11-15 Oktober 2013
Ubud Writers and Readers Festival (more…)
LONCATAN LEILA, SI KUDA HITAM
***
MALAM TERAKHIR
Penulis : Leila S.Chudori
Penerbit : Pustaka Utama Grafiti, 1989
Kata Pengantar : HB Jassin
BEBERAPA pengarang Indonesia memulai kariernya sebagai anak ajaib. Mereka menulis dalam usia amat muda, dengan kualitas bagus. Tapi beberapa di antaranya kemudian memudar sesudah mulai dewasa. Yang tetap gigih dan kemudian berhasil mempertahankan reputasinya di antaranya adalah W.S. Rendra, Ajip Rosidi, dan Yudhistira A. Nugraha.
Leila S . Chudori, 27 tahun, yang menulis sejak kelas V SD, adalah anak ajaib yang lain. Ia sudah terkenal di media massa remaja sebagai penulis yang produktif pada saat rekan-rekan seusianya masih belajar menyusun kalimat. Alumni Universitas Trent, Ontario, Kanada, ini kemudian mulai menembus selaput “remaja” pada tahun 1980-an. Cerpennya mula-mula muncul di majalah Zaman, kemudian harian Kompas, majalah Matra, dan akhirnya menghuni majalah sastra Horison. (more…)
Menguak Kisah Marsinah
Slamet Rahardjo meniupkan roh Marsinah ke atas layar perak. Film Marsinah lebih memotret sosok Marsinah dari mata Mutiari—tokoh yang dituduh sebagai otak pembunuhan—daripada menggunakan pendekatan biografis. Bagaimana Slamet menampilkan adegan penyiksaan?
Marsinah (Cry Justice)
Sutradara : Slamet Rahardjo Djarot
Skenario : Agung Bawantara, Karsono Hadi, Tri Rahardjo, Slamet Rahardjo, Eros Djarot
Pemain : Megarita (Marsinah), Diah Arum (Mutiari)
Produksi : PT Gedam Sinemuda Production
***
SEKELEBAT gambar hidup, sekelebat jeritan, sekelebat kematian. Marsinah hadir dalam adegan-adegan yang begitu cepat, susul-menyusul berdesakan dengan potongan gambar lain. Dia datang begitu cepat dengan semangat menggebu untuk memperjuangkan kenaikan upah buruh dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250 per hari. Dan dia pergi begitu cepat pada suatu malam tanggal 5 Mei 1993 dan tak pernah kembali. Empat hari kemudian, ia ditemukan tergeletak tak bernyawa dengan kondisi yang mengerikan di Dusun Jegong, Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur.
Tokoh Marsinah dalam rekaan sutradara Slamet Rahardjo Djarot hanya tampil dalam durasi yang begitu pendek. Namun, rohnya hidup hingga akhir film ini. Jika begitu banyak yang memprotes kenapa film ini memberikan porsi yang lebih banyak kepada Mutiari, harus dipahami bahwa penonton (Indonesia) tampaknya masih terbiasa dengan pendekatan biografis, terutama bila sosok yang diangkat sudah menjadi ikon, lambang, atau pahlawan.
Film ini pada akhirnya memang hanya mengambil satu cuplikan periode peristiwa yang dimulai dari demonstrasi para buruh PT Catur Putra Surya; disusul kematian Marsinah; pencidukan sembilan orang tertuduh, termasuk Mutiari, kepala personalia per-usahaan itu, yang dianggap sebagai otak pembunuhan; hingga pengadilan para tersangka. (more…)
’1965’ (Goenawan Mohamad)
Angka itu kini jadi sejenis kode yang ditafsir: satu titimangsa, kata orang Sunda, tentang suatu kejadian yang begitu besar—terkadang disebut “peristiwa sejarah” –dan sebab itu selalu disederhanakan. Pembunuhan sejumlah jenderal sekaligus. Pembalasan yang mengerikan terhadap orang PKI. Awal pergantian sejarah politik Indonesia yang traumatis.
Kita tahu, “1965” lebih dari itu semua. “Sejarah adalah langkah seorang raksasa yang tak punya hati,” kata-kata itu tercantum dalam novel Amba, dalam sepucuk surat yang selama bertahun-tahun disembunyikan di bawah sebatang pohon di Pulau Buru oleh penulisnya, seorang dokter, seorang tapol, yang kemudian terbunuh. “Sejarah menyingkirkan orang-orang kecil dari catatan.”
Novel Amba melawan itu: menghadirkan orang-orang yang tersingkir dari catatan tahun 1965—dan begitu pula Pulang.
Entah kenapa kedua novel tebal itu terbit tahun 2012 ini dalam waktu berdekatan. Amba, karya Laksmi Pamuntjak, dengan prosa yang memukau menggambarkan hidup seorang gadis anak seorang guru di kota kecil Kadipura, suasana Jawa Tengah dan Timur yang berubah dan tegang, bentrokan berdarah di Yogya, dan akhirnya kehidupan mereka yang dibuang di Pulau Buru. Pulang, karya Leila S. Chudori, dengan cara bertutur yang hidup dan memikat, mengisahkan mereka yang terpaksa jadi eksil di Eropa, atau dihabisi di Jakarta—karena dianggap “PKI”—juga anak-anak mereka.
Entah mengapa, tampaknya tahun 2012 adalah tahun yang ingin mengingatkan, dan “1965” adalah fokusnya. Di salah satu edisi khususnya majalah Tempo memuat hasil wawancara mereka yang ikut membunuh orang-orang PKI atau disangka PKI di sekitar tahun 1965—sebuah reportase mengenai hal itu yang pertama kali diterbitkan di Indonesia. (more…)
BUKU
![]() |
NADIRA
Cetakan 1 : 2015 (Pengembangan dari ‘9 dari Nadira’ dengan dua tambahan cerita: “Sebelum Matahari Mengetuk Pagi” dan “Dari New York ke Legian” Penerbit : PT Kepustakaan Populer Gramedia Tebal : 301 halaman Ilustrasi muka dan dalam : Ario Anindito Harga : Rp 70 ribu Beredar di Toko Buku Gramedia atau pesan online www.gramediaonline.com atau www.grazera.com atau https://twitter.com/GrazeraCom |
|||||
![]() |
Malam Terakhir
Terbit Pertamakali 1989 Penerbit PT Pustakan Utama Grafiti Tebal : 205 Halaman Pengantar : HB Jassin Ilustrasi Halaman Muka dan Dalam : Edi RM |
![]() |
Malam Terakhir
Terbit Ulang : Cetakan Pertama, 2009 Penerbit : PT Kepustakaan Populer Gramedia Tebal : 117 Halaman Pengantar dari Penulis Ilustrasi Halaman Muka: Maryanto |
|||
![]() |
Malam Terakhir
Cetakan ke 2, 2013 Penerbit: PT Kepustakaan Populer Gramedia Tebal : 117 Halaman Ilustrasi : Jim Bary Aditya Beredar di Toko Buku Gramedia atau pesan online www.gramediaonline.com |
![]() |
9 dari Nadira
Cetakan 1, 2009 Cetakan ke 2, 2010 Penerbit : PT Kepustakaan Populer Gramedia Tebal : 267 Halaman Pengantar dari Penulis Ilustrasi muka dan dalam : Ario Anindito Beredar di Toko Buku Gramedia atau pesan online www.gramediaonline.com |
|||
![]() |
Pulang, Sebuah Novel
Cetakan 1, Desember 2012 Cetakan 2, Januari 2013 Cetakan 3, Maret 2013 Cetakan 4, Desember 2013 Penerbit : PT Kepustakaan Populer Gramedia Tebal Halaman: 464 halaman Ilustrasi muka dan dalam: Daniel Cahya Krisna Beredar di Toko Buku Gramedia atau pesan online www. grazera.com atau www.gramedia.com Untuk e-book pembelian “Pulang” hubungi: http://www.getscoop.com/buku/pulang-27248 |
|||||
![]() |
Pulang, Sebuah Novel
Cetakan 5, September 2014 Penerbit : PT Kepustakaan PopulerGramedia Tebal Halaman: 464halaman Ilustrasi muka dan dalam: Daniel Cahya Krisna Beredar di Toko Buku Gramedia atau pesan online www. grazera.com atau www.gramedia.com Untuk e-book pembelian “Pulang” hubungi: http://www.getscoop.com/buku/pulang-27248 |
|||||
“Pulang, Nostalgia, Harapan dan Kebebasan”
Robertus Robet
Home is where one starts from. As we grow older
The world becomes stranger, the pattern more complicated
Of dead and living.
(T.S. Elliot, East Coker, “Four Quartets)
Ke mana kita pulang, rupanya bukan melulu urusan arah atau tempat dari mana orang berasal. Pulang bukanlah perkara teritori geografis yang melekat dalam ekslusifitas praktik rutin individual yang tanda materialnya tergeletak rongsok dalam rupa tiket kereta api yang dijepit atau karcis tol yang tercecer, atau sepatu dan sandal yang tertata di depan pintu rumah. Pulang rupanya adalah elemen kompleks dan paling emosional, resonansi terdalam dari pengalaman kehidupan yang seringkali bersifat epik.
Dua milineum lalu, Homer memulai kisah mengenai dahsyatnya hasrat ingin pulang. Odysseus diceritakan menerjang segala godaan, menghadapi berbagai monster guna memenuhi rasa rindu paripurna untuk pulang ke tempat yang ia kenal pertama kalinya. Homer memberikan jiwa tokoh Odeysseus dengan hasrat untuk pulang. Banyak penulis kemudian, seperti Homer –langsung maupun tak langsung, menjadikan pulang sebagai tema arketip. Penulis besar seperti Virginia Wolf, Doris Lessing hingga Tony Morrison, masing-masing pernah mengisahkan pengalaman nostalgis manusia, tentang hasrat yang sekaligus juga ratapan mengenai suatu tempat di luar sana. Lalu hari ini kita menghadapi novel Pulang karya Leila S. Chudori.
Berhadapan dengan sebuah novel, kita diberi beberapa pilihan sikap. Pilihan pertama, kita bisa menghadapinya dalam kerangka seorang ahli estetika dan ahli bahasa yang memeriksa seluruh pernik serta detail kelengkapan, tata bahasa, fakta dan keunggulan estetis sebuah karya. Dari situ kita menyajikan plus-minus, efek rasa dan dimensi estetis novel tersebut kepada pembaca. Sikap kedua, kita bisa berdiri sebagai seorang Marxist, yang menilai sejauh mana novel ini mengungkap relasi-relasi sosial dan sejarah penindasan kelas. Dari situ vonis kita jatuhkan dengan kategori: novel revolusioner atau novel kontra-revolusioner. Sikap ketiga, kita bisa juga menghadapinya seperti seorang Michele Foucault. Melalui novel, kita memeriksa sejarah intelektual si penulisnya. Mengapa si penulis memilih A dan bukan B, mengapa si penulis memilih konsep atau ide A atau peristiwa B, apa kira-kira yang menjadi landasan dan kepentingannya? Doktrin kebenaran apa yang mau disajikan di dalam novel? Pilihan keempat, kita bisa mengambil sikap kesetaraan Ranciere. Dalam sikap ini yang utama bukan bagaimana novel menyajikan keadiluhungan estetiska, atau mengungkap kontradiksi kelas atau versi kebenaran apa, melainkan justru sejauh mana novel ini menerabas sekat-sekat estetis hingga bisa diresapi oleh orang banyak. Novel yang berhasil adalah novel yang secara estetis justru mampu menerjang klaim-klaim estetika dan ke-adiluhungan sehingga mampu dicerna secara setara oleh banyak orang. Cara kelima adalah cara paling mudah, dianjurkan oleh Richard Rorty. Bagi Rorty, sebuah novel tidak perlu dilihat aspek intrinsik estetisnya. Yang penting adalah bagaimana kegunaan novel itu dalam rangka ‘extensification of the self’ , sejuah mana sastra mampu mempeluas diri atau mereplikasi kemanusiaan ke dalam pembacanya hingga bisa menghalau fear and violences.
Oleh karena keterbatasan saya dalam bidang sastra, saya lebih menyukai pilihan keempat dan kelima: Ranciere dan Rorty. Oleh karenanya, soal teknis bahasa, gaya, diksi, teknis bagaimana plot disusun, bagaimana penokohan dibangun dan bagaimana level estetika, bukan menjadi urusan saya. Yang terpenting bagi saya adalah bagaimana sebuah karya mampu menerjang dan merobohkan sekat-sekat linguistik dan estetis hingga ‘affect dan effectnya’ terasa bagi semua orang dan pada akhirnya ia mampu memperluas perasaan kemanusiaan. (more…)
KEBARUAN DALAM 9 DARI NADIRA
Maman S Mahayana
Konsep cerpen—novel akhirnya gagal mempertahankan dirinya.[1] 9 dari Nadira (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Oktober 2009, xi + 270 halaman) karya Leila S. Chudori boleh mengajari para penghamba teori untuk tidak lagi bersikukuh pada konsep.[2] Bukankah teks sastra yang melahirkan teori? Maka ia harus rela mendahulukan teks (sastra) yang berhasil menyibakkan rimbun teori dalam membuka jalan baru. Itulah yang terjadi pada 9 dari Nadira yang berada pada garis demarkasi cerpen—novel. Jadi, sinyalemen Budi Darma tentang 9 dari Nadira sebagai novel, patutlah dipertimbangkan.[3] Bahkan, mengingat
* Makalah Diskusi 9 dari Nadira, diselenggarakan Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, Salihara, 2 Agustus 2010.* Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Kini bertugas sebagai dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan.[1] Sejak awal pertumbuhannya, konsep cerpen (cerita pendek) memang tidak mengadopsi konsep cerpen (short stories) dari Barat. Sejak sejumlah penerbit swasta menerbitkan karya-karya sastra, penyebutan cerita dan hikayat sering digunakan dalam pengertian yang sama. Penulisan kata Hikayat pada sejumlah cerita –novel dalam pengertian sekarang—seperti Hikajat Soeltan Ibrahim (1890), Hikajat Amir Hamzah (1891), Hikajat Njai Dasima (1896) karya G. Francis sampai ke Hikayat Kadirun (1920) karya Semaun, Hikajat Soedjanmo (1924) karya Soemantri serta karya para penulis Cina Peranakan menunjukkan adanya hubungan yang sangat dekat dengan hikayat dalam kesusastraan Melayu lama. Jika kita mencermati cerpen-cerpen Indonesia yang awal, maka di satu sisi, terbuktilah, bahwa penulisan prosa Indonesia modern dimulai dari cerpen, dan di sisi lain, menegaskan bahwa kesusastraan Indonesia tidak lahir dari sebuah kekosongan. Ada sebuah perjalanan yang bergulir mencari jati dirinya. Lihat saja majalah Sahhabat Baik yang pertama kali terbit Desember 1890, sebagai kelanjutan Soerat Kabar India-Nederland. Dinyatakan dalam semacam kata pengantar majalah itu: “Sabermoela kita mengchabarkan jang Soerat Kabar India—Nederland jang tjontonja tahoen lennyap di kirimkan kepada sekalijan orang isi negri di Tanah India—Nederland tidak boleh di teroeskan terbitnja, maka sebab ija tidak dapat pertoeloengan bagaimana mestinja… (dikutip sesuai aslinya), di dalamnya termuat cerita pendek berjudul “Tjerita Langkara dari Orang Isi Negeri jang Soeloeng di Poelaoe Djawa,” dan beberapa cerita pendek lain. Di dalam subjudulnya majalah itu, tercantum keterangan berikut ini: Hikajat, tjerita, dongeng, sjair, pantoen, dan lain-lain dari pada itoe. Di Koempoelkan dan di hijasi dengan bebrapa gambar ….”
[1] Konsep cerita pendek sebagai cerita yang ringkas dan padat –apalagi dengan singkatan cerpen—pada awal abad ke-20 memang belum begitu jelas. Cerita bersambung (feuilleton) juga disebut sebagai cerpen. Pada dasawarsa kedua abad ke-20 penamaan cerita pendek sudah mulai jelas menunjuk pada cerita-cerita yang pendek dan ringkas yang dimuat media massa. Meskipun begitu, masih banyak cerita bersambung yang disebut cerpen. Bahkan, pada zaman Jepang, cerpen pemenang pertama lomba penulisan cerita pendek, “Setinggi-tinggi Terbang Bangau” karya Andjar Asmara yang kemudian dimuat dalam majalah Djawa Baroe secara berturut-turut selama tujuh edisi (No. 1, 1 Januari 1943— No. 7, 1 April 1943), tetap disebut sebagai cerpen, meskipun jika dilihat dari jumlah halamannya lebih tepat dikatakan sebagai novel. Oleh karena itu, sangat wajar jika konsep cerpen belum begitu tegas benar.
[1] Budi Darma dalam backcover buku itu menyatakan: “Kendati potongan kisah dalam kumpulan ini ditulis dengan jeda yang lama, pada hakikatnya potongan ini bukan kumpulan cerpen (kecuali “Kirana”), namun sebuah novel yang utuh mengenai sebuah keluarga dari dua generasi ….” Lihat juga Budi Darma, “9 dari Leila,” Tempo, 6 Desember 2009, hlm. 44. (more…)
MENCARI SEIKAT SERUNI
Leila S.Chudori
***
Inikah hari terbaik bertemu dengan-Mu
Jakarta tidak memiliki bunga seruni. Tetapi aku akan mencarinya sampai ke ujung dunia, agar ibu bisa mengatupkan matanya dengan tenang.
Ibu selalu berkata, jika dia mati, dia tahu apa yang akan terjadi. Yu Nina akan menangis tersedu-sedu (mungkin dia akan melolong); mas Arya akan membacakan surat Yassin dengan suara tertahan sembari mencoba mengusir airmatanya. Aku akan melakukan segala yang paling pragmatis yang tak terpikirkan oleh mereka yang tengah berkabung: melapor kepada pak RT, mengurus tanah pemakaman, mencari mukena, mengatur menu makanan dan botol air mineral untuk tamu, dan sekalian mencari kain batik. Terakhir, yang paling penting—yang selalu disebut-sebut Ibu—aku pasti mengais-ngais bunga-bunga kesukaan Ibu yang sulit dicari di Indonesia: bunga seruni putih. Dia tidak menyebut melati; juga bukan mawar merah putih. Harus seruni berwarna putih. “Kenapa seruni? Dan kenapa harus putih?” Ibu tidak menjawab. Dan aku tak pernah mendesaknya. Ramalan ibu tepat. Itulah yang memang terjadi.
Kami menemui ibu yang sudah membiru. Wajah yang membiru, bibir yang biru keunguan yang mengeluarkan busa putih. Di atas lantai yang licin itu, aku tak yakin apakah ibu terlihat lega karena bisa mengatupkan matanya, atau karena dia kedinginan. Kami menemukan sebuah sosok yang terlentang bukan karena sakit atau terjatuh, tetapi karena dia memutuskan: hari ini, aku bisa mati. Mungkin ibu tak pernah bahagia.
Atau mungkin dia merasa hidupnya memang sudah selesai hingga di sini. Mas Arya memeluk tubuh dingin itu tanpa suara. Aku hanya menutup mulut, sementara hatiku ribut. Tanganku sibuk. Aku menutup segala pertanyaanku dengan pragmatisme: bagaimana caranya mengangkat tubuh ibu dari lantai itu agar Ayah tidak melihat keadaan ibu yang serba biru. Jangan sampai Ayah melihat bahwa ini sebuah pernyataan dari Ibu. Selain itu, ibu harus segera diangkat karena dia pasti kedinginan. Lihat, warna biru itu semakin lama semakin ungu kekuningan. Sayup-sayup kudengar suara ibu: hari ini aku ingin mati. (more…)
Dari New York ke Legian
Leila S.Chudori
***
Legian, 16 Oktober, 2002
BALI sungguh sunyi dan murung. Laut diam. Ombak tak bergerak. Langit hitam dan pasir bungkam. Bulan yang berwajah masam bersembunyi di balik ranting. Sekumpulan bintang yang selama ini setia menggelantung di langit Bali kini menugaskan diri untuk mengunjungi mereka yang terluka. Seluruh energi kini terpusat pada sumbu lilin yang dinyalakan oleh hati yang duka.
Utara Bayu mencoba berbicara dengan mereka semua: laut, ombak, pasir, bulan, bintang dan langit. Tetapi dia merasa pasir yang diinjaknya begitu pegal dan sama sekali tak ingin mengerubungi kakinya. Biasanya pasir di pantai di Bali selalu ramah dan akrab. Tetapi kini seluruh semesta berhenti bergerak dan arloji di Bali seolah tak berdetak. Ini adalah hari keempat setelah bom menggelegar di tengah malam. Utara tahu, bom yang meledak di Bali itu mendadak menghentikan gerak jarum jam. (more…)
SEBUAH BUKU MERAH DAN KARBOL
Leila S.Chudori
***
“Asam sekali…” keluh Suwarto sambil meletakkan segelas air jeruk yang berwarna oranye mencolok itu ke atas meja.
Marwan masih tetap asyik dengan pikirannya sendiri. Matanya tertancap pada tembok kayu di sebelah kiri. Semut-semut yang datang berbonong-bondong menuju sarangnya sambil membawa serpihan roti itu menarik perhatiannya. Pasti mereka akan mengumpulkan makanan itu lantas menikmatinya bersama-sama, pikirnya. Tentunya juga, mereka akan membagi sama rata apa yang mereka peroleh.
Seekor semut tertatih-tatih membawa serpihan roti yang agak besar. Beberapa ekor semut di belakangnya segera mengelilingi semut itu dan dalam sekejap serpihan roti yang agak besar itu telah terbagi menjadi empat. Mata Marwan terbelalak. Kaget.
“Kenapa?” tanya Suwarto ikut-ikutan kaget.
Marwan tidak menjawab. Matanya menyipit mengamati kegiatan semut-semut itu. Itu tandanya ia sedang asyik dalam dunianya sendiri. Suwarto menggigit bibirnya. Ia kesal. Tapi tak berani mengganggu keasyikan Marwan. Limabelas menit kagim seharusnya ia berada di kamar gelap untuk menyelesaikan beberapa potretnya yang akan dimuat untuk majalahnya edisi berikutnya. Akhirnya sambil berdehem , ia pura-pura menengok arlojinya. Tak lupa pula ia mengerit-ngerit kaki kursinya. Ia tahu, Marwan benci suara keritan kursi. (more…)