A Separation


sparatonKEMBALI PADA KEKUATAN BERCERITA

Dengan teknik bercerita yang sederhana, sutradara Iran Asghar Farhadi menyajikan ledakan yang dahsyat dalam film ini. Berhasil meraup penghargaan di Academy Awards,  Golden Globe, Berlinale.

Sutradara : Asghar Farhadi
Skenario : Asghar Farhadi
Pemain : Leila Hatami, Peyman Moaadi, Shahab Hosseini, Sareh Bayat, Sarina Farhadi

Di suatu hari di Teheran. Pasangan itu menatap kamera, menatap kita. Sang isteri menyatakan alasannya untuk bercerai: dia mendapat tawaran bekerja di luar Iran, tetapi sang suaminya tak bersedia ikut. Sang suami menjawab, dengan nada enggan, bahwa dia tak bisa mengikuti isterinya karena harus mengurus ayahnya yang sudah tua renta dan menderia alzheimer.  Perceraian tidak dikabulkan karena menurut hakim—yang hanya muncul suara belaka—tidak bisa terjadi jika tak disepakati kedua belah pihak.

Dari adegan ini, kita mengikuti mata dan hati sutradara Asghar Faradi yang sebetulnya tidak bercerita tentang (upaya) perceraian belaka, tetapi lebih dalam lagi ia menyajikan berlapis-lapis persoalan yang justru terjadi karena perkawinan mereka yang berstatus tak jelas (itulah sebabnya judul asli film ini dalam bahasa Parsi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris adalah The Separation of Nader from Simin). Perpisahan, bukan perceraian.

Perpisahan sementara itu berarti, Simin (Leila Hatami) sang isteri pindah ke rumah orangtuanya sementara menanti Termeh (Sarina Farhadi), puteri berusia 11 tahun yang belum mau memutuskan untuk ikut Simin pindah ke luar negeri atau ikut Ayahnya menetap di Teheran. Sang suami, Nader (Peyman Moaadi) bersikeras mengurus sang kakek (Ali-Asghar Shahbazi ) yang tak selalu mempunyai memori jelas tentang orang-orang di sekelilingnya; harus dimandikan dan dibantu buang air karena didera alzheimer. Untuk mengurus sang Kakek pada siang hari, Nader menyewa seorang pengurus rumah bernama Razieh (Sareh Bayat), seorang ibu muda yang tengah hamil, yang senantiasa harus menenteng puterinya yang masih balita. Razieh,seorang relijius yang taat mencoba bekerja sebisanya meski sesekali dia harus menelepon hotline konsultasi agama, apakah jika dia membantu membersihkan majikannya yang bahkan tak bisa lagi mengontrol urinnya itu, dianggap dosa.

Semula, kita mendapat kesan  plot seakan disitir ke persoalan akibat sebuah rumahtangga yang “ditinggal” isteri/ibu. Ternyata dengan cerdas, sutradara Asghar Farhadi membelokkan ke persoalan baru. Suatu sore, dia menemukan sang kakek dalam keadaan pingsan terikat di pinggir tempat tidur. Razieh dan puterinya menghilang sesaat dan kembali sembari meminta maaf karena dia terpaksa pergi untuk “sebuah keperluan penting” (bagian ini sengaja diulur sutradara untuk sebuah inti suspens akhir cerita). Murka karena Ayahnya disia-siakan, Nader mengusir Razieh tanpa membayar upah hari itu. Razieh ngotot untuk tetap dibayar dan terjadilah dorong mendorong hingga akhirnya Razieh terjatuh bergulingan hingga ke dasar tangga.

Inilah titik persoalan yang ingin diajukan Asghar Farhadi. Razieh mengalami keguguran. Suami Razieh, Hodjat (Shahab  Hosseini)  lelaki pengangguran temperamental yang gemar menjedug-jedug kepala sendiri, menuntut keadilan. Penonton yang sudah di pinggir kursi diajak mengikuti pengadilan sederhana—hanya di sebuah ruang kecil, tanpa juri,tanpa jaksa, tanpa pengacara, tanpa artis sketsa—yang bergantung pada seorang petugas arbitrase tua yang lelah yang bertindak seperti hakim dan pada kesaksian yang bisa diplintir kemana-mana. Bayangkan betapa tegangnya.

Mengapa film dengan tema yang sudah dikunyah-kunyah Hollywood ini jadi begitu istimewa hingga meraih semua penghargaan festival termasuk Film Asing Terbaik Academy Awards 2012? Pertama, justru karena kesederhanaan sinematik dan sentuhan realisme yang sudah lama ditinggalkan para sineas dunia yang sedang kelojotan dengan teknologi 3D dan CGI (Computer Generated Imagery). Dialog yang terasa dekat dan jujur dengan setiap karakter yang membawakannya, gerak tubuh dari yang kecil (misalnya sorotan mata sang kakek atau pandangan mata Termeh yang putus asa melihat pertengkaran orangtuanya) hingga pergerakan fisik dorong mendorong yang sengaja dibuat tak terlalu jelas. Kedua, Hollywood gemar voyeurism. Kisah perpisahan atau perceraian sepasang suami isteri lazimnya disertai dengan perseteruan yang melibatkan orang ketiga, perselingkuhan dan gedar gedor di pengadilan yang memaksa setiap pihak memberi bukti. Sutradara Iran Asghar Harhadi tidak tertarik dengan saling tuding menuding antar suami-isteri Nader dan Simin. Perseteruan justru terjadi antara keluarga Nader dan keluarga Hodjat dan Razieh yang berpusar pada: apakah Nader mengetahui Razieh memang hamil, karena jika dia mendorong Razieh yang hamil hingga keguguran, maka ia bisa dianggap melakukan pembunuhan dan bisa dihukum penjara hingga tiga tahun.

Pembuktian demi pembuktian kemudian perlahan terbuka yang kemudian bukan saja mengungkap fakta-fakta yang mengejutkan tentang nasib janin tersebut, tetapi juga –inilah pandainya Asghar Farhadi—seluruh tokoh dalam cerita bisa dia libatkan secara utuh dalam cerita ini. Baik sang kakek, yang semula seolah ditempel alam cerita maupun guru Termeh adalah tokoh-tokoh pendukung yang sama pentingnya dengan peran utama. Semua tokoh, semua lokasi memiliki arti dan terlibat dalam lingkar plot yang jenius ini.

Mungkin satu-satunya pertanyaan yang masih mengganjal adalah alasan Simin untuk meminta cerai tak kunjung terungkap, meski secara tersirat disebut dalam dialog soal ‘keinginanmu untuk meninggalkan negeri ini.’ Mungkin Asghar merasa itu tak penting. Tetapi akibatnya, sosok Simin terkadang menjadi tidak simpatik dan penonton akan lebih mudah membela Nader yang dengan telaten mengurus sang kakek yang sudah tak berdaya.
Tetapi menyaksikan film ini adalah sebuah kemewahan karena bisa menjadi saksi sebuah  peristiwa kesenian yang tak ada duanya. Ini juga bukti dan tantangan bagi para sineas Indonesia untuk membuat film dengan cerita yang sederhana dan teknologi yang sangat sangat sederhana. Pada akhirnya film yang berhasil membuat penonton terlibat bertumpu pada penuturan cerita. Itulah sebabnya Asghar Farhadi adalah satu dari sedikit sutradara yang tahun ini meraup piala di festival manapun yang dia hadiri.

Leila S.Chudori