai dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan.[1] Sejak awal pertumbuhannya, konsep cerpen (cerita pendek) memang tidak mengadopsi konsep cerpen (short stories) dari Barat. Sejak sejumlah penerbit swasta menerbitkan karya-karya sastra, penyebutan cerita dan hikayat sering digunakan dalam pengertian yang sama. Penulisan kata Hikayat pada sejumlah cerita –novel dalam pengertian sekarang—seperti Hikajat Soeltan Ibrahim (1890), Hikajat Amir Hamzah (1891), Hikajat Njai Dasima (1896) karya G. Francis sampai ke Hikayat Kadirun (1920) karya Semaun, Hikajat Soedjanmo (1924) karya Soemantri serta karya para penulis Cina Peranakan menunjukkan adanya hubungan yang sangat dekat dengan hikayat dalam kesusastraan Melayu lama. Jika kita mencermati cerpen-cerpen Indonesia yang awal, maka di satu sisi, terbuktilah, bahwa penulisan prosa Indonesia modern dimulai dari cerpen, dan di sisi lain, menegaskan bahwa kesusastraan Indonesia tidak lahir dari sebuah kekosongan. Ada sebuah perjalanan yang bergulir mencari jati dirinya. Lihat saja majalah Sahhabat Baik yang pertama kali terbit Desember 1890, sebagai kelanjutan Soerat Kabar India-Nederland. Dinyatakan dalam semacam kata pengantar majalah itu: “Sabermoela kita mengchabarkan jang Soerat Kabar India—Nederland jang tjontonja tahoen lennyap di kirimkan kepada sekalijan orang isi negri di Tanah India—Nederland tidak boleh di teroeskan terbitnja, maka sebab ija tidak dapat pertoeloengan bagaimana mestinja… (dikutip sesuai aslinya), di dalamnya termuat cerita pendek berjudul “Tjerita Langkara dari Orang Isi Negeri jang Soeloeng di Poelaoe Djawa,” dan beberapa cerita pendek lain. Di dalam subjudulnya majalah itu, tercantum keterangan berikut ini: Hikajat, tjerita, dongeng, sjair, pantoen, dan lain-lain dari pada itoe. Di Koempoelkan dan di hijasi dengan bebrapa gambar ….”

[1] Konsep cerita pendek sebagai cerita yang ringkas dan padat –apalagi dengan singkatan cerpen—pada awal abad ke-20 memang belum begitu jelas. Cerita bersambung (feuilleton) juga disebut sebagai cerpen. Pada dasawarsa kedua abad ke-20 penamaan cerita pendek sudah mulai jelas menunjuk pada cerita-cerita yang pendek dan ringkas yang dimuat media massa. Meskipun begitu, masih banyak cerita bersambung yang disebut cerpen. Bahkan, pada zaman Jepang, cerpen pemenang pertama lomba penulisan cerita pendek, “Setinggi-tinggi Terbang Bangau” karya Andjar Asmara yang kemudian dimuat dalam majalah Djawa Baroe secara berturut-turut selama tujuh edisi (No. 1, 1 Januari 1943— No. 7, 1 April 1943), tetap disebut sebagai cerpen, meskipun jika dilihat dari jumlah halamannya lebih tepat dikatakan sebagai novel. Oleh karena itu, sangat wajar jika konsep cerpen belum begitu tegas benar.

[1] Budi Darma dalam backcover buku itu menyatakan: “Kendati potongan kisah dalam kumpulan ini ditulis dengan jeda yang lama, pada hakikatnya potongan ini bukan kumpulan cerpen (kecuali “Kirana”), namun sebuah novel yang utuh mengenai sebuah keluarga dari dua generasi ….” Lihat juga Budi Darma, “9 dari Leila,” Tempo, 6 Desember 2009, hlm. 44. (more…)

Tentang novel “Pulang” karya Leila S. Chudori dan Kontekstualisasi Fakta Historisnya[1]

 Oleh Budiawan[2]

Saya ingin melakukan kontekstualisasi fakta historis yang terkandung di dalam novel ini, yakni perihal para eksil politik Indonesia sesudah Peristiwa 30 September 1965 terjadi. Kontekstualisasi ini mungkin bermanfaat untuk memperkaya wawasan sejarah, yang di dalam novel ini menyisakan sejumlah celah. Sebuah novel, bahkan novel sejarah sekalipun, memang tidak berpretensi untuk menuturkan kisah sejarah itu sendiri.

Sebelum melakukan kontekstualisasi itu, saya merasa perlu memaparkan ringkasan isi novel ini. Sebab, saya tidak boleh berasumsi bahwa semua yang hadir dalam forum ini sudah membaca novel ini.  (more…)

Mencermati Naratif Novel Pulang

Oleh Bagus Takwin

 1

Saya membaca novel Pulang dan tertarik untuk terus membacanya sampai akhir, terpikat dan terhibur. Saya mendapatkan apa yang selayaknya diperoleh dari cerita: naratif Pulang membantu saya memaknai sebuah bagian hidup bernama Indonesia dan memeriksa kembali keyakinan dan konstruk saya tentang Indonesia.

Kini saya ingin tahu lebih banyak apa yang membuat Pulang memikat dan membantu saya memaknai kembali Indonesia. Saya menduga, kekuatan naratif novel ini yang berperan besar menghasikan daya pikat dan daya gugahnya. Maka, saya menelusuri unsur-unsur naratif novel karya Leila S. Chudori itu.
penis enlargement product