Leipizig - Novel 'Pulang' karya Laila S Chudori akan dicetak sebanyak 3 ribu kopi di Jerman. Novel ini diprediksikan akan menarik perhatian warga Jerman.
"Kita mulai dengan 3 ribu kopi dulu," kata Barbara Weidle, pemilik Weidle Verlag, penerbit buku di Jerman, usai penandatanganan kontrak penerbitan buku di stand Indonesia, di Leipzig Book Fair, Leipzig, Jerman,Sabtu (14/3/2015).
Weidle menilai novel 'Pulang' yang memenangkan Khatulistiwa Literary Award memiliki cerita yang kuat. Pecinta buku Jerman akan berminat pada buku tersebut karena mengungkap kasus HAM, masalah yang juga menjadi perhatian publik negara tersebut.
"Kita konsen dengan satu buku ini dulu," kata Weidle.
Sebelumnya Indonesia melalui Komite Nasional Program Guest of Honour Frankfurt Book Fair 2015 menandatangani kontrak dengan penerbit Jerman.
Kontrak ditandatangani oleh Ketua Komite Nasional Indonesia Program Guest of Honour Frankfurt Book Fair, Goenawan Mohamad. Sedangkan dua penerbit Jerman yang menandatangani kontrak adalah Barbara Weidle dari Penerbit Weidle, dan Eva Streifeneder dari Penerbit regiospectra.
Sumber :http://hot.detik.com/read/2015/03/15/124600/2859069/1017/novel-pulang-akan-dicetak-3-ribu-kopi-di-jerman
Leila S.Chudori
***
Inikah hari terbaik bertemu dengan-Mu
Jakarta tidak memiliki bunga seruni. Tetapi aku akan mencarinya sampai ke ujung dunia, agar ibu bisa mengatupkan matanya dengan tenang.
Ibu selalu berkata, jika dia mati, dia tahu apa yang akan terjadi. Yu Nina akan menangis tersedu-sedu (mungkin dia akan melolong); mas Arya akan membacakan surat Yassin dengan suara tertahan sembari mencoba mengusir airmatanya. Aku akan melakukan segala yang paling pragmatis yang tak terpikirkan oleh mereka yang tengah berkabung: melapor kepada pak RT, mengurus tanah pemakaman, mencari mukena, mengatur menu makanan dan botol air mineral untuk tamu, dan sekalian mencari kain batik. Terakhir, yang paling penting—yang selalu disebut-sebut Ibu—aku pasti mengais-ngais bunga-bunga kesukaan Ibu yang sulit dicari di Indonesia: bunga seruni putih. Dia tidak menyebut melati; juga bukan mawar merah putih. Harus seruni berwarna putih. “Kenapa seruni? Dan kenapa harus putih?” Ibu tidak menjawab. Dan aku tak pernah mendesaknya. Ramalan ibu tepat. Itulah yang memang terjadi.
Kami menemui ibu yang sudah membiru. Wajah yang membiru, bibir yang biru keunguan yang mengeluarkan busa putih. Di atas lantai yang licin itu, aku tak yakin apakah ibu terlihat lega karena bisa mengatupkan matanya, atau karena dia kedinginan. Kami menemukan sebuah sosok yang terlentang bukan karena sakit atau terjatuh, tetapi karena dia memutuskan: hari ini, aku bisa mati. Mungkin ibu tak pernah bahagia.
Atau mungkin dia merasa hidupnya memang sudah selesai hingga di sini. Mas Arya memeluk tubuh dingin itu tanpa suara. Aku hanya menutup mulut, sementara hatiku ribut. Tanganku sibuk. Aku menutup segala pertanyaanku dengan pragmatisme: bagaimana caranya mengangkat tubuh ibu dari lantai itu agar Ayah tidak melihat keadaan ibu yang serba biru. Jangan sampai Ayah melihat bahwa ini sebuah pernyataan dari Ibu. Selain itu, ibu harus segera diangkat karena dia pasti kedinginan. Lihat, warna biru itu semakin lama semakin ungu kekuningan. Sayup-sayup kudengar suara ibu: hari ini aku ingin mati. (more…)
Leila S.Chudori
***
Legian, 16 Oktober, 2002
BALI sungguh sunyi dan murung. Laut diam. Ombak tak bergerak. Langit hitam dan pasir bungkam. Bulan yang berwajah masam bersembunyi di balik ranting. Sekumpulan bintang yang selama ini setia menggelantung di langit Bali kini menugaskan diri untuk mengunjungi mereka yang terluka. Seluruh energi kini terpusat pada sumbu lilin yang dinyalakan oleh hati yang duka.
Utara Bayu mencoba berbicara dengan mereka semua: laut, ombak, pasir, bulan, bintang dan langit. Tetapi dia merasa pasir yang diinjaknya begitu pegal dan sama sekali tak ingin mengerubungi kakinya. Biasanya pasir di pantai di Bali selalu ramah dan akrab. Tetapi kini seluruh semesta berhenti bergerak dan arloji di Bali seolah tak berdetak. Ini adalah hari keempat setelah bom menggelegar di tengah malam. Utara tahu, bom yang meledak di Bali itu mendadak menghentikan gerak jarum jam. (more…)
Leila S.Chudori
***
“Asam sekali...” keluh Suwarto sambil meletakkan segelas air jeruk yang berwarna oranye mencolok itu ke atas meja.
Marwan masih tetap asyik dengan pikirannya sendiri. Matanya tertancap pada tembok kayu di sebelah kiri. Semut-semut yang datang berbonong-bondong menuju sarangnya sambil membawa serpihan roti itu menarik perhatiannya. Pasti mereka akan mengumpulkan makanan itu lantas menikmatinya bersama-sama, pikirnya. Tentunya juga, mereka akan membagi sama rata apa yang mereka peroleh.
Seekor semut tertatih-tatih membawa serpihan roti yang agak besar. Beberapa ekor semut di belakangnya segera mengelilingi semut itu dan dalam sekejap serpihan roti yang agak besar itu telah terbagi menjadi empat. Mata Marwan terbelalak. Kaget.
“Kenapa?” tanya Suwarto ikut-ikutan kaget.
Marwan tidak menjawab. Matanya menyipit mengamati kegiatan semut-semut itu. Itu tandanya ia sedang asyik dalam dunianya sendiri. Suwarto menggigit bibirnya. Ia kesal. Tapi tak berani mengganggu keasyikan Marwan. Limabelas menit kagim seharusnya ia berada di kamar gelap untuk menyelesaikan beberapa potretnya yang akan dimuat untuk majalahnya edisi berikutnya. Akhirnya sambil berdehem , ia pura-pura menengok arlojinya. Tak lupa pula ia mengerit-ngerit kaki kursinya. Ia tahu, Marwan benci suara keritan kursi. (more…)
PROLOG:
JALAN SABANG, JAKARTA APRIL 1968
Malam sudah turun,tanpa gerutu dan tanpa siasat.
Seperti jala hitam yang mengepung Jakarta; seperti tinta yang ditumpahkan seekor cumi raksasa ke seluruh permukaan Jakarta. Seperti juga warna masa depan yang tak bisa kuraba.
Di dalam kamar gelap ini, aku tak mengenal matahari, bulan atau arloji. Tetapi kegelapan yang mengepung ruangan ini penuh dengan aroma bahan kimia dan rasa cemas.
Sudah tiga tahun kantor berita Nusantara, tempatku bekerja, dibersihkan dari debu seperti kami. Tentara adalah disinfektan. Kami, kutu dan debu yang harus dibersihkan dari muka bumi. Tanpa bekas. Kini sang kuru mencari nafkah di Tjahaja Foto di pojok Jalan Sabang.
Aku menyalakan lampu merah untuk mengecek beberapa film yang tengah digantung. Mungkin ini sudah jam enam, karena aku bisa mendengar sayup suara adzan Magrib yang menyelip melalui kisi pintu. Aku membayangkan suasana sepanjang jalan Sabang, suara bemo yang cerewet, opelet yang bergerak dengan malas, derit becak dan kelenengan sepeda yang simpang siur menyeberang serta penjual roti yang menyerukan dagangannya. Aku yakin di tengah mengulek kacang tanah lalu mencampurnya dengan kecap manis dan irisan bawang merah.Dan aku masih ingat betapa sahabatku, Dimas Suryo, akan mempelajari dan membahas bumbu kacang tanah Pak Heri dengan intens, sama seperti dia membicarakan bait-bait puisi Rivai Apin.
(more…)