Melawan Lupa Sejarah Kelam Indonesia 1998
Fadly Rahman
“A nation which loses awareness of its past gradually loses its self”(Milan Kundera, The Book of Laughter and Forgetting, 1996)
1998 adalah titik balik yang penting dalam sejarah Indonesia. Betapa tidak, kekuasaan rezim Orde Baru di bawah Soeharto yang berkuasa sebagai presiden selama 31 tahun pada akhirnya tumbang. Selain kondisi politik dan ekonomi Indonesia yang melimbung pada 1997, gerakan mahasiswa menjadi pendorong penting terjadinya revolusi politik pada 12 Mei 1998.
Seakan telah menjadi hal lumrah, revolusi selalu memakan anak-anaknya sendiri. Dan itu pula harga yang seolah harus ditebus oleh beberapa aktivis yang di antaranya tewas terbunuh, mengalami luka fisik dan trauma mental, serta mereka yang hingga kini masih berstatus hilang.
Indonesia memang telah dianggap memasuki orde reformasi dalam berbagai aspek kehidupan. Sejak 1998 hingga kini, kekuasaan presiden di Indonesia telah lima kali mengalami pergantian. Namun genap 20 tahun, tragedi kemanusiaan pada 1998 yang mengantarkan Indonesia pada alam reformasinya belum kunjung terusut tuntas dan masih banyak berselimutkan misteri, mulai dari siapa dalang utamanya hingga ke mana rimbanya para aktivis yang (di)hilang(kan)? (more…)
Ironi, Sastra dan Politik Hak Asasi Manusia
Bagian 1: Orang Hilang dan Keberanian Sipil
Banyak orang dari generasi masa kini membayangkan kasus penculikan aktivis di tahun 1998 dalam kerangka yang kabur dan terbatas: ada yang berhenti pada cerita mengenai pribadi-pribadi “elit anti-hak asasi” dengan pelaku seperti Prabowo, Tim Mawar. Ada juga yang melihat kejadian itu semata-mata dalam sudut heroisme anak muda, mereka yang menjadi korban kekerasan politik Orde Baru. Bagi mereka yang tidak ada dalam suasana politik dan dalam pertarungan perjuangan hak asasi di masa ujung Orde Baru itu, peristiwa seputar penculikan memang akan dipandang sebagai sejenis sejarah masa lalu yang tidak berkaitan dengan napas hidup mereka kini.
Pun bagi yang kini masih terus bekerja di dalam hak asasi, peristiwa seputar penculikan itu, seiring dengan melesatnya waktu, makin dipahami semata-mata sebagai kasus episodik dari tumpukan kasus-kasus kekerasan peninggalan rezim Soeharto. Implikasi-implikasi radikal terhadap relasi politik demokratis konkret yang merupakan resultante dari pergolakan hak asasi seputar kasus itu sering dilupakan. (more…)
Sastra sebagai Medium Politik*
Oleh : Rocky Gerung
Journalism is printing what someone else does not want printed. Everything else is public relations – George Orwell
Tetapi tak begitu di sini. Hari-hari ini justru segala yang diedarkan jurnalis adalah nyaris “public relations”. Yaitu promosi infografis kekuasaan. Suatu psikologi status quo mudah terbaca “between the lines” jurnalisme “jaman now”. Dalam paradigma “Orwellian politics”, itu adalah pengendalian opini publik: “Big brother is watching you!” Jurnalisme menjadi ruang estetika kekuasaan. Rezim estetika mempercantik diri sendiri melalui peralatan “beauty case” jurnalisme: headline sebagai pemerah bibir dan editorial sebagai pelembab wajah. Pencitraan, begitu diistilahkan milenials.
Patriarki yang bersolek, dalam kritik feminisme, adalah teknik sublimasi kekuasaan melalui “public relations”. Demokrasi memang memungkinkan kekuasaan beroperasi pada dataran ideologis, yaitu dengan memanipulasi psikologi publik melalui apa yang disebut (dalam tradisi Althusserian) “Aparatus Ideologi Negara”. (more…)
Laut Bercerita: Antara Mengingat dan Melupakan Sebuah Pembacaan
Melani Budianta
“Laut Bercerita” : Akhir yang mengawali
“Pada Kamis keempat di awal tahun 2007 itu, di bawah matahari senja, di hadapan Istana Negara, kami berdiri dengan baju hitam dinaungi ratusan paying hitam. Kami tak berteriak atau melonjak, melainkan bersuara dalam diam” (hal.363)
Kutipan di atas diambil dari segmen terakhir menjelang Epilog, di bagian II novel Laut Bercerita. Novel kedua Leila S. Chudori ini diakhiri dengan momen larung foto korban ke laut oleh keluarga korban, dan ditutup oleh refleksi Asmara Jati, adik perempuan tokoh utama yang menjadi narator bagian II :
“Tahun sudah berganti memasuki 2008, dan masih mempunyai banyak pekerjaan rumah yang berarti karena sejauh ini belum memperoleh perkembangan apa-apa yang besar. Hilangnya Mas Laut dan kawan-kawan sudah diramaikan media, diangkat sebagai drama, musik dan berbagai medium, tetapi kami ingin pemerintah mengungkap kasus ini hingga tuntas. Mungkin Aksi Payung Hitam setiap hari Kamis bukan sekadar sebuah gugatan, tetapi sekaligus sebuah terapi bagi kami dan warga negeriini, sebuah peringatan bahwa kami tak akan membiarkan sebuah tindakan kekejian dibiarkan lewat tanpa hukuman.
…. (more…)
Retour vers la 13 467ème île d’Indonésie
Foreword for “Retour”, French translation of “Pulang, a Novel”, translated by Michel Adine and Éliane Tourniaire, published by Pasar Malam.
Retour vers la 13 467ème île d’Indonésie
Didier Daeninckx
****
Les Nations Unies considèrent que l’Indonésie est formée de 13 466 îles, mais le roman de Leila S. Chudori s’attache à nous décrire la 13 467ème île qui a échappé au recensement des géographes. Une île minuscule de dix mètres sur douze, située à cinq cents mètres à peine de l’île de la Cité sur laquelle Notre-Dame de Paris prend appui, un territoire microscopique qui n’est visible que par les romanciers (et leurs lecteurs).
Pour comprendre comment un archipel colonisé par les Portugais puis les Néerlandais a ainsi pu égarer l’une de ses composantes, il faut faire un saut de 50 ans dans le passé et feuilleter les journaux jaunis de 1965. Cette année-là, alors qu’au nord de l’Indonésie la guerre du Vietnam fait rage et que la Révolution culturelle enflamme la Chine, l’armée fomente un coup d’État dont le principal objectif est de se débarrasser du parti communiste, l’un des plus puissants du monde avec plus de trois millions d’adhérents. Le général Suharto déclenche la chasse qui n’épargnera aucune ville, aucun village. A la mi-octobre 1965, la capitale Jakarta est nettoyée des éléments marxistes par les commandos parachutistes qui procèderont à des exécutions de masse à Semarang, Solo, Magelang et Wonosobo les jours suivants. Des milices civiles prêtent main forte aux tueurs. Aidit, le secrétaire général du Parti communiste est passé par les armes, sitôt arrêté. Sur l’île de Java, les massacres se prolongent pendant un mois, les rivières, rouges de sang, charrient les cadavres par milliers, avant que les pogroms se multiplient sur l’île de Bali où le responsable du PKI est coupé en morceaux. Les historiens estiment le chiffre des victimes à 500 000 et l’un d’eux, Jean-Louis Margolin, note qu’il est semblable, en proportion, à celui des victimes de la Grande Terreur stalinienne du milieu des années trente. Près de deux millions de personnes furent arrêtées, un grand nombre incarcérées dans des camps de concentration, des procès fournirent des cibles aux pelotons d’exécutions pendant près de vingt ans, et ce n’est que 35 années après la prise de pouvoir du général Suharto que fut supprimée de la carte d’identité le tampon qui spécifiait que son possesseur était un ancien prisonnier politique. (more…)
SEMENTARA MENUNGGU PULANG: LEILA CHUDORI DAN PENGUNGSI
Oleh : Muhamad Haji Saleh
Pada tahun 1965 pemerintahan Sukarno dijatuhkan oleh Suharto dan sekumpulan generalnya. Mereka segera mendirikan sebuah pemerintahan yang kini dikenali sebagai Odre Baru. Ratus ribuan orang yang disangka atau dituduh terlibat dengan kumpulan kiri atau komunis, (walau pun tuduhan itu tidak benar), termasuk ahli keluarga mereka, dibunuh dengan kejam. Ribuan keluarga pula terlantar, dicantas dari kehidupan dan sejarah.
Sewaktu penggulingan itu beberapa orang wartawan daripada Kantor Berita Nusantara, sebuah organisasi berita negara sedang berada di Argentina, dikirim ke sana untuk menghadiri sebuah seminar. Pasport mereka dicabut. Akhirnya mereka tiba di Paris yang juga sedang bergolak dengan demonstrasi pelajar. Indonesia menjadi kacau dan keadaan politik tidak menentu. Keluarga dan teman mereka meminta supaya mereka menunggu sehingga negara menjadi aman. Berita yang tiba juga mengerikan – beberapa orang yang tinggal sudah pun dibunuh. (more…)
Review: Voices from the unheard
http://www.insideindonesia.org/feature-editions/review-voices-from-the-unheard
’1965’ (Goenawan Mohamad)
Angka itu kini jadi sejenis kode yang ditafsir: satu titimangsa, kata orang Sunda, tentang suatu kejadian yang begitu besar—terkadang disebut “peristiwa sejarah” –dan sebab itu selalu disederhanakan. Pembunuhan sejumlah jenderal sekaligus. Pembalasan yang mengerikan terhadap orang PKI. Awal pergantian sejarah politik Indonesia yang traumatis.
Kita tahu, “1965” lebih dari itu semua. “Sejarah adalah langkah seorang raksasa yang tak punya hati,” kata-kata itu tercantum dalam novel Amba, dalam sepucuk surat yang selama bertahun-tahun disembunyikan di bawah sebatang pohon di Pulau Buru oleh penulisnya, seorang dokter, seorang tapol, yang kemudian terbunuh. “Sejarah menyingkirkan orang-orang kecil dari catatan.”
Novel Amba melawan itu: menghadirkan orang-orang yang tersingkir dari catatan tahun 1965—dan begitu pula Pulang.
Entah kenapa kedua novel tebal itu terbit tahun 2012 ini dalam waktu berdekatan. Amba, karya Laksmi Pamuntjak, dengan prosa yang memukau menggambarkan hidup seorang gadis anak seorang guru di kota kecil Kadipura, suasana Jawa Tengah dan Timur yang berubah dan tegang, bentrokan berdarah di Yogya, dan akhirnya kehidupan mereka yang dibuang di Pulau Buru. Pulang, karya Leila S. Chudori, dengan cara bertutur yang hidup dan memikat, mengisahkan mereka yang terpaksa jadi eksil di Eropa, atau dihabisi di Jakarta—karena dianggap “PKI”—juga anak-anak mereka.
Entah mengapa, tampaknya tahun 2012 adalah tahun yang ingin mengingatkan, dan “1965” adalah fokusnya. Di salah satu edisi khususnya majalah Tempo memuat hasil wawancara mereka yang ikut membunuh orang-orang PKI atau disangka PKI di sekitar tahun 1965—sebuah reportase mengenai hal itu yang pertama kali diterbitkan di Indonesia. (more…)
“Pulang, Nostalgia, Harapan dan Kebebasan”
Robertus Robet
Home is where one starts from. As we grow older
The world becomes stranger, the pattern more complicated
Of dead and living.
(T.S. Elliot, East Coker, “Four Quartets)
Ke mana kita pulang, rupanya bukan melulu urusan arah atau tempat dari mana orang berasal. Pulang bukanlah perkara teritori geografis yang melekat dalam ekslusifitas praktik rutin individual yang tanda materialnya tergeletak rongsok dalam rupa tiket kereta api yang dijepit atau karcis tol yang tercecer, atau sepatu dan sandal yang tertata di depan pintu rumah. Pulang rupanya adalah elemen kompleks dan paling emosional, resonansi terdalam dari pengalaman kehidupan yang seringkali bersifat epik.
Dua milineum lalu, Homer memulai kisah mengenai dahsyatnya hasrat ingin pulang. Odysseus diceritakan menerjang segala godaan, menghadapi berbagai monster guna memenuhi rasa rindu paripurna untuk pulang ke tempat yang ia kenal pertama kalinya. Homer memberikan jiwa tokoh Odeysseus dengan hasrat untuk pulang. Banyak penulis kemudian, seperti Homer –langsung maupun tak langsung, menjadikan pulang sebagai tema arketip. Penulis besar seperti Virginia Wolf, Doris Lessing hingga Tony Morrison, masing-masing pernah mengisahkan pengalaman nostalgis manusia, tentang hasrat yang sekaligus juga ratapan mengenai suatu tempat di luar sana. Lalu hari ini kita menghadapi novel Pulang karya Leila S. Chudori.
Berhadapan dengan sebuah novel, kita diberi beberapa pilihan sikap. Pilihan pertama, kita bisa menghadapinya dalam kerangka seorang ahli estetika dan ahli bahasa yang memeriksa seluruh pernik serta detail kelengkapan, tata bahasa, fakta dan keunggulan estetis sebuah karya. Dari situ kita menyajikan plus-minus, efek rasa dan dimensi estetis novel tersebut kepada pembaca. Sikap kedua, kita bisa berdiri sebagai seorang Marxist, yang menilai sejauh mana novel ini mengungkap relasi-relasi sosial dan sejarah penindasan kelas. Dari situ vonis kita jatuhkan dengan kategori: novel revolusioner atau novel kontra-revolusioner. Sikap ketiga, kita bisa juga menghadapinya seperti seorang Michele Foucault. Melalui novel, kita memeriksa sejarah intelektual si penulisnya. Mengapa si penulis memilih A dan bukan B, mengapa si penulis memilih konsep atau ide A atau peristiwa B, apa kira-kira yang menjadi landasan dan kepentingannya? Doktrin kebenaran apa yang mau disajikan di dalam novel? Pilihan keempat, kita bisa mengambil sikap kesetaraan Ranciere. Dalam sikap ini yang utama bukan bagaimana novel menyajikan keadiluhungan estetiska, atau mengungkap kontradiksi kelas atau versi kebenaran apa, melainkan justru sejauh mana novel ini menerabas sekat-sekat estetis hingga bisa diresapi oleh orang banyak. Novel yang berhasil adalah novel yang secara estetis justru mampu menerjang klaim-klaim estetika dan ke-adiluhungan sehingga mampu dicerna secara setara oleh banyak orang. Cara kelima adalah cara paling mudah, dianjurkan oleh Richard Rorty. Bagi Rorty, sebuah novel tidak perlu dilihat aspek intrinsik estetisnya. Yang penting adalah bagaimana kegunaan novel itu dalam rangka ‘extensification of the self’ , sejuah mana sastra mampu mempeluas diri atau mereplikasi kemanusiaan ke dalam pembacanya hingga bisa menghalau fear and violences.
Oleh karena keterbatasan saya dalam bidang sastra, saya lebih menyukai pilihan keempat dan kelima: Ranciere dan Rorty. Oleh karenanya, soal teknis bahasa, gaya, diksi, teknis bagaimana plot disusun, bagaimana penokohan dibangun dan bagaimana level estetika, bukan menjadi urusan saya. Yang terpenting bagi saya adalah bagaimana sebuah karya mampu menerjang dan merobohkan sekat-sekat linguistik dan estetis hingga ‘affect dan effectnya’ terasa bagi semua orang dan pada akhirnya ia mampu memperluas perasaan kemanusiaan. (more…)