KEBARUAN DALAM 9 DARI NADIRA
Maman S Mahayana
Konsep cerpen—novel akhirnya gagal mempertahankan dirinya.[1] 9 dari Nadira (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Oktober 2009, xi + 270 halaman) karya Leila S. Chudori boleh mengajari para penghamba teori untuk tidak lagi bersikukuh pada konsep.[2] Bukankah teks sastra yang melahirkan teori? Maka ia harus rela mendahulukan teks (sastra) yang berhasil menyibakkan rimbun teori dalam membuka jalan baru. Itulah yang terjadi pada 9 dari Nadira yang berada pada garis demarkasi cerpen—novel. Jadi, sinyalemen Budi Darma tentang 9 dari Nadira sebagai novel, patutlah dipertimbangkan.[3] Bahkan, mengingat
* Makalah Diskusi 9 dari Nadira, diselenggarakan Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, Salihara, 2 Agustus 2010.* Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Kini bertugas sebagai dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan.[1] Sejak awal pertumbuhannya, konsep cerpen (cerita pendek) memang tidak mengadopsi konsep cerpen (short stories) dari Barat. Sejak sejumlah penerbit swasta menerbitkan karya-karya sastra, penyebutan cerita dan hikayat sering digunakan dalam pengertian yang sama. Penulisan kata Hikayat pada sejumlah cerita –novel dalam pengertian sekarang—seperti Hikajat Soeltan Ibrahim (1890), Hikajat Amir Hamzah (1891), Hikajat Njai Dasima (1896) karya G. Francis sampai ke Hikayat Kadirun (1920) karya Semaun, Hikajat Soedjanmo (1924) karya Soemantri serta karya para penulis Cina Peranakan menunjukkan adanya hubungan yang sangat dekat dengan hikayat dalam kesusastraan Melayu lama. Jika kita mencermati cerpen-cerpen Indonesia yang awal, maka di satu sisi, terbuktilah, bahwa penulisan prosa Indonesia modern dimulai dari cerpen, dan di sisi lain, menegaskan bahwa kesusastraan Indonesia tidak lahir dari sebuah kekosongan. Ada sebuah perjalanan yang bergulir mencari jati dirinya. Lihat saja majalah Sahhabat Baik yang pertama kali terbit Desember 1890, sebagai kelanjutan Soerat Kabar India-Nederland. Dinyatakan dalam semacam kata pengantar majalah itu: “Sabermoela kita mengchabarkan jang Soerat Kabar India—Nederland jang tjontonja tahoen lennyap di kirimkan kepada sekalijan orang isi negri di Tanah India—Nederland tidak boleh di teroeskan terbitnja, maka sebab ija tidak dapat pertoeloengan bagaimana mestinja… (dikutip sesuai aslinya), di dalamnya termuat cerita pendek berjudul “Tjerita Langkara dari Orang Isi Negeri jang Soeloeng di Poelaoe Djawa,” dan beberapa cerita pendek lain. Di dalam subjudulnya majalah itu, tercantum keterangan berikut ini: Hikajat, tjerita, dongeng, sjair, pantoen, dan lain-lain dari pada itoe. Di Koempoelkan dan di hijasi dengan bebrapa gambar ….”
[1] Konsep cerita pendek sebagai cerita yang ringkas dan padat –apalagi dengan singkatan cerpen—pada awal abad ke-20 memang belum begitu jelas. Cerita bersambung (feuilleton) juga disebut sebagai cerpen. Pada dasawarsa kedua abad ke-20 penamaan cerita pendek sudah mulai jelas menunjuk pada cerita-cerita yang pendek dan ringkas yang dimuat media massa. Meskipun begitu, masih banyak cerita bersambung yang disebut cerpen. Bahkan, pada zaman Jepang, cerpen pemenang pertama lomba penulisan cerita pendek, “Setinggi-tinggi Terbang Bangau” karya Andjar Asmara yang kemudian dimuat dalam majalah Djawa Baroe secara berturut-turut selama tujuh edisi (No. 1, 1 Januari 1943— No. 7, 1 April 1943), tetap disebut sebagai cerpen, meskipun jika dilihat dari jumlah halamannya lebih tepat dikatakan sebagai novel. Oleh karena itu, sangat wajar jika konsep cerpen belum begitu tegas benar.
[1] Budi Darma dalam backcover buku itu menyatakan: “Kendati potongan kisah dalam kumpulan ini ditulis dengan jeda yang lama, pada hakikatnya potongan ini bukan kumpulan cerpen (kecuali “Kirana”), namun sebuah novel yang utuh mengenai sebuah keluarga dari dua generasi ….” Lihat juga Budi Darma, “9 dari Leila,” Tempo, 6 Desember 2009, hlm. 44. (more…)
Tentang novel “Pulang” karya Leila S. Chudori dan Kontekstualisasi Fakta Historisnya[1]
Oleh Budiawan[2]
Saya ingin melakukan kontekstualisasi fakta historis yang terkandung di dalam novel ini, yakni perihal para eksil politik Indonesia sesudah Peristiwa 30 September 1965 terjadi. Kontekstualisasi ini mungkin bermanfaat untuk memperkaya wawasan sejarah, yang di dalam novel ini menyisakan sejumlah celah. Sebuah novel, bahkan novel sejarah sekalipun, memang tidak berpretensi untuk menuturkan kisah sejarah itu sendiri.
Sebelum melakukan kontekstualisasi itu, saya merasa perlu memaparkan ringkasan isi novel ini. Sebab, saya tidak boleh berasumsi bahwa semua yang hadir dalam forum ini sudah membaca novel ini. (more…)
Mencermati Naratif Novel Pulang
Oleh Bagus Takwin
1
Saya membaca novel Pulang dan tertarik untuk terus membacanya sampai akhir, terpikat dan terhibur. Saya mendapatkan apa yang selayaknya diperoleh dari cerita: naratif Pulang membantu saya memaknai sebuah bagian hidup bernama Indonesia dan memeriksa kembali keyakinan dan konstruk saya tentang Indonesia.
Kini saya ingin tahu lebih banyak apa yang membuat Pulang memikat dan membantu saya memaknai kembali Indonesia. Saya menduga, kekuatan naratif novel ini yang berperan besar menghasikan daya pikat dan daya gugahnya. Maka, saya menelusuri unsur-unsur naratif novel karya Leila S. Chudori itu.
penis enlargement product