LEILA CHUDORI’S US TRIP FOR “HOME, A NOVEL”, trans by John McGlynn, published by Deep Vellum, US
-
Monday, April 11th, Brazos Bookstore, Houston , Texas, 19.00
2421 BISSONNET STREET • HOUSTON, TEXAS 77005 (more…)
PERSEMBAHAN TERAKHIR DARI UMBERTO ECO
NUMERO ZERO
Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Richard Dixon
Penerbit: Houghton Mifflin Harcourt, 191 halaman
***
“Baiklah. Aku menyimpulkan kita sama-sama lelaki yang tidak bermutu dan tidak punya integritas,” kata Dottor Collona kepada Simei, “maaf untuk alusi ini. Aku aku terima tawaranmu,” kata Dottor Collona kepada Simei.
Sebuah kesepakatanpun terbuhul. Sebuah rancangan konspirasi besar dibentangkan.
Perkenalkan, inilah protagonis terbaru Umberto Eco yang bernama Dottor Colonna, seorang jebolan universitas yang tak sampai sarjana; penulis gagal yang bergonta-ganti profesi. Sesekali dia mencari nafkah menjadi penyunting penerbit kecil atau menerjemahkan bahasa Jerman ke dalam bahasa Itali. Kali lain Colonna menjadi ghost-writer novel detektif murah meriah. Tawaran yang paling megah adalah menjadi ghost-writer sebuah novel bertema jurnalistik investigatif dengan tawaran yang duitnya sungguh menggiurkan dan bisa menghidupinya hingga akhir hayat. (more…)
UMBERTO ECO DAN BUNGA MAWAR YANG ABADI
Meski ia sudah menulis beberapa novel, adalah “Il nome della rosa” yang masih saja dibicarakan pembaca. Ia wafat dan mewariskan novelnya yang abadi di tangan pembaca.
***
Bagaimanakah Umberto Eco membayangkan atribut untuk dirinya setelah wafat Jumat dua pekan silam? Seorang sastrawan yang mengguncang dunia dengan novel Il nome della rosa (The Name of the Rose) yang menjadi bestseller sepanjang hayat? Seorang ahli semiotik, filsuf, eseis, ahli ilmu semiotika atau kritikus sastra? Atau sebagai seorang pecinta buku fanatik yang memiliki 30 ribu buku di apartemennya di Milan dan 20 ribu buku di rumahnya di pinggiran Urbino?
Berita wafatnya memang agak tertutup oleh kebisingan media Amerika yang mengulang-ulang berita dukacita Harper Lee, seorang raksasa sastra lain yang juga menggemparkan dunia karena novel “To Kill a Mockingbird”. Tapi Umberto Eco melekat di hati pembaca, juga di Indonesia karena novel (yang juga sudah diangkat ke layar lebar dengan judul sama) tak lain karena Il nome della rosa . (more…)
ELIF SHAFAK:
“Saya tak Ingin Memilikki Satu Identitas”
THE ARCHITECT’S APPRENTICE
Tebal : 424 halaman
Produksi : Viking Penguin, 2015
Di sebuah malam yang pekat. Istanbul 22 Desember 1574.
Jahan, sang penakluk gajah putih Chota di istana raja, mendengar jeritan keras melengking. Menyayat. Seluruh pojok istana terbangun dan tak ada yang berani bergerak. Pemuda kecil Jahan yang baru berusia 12 tahun, tampan dan naif, mengira ada yang membutuhkan bantuannya mencari asal-usul suara yang memilukan itu. Setelah beberapa saat di atas lantai marmer yang dingin itu, Jahan menyingkap selembar kain yang menutupi empat tubuh lelaki kecil. Empat jenazah adik lelaki sang raja……Seluruh tubuh Jahan bergetar. Siapa gerangan yang tega menghabiskan nyawa anak-anak kecil ini….
Demikian Elif Shafak membuka bab awal novel terbarunya. Shafak, sastrawan Turki terkemuka selain pemenang Nobel Orhan Pamuk,meluncurkan novel terbarunya ini di di International Literature Festival Berlin September lalu dan menjadi salah satu acara yang paling ramai membludak oleh pengunjung. Setelah enam novelnya yang seringkali menjadi kontroversi, Elif kini memilih setting di masa berjaya Imperium Turki, orang Barat menyebutnya Imperium Ottoman (Usmaniyah) abad 16. Dari mata seorang anak lelaki India bernama Jahan, yang bertugas merawat seekor anak gajah putih di istana Sultan, kita memasuki sebuah dunia istana kesultanan dan keluarganya dengan cerita berlapis-lapis.
SEORANG LELAKI BIASA YANG PENUH RAHASIA
A MAP OF BETRAYAL
Penerbit : Pantheon Books, 288 halaman
Sang Ibu berpesan pada puterinya Lilian, protagonis novel ini, “sepanjang aku masih hidup, jangan pernah kamu punya urusan dengan perempuan itu.” ‘Perempuan itu’ adalah kekasih simpanan Ayahnya bernama Suzie. Lilian patuh.
Begini ibunya menghembuskan nafas terakhir, salah satu yang dilakukan Lilian adalah menemui Suzie, karena dialah yang paling mengetahui banyak hal tentang Ayahnya, Gary, seorang intelijen Cina yang pernah dihukum pemerintah AS. Dari Suzie, Lilian memperoleh sebuah buku harian yang menunjukkan berbagai hal yang tersembunyi selama hidupnya. Lilian terkejut dengan banyak hal tentang Ayahnya yang ternyata memiliki isteri pertama yang berada nun di daratan Tiongkok sana.
Lilian memutuskan pergi menyeberang ke Beijing dan perlahan mencari jejak-jejak kehidupan Ayahnya, bagaimana ia kali pertama direkrut oleh intelijen partai hingga akhirnya dipercayakan untuk ditanam selamanya di dalam CIA. (more…)
Ha Jin:
“Saya Menulis dalam Bahasa Inggris sebagai Perlawanan.”
Hujan deras di penghujung musim panas Berlin membuat semua sastrawan dari berbagai negara berlindung dalam “author’s tent’ (tenda para sastrawan). Mereka saling mendekat karena udara dingin menusuk tulang, sembari berbincang dan mengisi gelas dengan anggur merah untuk menghangatkan tubuh. Bulan September, Internationales Literaturfestival Berlin menyajikan banyak nama besar yang biasa ada di rak buku Anda: ada Elif Shafak, Kazuo Ishiguro, Roddy Doyle, Michael Cunningham, Wole Soyinka dan Martin Amis dan Ha Jin, sastrawan Cina –yang kini menjadi eksil di AS—yang banyak dikerubung wartawan sepanjang hari.
Di antara lebih dari 100 sastrawan internasional, Ha Jin mungkin yang paling tidak menyadari bahwa dia juga salah seorang bintang di antara bintang besar lainnya. Sastrawan yang sudah menghasilkan beberapa kumpulan cerpen dan tujuh novel ini sudah diganjar berbagai penghargaan prestisius seperti Flannery O’Connor Award for Short dan FictionPEN/Hemingway Award. Novelnya “War Trash” memenangkan PEN/Faulkner Award yang membuat dia dibandingkan dengan penulis Amerika Philip Roth dan E.L Doctorow.
Mengenakan topi dan kemeja dan celana panjang yang selalu berwarna gelap, Ha Jin tampak selalu rendah hati dan ramah berbincang dengan siapapun yang menghampirinya dan meminta berfoto dengannya. Ha Jin, lahir dengan nama Jīn Xuěfēi –yang berarti salju yang beterbangan—di propinsi Lianing, Cina pada tahun 1956. Mao Tse Tung meluncurkan Revolusi Kebudayaan ketika Ha Jin berusia 10 tahun dan menurut dia kepada Tempo, ingatan dia samar-samar tentang semua peristiwa itu. “Saya Cuma ingat ibu saya pernah dihukum bekerja keras karena dia melakukan suatu kesalahan, dan saya tak tahu apa salahnya.” Ha Jin juga mengaku bingung dan tak paham ketika semua remaja harus mendaftar Tentara Merah. “Saya belum mencapai usia 14 tahun saat saya menjadi tentara merah,” katanya. (more…)