17,000 islands of imagination’: discovering Indonesian literature
https://www.theguardian.com/books/2016/may/28/why-isnt-more-indonesia-literature-translated-english
It’s the fourth most populous country in the world, yet it is rare to find an English translation of Indonesian literature that doesn’t focus on war or tsunamis. Why, asks Louise Doughty
by: Louise Doughty’s
I n February last year, I was sitting in Cafe Batavia on Fatahillah Square in Jakarta, talking to an Indonesian friend. We were discussing how any novelist might describe a country to a readership who know nothing about it. We were surrounded by framed photos of Indonesian politicians and Hollywood stars, and the ceiling fans turned overhead. Outside, it was hot and overcast, and students milled around the front of the History Museum, built by the Dutch in 1710 and now housing objects from the founding of Jayakarta in 1527. How could any writer portray such a diverse culture? (more…)
Indonesia’s lost history
TASH AW
Leila S. Chudori
HOME
Translated by John McGlynn
495pp. Lontar. Paperback, £12.95.
978 602 9144 36 9
US: Deep Vellum. $16.95. 978 1 941920 10 7
Published: 3 February 2016
A poster commemorating the victims of the 1965 massacre in Indonesia Photograph: Nobodycorp/Internationale Unlimited
Early in Leila Chudori’s Home, a seemingly minor exchange takes place between Dimas Suryo, an Indonesian activist and political exile in Paris, and Vivienne Deveraux, a young Frenchwoman. We are in the months following the student protests of May 1968, and Vivienne is raging against the “fucked up” state of her country. “To myself”, Dimas reflects:
“I thought that when it came to the state of a nation, she had no idea what ‘fucked up’ meant. Indonesia was rarely covered in the press, not even in leading news media such as Le Monde and Le Figaro. What the typical French person might know is that Indonesia is a country located somewhere in Southeast Asia not too far from Vietnam . . . . Vivienne and her equally agitated friends . . . wouldn’t have heard the names of Indonesia’s political activists who long predated theirs – such as Sukarno, Hatta, Sjahrir and Tan Malaka.” (more…)
Home – Leila Chudori
[Deep Vellum Publishing; 2015]
Tr. by John H. McGlynn
About two-thirds of the way through Home by Leila Chudori (translated by John H. McGlynn), the novel’s two protagonists discuss definitions of the “flâneur,” the figure of the leisurely walker. Dimas Suryo, an exile from Indonesia now living in Paris, offers his preferred definition to his daughter Lintang:
I am most in agreement with the explanation provided by Charles Baudelaire, who said that activity on a journey is the same as a home for the flâneur, like water for fish. Passion and work become one in the activity. A flâneur will forever be looking, and building his home in the flow and motion of movement. He might feel he has left his home, but in fact he built a home in his journey.
Thus Dimas explains his life of wandering to his daughter, and thus does Chudori introduce her central theme: how and whether one finds a home when forced to leave one’s original homeland. Can Dimas and Lintang, both flâneurs, find a home in the journey itself, or do they, in the end, want to return to — or in Lintang’s case discover — their origins? (more…)
KEBARUAN DALAM 9 DARI NADIRA
Maman S Mahayana
Konsep cerpen—novel akhirnya gagal mempertahankan dirinya.[1] 9 dari Nadira (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Oktober 2009, xi + 270 halaman) karya Leila S. Chudori boleh mengajari para penghamba teori untuk tidak lagi bersikukuh pada konsep.[2] Bukankah teks sastra yang melahirkan teori? Maka ia harus rela mendahulukan teks (sastra) yang berhasil menyibakkan rimbun teori dalam membuka jalan baru. Itulah yang terjadi pada 9 dari Nadira yang berada pada garis demarkasi cerpen—novel. Jadi, sinyalemen Budi Darma tentang 9 dari Nadira sebagai novel, patutlah dipertimbangkan.[3] Bahkan, mengingat
* Makalah Diskusi 9 dari Nadira, diselenggarakan Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, Salihara, 2 Agustus 2010.* Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Kini bertugas sebagai dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan.[1] Sejak awal pertumbuhannya, konsep cerpen (cerita pendek) memang tidak mengadopsi konsep cerpen (short stories) dari Barat. Sejak sejumlah penerbit swasta menerbitkan karya-karya sastra, penyebutan cerita dan hikayat sering digunakan dalam pengertian yang sama. Penulisan kata Hikayat pada sejumlah cerita –novel dalam pengertian sekarang—seperti Hikajat Soeltan Ibrahim (1890), Hikajat Amir Hamzah (1891), Hikajat Njai Dasima (1896) karya G. Francis sampai ke Hikayat Kadirun (1920) karya Semaun, Hikajat Soedjanmo (1924) karya Soemantri serta karya para penulis Cina Peranakan menunjukkan adanya hubungan yang sangat dekat dengan hikayat dalam kesusastraan Melayu lama. Jika kita mencermati cerpen-cerpen Indonesia yang awal, maka di satu sisi, terbuktilah, bahwa penulisan prosa Indonesia modern dimulai dari cerpen, dan di sisi lain, menegaskan bahwa kesusastraan Indonesia tidak lahir dari sebuah kekosongan. Ada sebuah perjalanan yang bergulir mencari jati dirinya. Lihat saja majalah Sahhabat Baik yang pertama kali terbit Desember 1890, sebagai kelanjutan Soerat Kabar India-Nederland. Dinyatakan dalam semacam kata pengantar majalah itu: “Sabermoela kita mengchabarkan jang Soerat Kabar India—Nederland jang tjontonja tahoen lennyap di kirimkan kepada sekalijan orang isi negri di Tanah India—Nederland tidak boleh di teroeskan terbitnja, maka sebab ija tidak dapat pertoeloengan bagaimana mestinja… (dikutip sesuai aslinya), di dalamnya termuat cerita pendek berjudul “Tjerita Langkara dari Orang Isi Negeri jang Soeloeng di Poelaoe Djawa,” dan beberapa cerita pendek lain. Di dalam subjudulnya majalah itu, tercantum keterangan berikut ini: Hikajat, tjerita, dongeng, sjair, pantoen, dan lain-lain dari pada itoe. Di Koempoelkan dan di hijasi dengan bebrapa gambar ….”
[1] Konsep cerita pendek sebagai cerita yang ringkas dan padat –apalagi dengan singkatan cerpen—pada awal abad ke-20 memang belum begitu jelas. Cerita bersambung (feuilleton) juga disebut sebagai cerpen. Pada dasawarsa kedua abad ke-20 penamaan cerita pendek sudah mulai jelas menunjuk pada cerita-cerita yang pendek dan ringkas yang dimuat media massa. Meskipun begitu, masih banyak cerita bersambung yang disebut cerpen. Bahkan, pada zaman Jepang, cerpen pemenang pertama lomba penulisan cerita pendek, “Setinggi-tinggi Terbang Bangau” karya Andjar Asmara yang kemudian dimuat dalam majalah Djawa Baroe secara berturut-turut selama tujuh edisi (No. 1, 1 Januari 1943— No. 7, 1 April 1943), tetap disebut sebagai cerpen, meskipun jika dilihat dari jumlah halamannya lebih tepat dikatakan sebagai novel. Oleh karena itu, sangat wajar jika konsep cerpen belum begitu tegas benar.
[1] Budi Darma dalam backcover buku itu menyatakan: “Kendati potongan kisah dalam kumpulan ini ditulis dengan jeda yang lama, pada hakikatnya potongan ini bukan kumpulan cerpen (kecuali “Kirana”), namun sebuah novel yang utuh mengenai sebuah keluarga dari dua generasi ….” Lihat juga Budi Darma, “9 dari Leila,” Tempo, 6 Desember 2009, hlm. 44. (more…)