PENDONGENG ULUNG BERNAMA AMITAV GHOSH

9999--GP--COVERAmitav Ghosh , sastrawan asal India yang menetap di New York City  menganggap Indonesia adalah tempat yang paling menarik untuk dipelajari. Atas undangan pemerintah Indonesia,  bulan November mendatang Ghosh akan berlayar ke Maluku dan Papua untuk riset karyanya. Delapan novel Ghosh sebelumnya, terutama The Glass Palace dan Trilogi Ibis dianggap sebagai novel sejarah yang mengasyikkan hingga Ghosh disebut oleh sastrawan chitra Banerjee Divakaruni sebagai ‘master of storyteller.
Berikut adalah diskusi tentang novel-novelnya dan wawancara Leila S.Chudori dari Tempo dengan Amitav Ghosh di New York City.
***
Rajkumar.

Hanya Rajkumar, si kecil berusia 11 tahun yang paham apa arti bunyi gelegar itu.  Sebuah bunyi yang terkirim dari seberang dataran di sepanjang sungai Irawadi  dekat sebuah benteng di Mandalay. Tak ada orang-orang  di sekitar kedai itu yang mengenali bunyi dentuman ini kecuali Rajkumar yang melibas semua dengung spekulasi dan dengan lantang menyatakan bahwa itu adalah “bunyi gelegar meriam,” kata si bocah India itu dalam bahasa Burma yang lancar. (more…)

PERSEMBAHAN TERAKHIR DARI UMBERTO ECO

NUMERO ZERO

9999--NUMEROKarya : Umberto Eco

Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Richard Dixon

Penerbit:  Houghton Mifflin Harcourt, 191 halaman

***

“Baiklah. Aku menyimpulkan kita sama-sama lelaki yang tidak bermutu dan tidak punya integritas,” kata Dottor Collona kepada Simei, “maaf untuk alusi ini. Aku aku terima tawaranmu,” kata Dottor Collona kepada Simei.

Sebuah kesepakatanpun terbuhul. Sebuah rancangan konspirasi besar dibentangkan.

Perkenalkan, inilah protagonis terbaru Umberto Eco yang bernama Dottor Colonna, seorang jebolan universitas yang tak sampai sarjana;  penulis gagal yang bergonta-ganti profesi. Sesekali dia mencari nafkah menjadi penyunting penerbit kecil atau menerjemahkan bahasa Jerman ke dalam bahasa Itali.  Kali lain Colonna menjadi ghost-writer novel detektif murah meriah.  Tawaran yang paling megah adalah menjadi ghost-writer  sebuah novel bertema jurnalistik investigatif  dengan tawaran yang duitnya sungguh menggiurkan dan bisa menghidupinya hingga akhir hayat. (more…)

UMBERTO ECO DAN BUNGA MAWAR YANG ABADI

9999--ECOMeski ia sudah menulis beberapa novel, adalah “Il nome della rosa” yang masih saja dibicarakan pembaca. Ia wafat dan mewariskan novelnya yang abadi di tangan pembaca.

***

Bagaimanakah Umberto Eco membayangkan atribut untuk dirinya setelah wafat Jumat dua pekan silam? Seorang sastrawan yang mengguncang dunia dengan  novel Il nome della rosa   (The Name of the Rose)   yang menjadi bestseller sepanjang hayat? Seorang ahli semiotik, filsuf, eseis, ahli ilmu semiotika atau kritikus sastra? Atau sebagai seorang pecinta buku fanatik yang memiliki 30 ribu buku di apartemennya di Milan dan 20 ribu buku di rumahnya di pinggiran Urbino?

Berita wafatnya memang agak tertutup oleh kebisingan media Amerika yang mengulang-ulang berita dukacita Harper Lee, seorang raksasa sastra lain yang juga menggemparkan dunia karena novel “To Kill a Mockingbird”. Tapi Umberto Eco melekat di hati pembaca, juga di Indonesia karena novel (yang juga sudah diangkat ke layar lebar dengan judul sama) tak lain karena Il nome della rosa . (more…)

ELIF SHAFAK:

“Saya tak Ingin Memilikki Satu Identitas”

 

THE ARCHITECT’S APPRENTICE

9999--COVER--APPRENTICEKarya               : Elif Shafak

Tebal                : 424 halaman

Produksi          : Viking Penguin, 2015

 

Di sebuah malam yang pekat. Istanbul 22 Desember 1574.

Jahan, sang penakluk gajah putih Chota di istana raja,  mendengar jeritan keras melengking. Menyayat.  Seluruh pojok istana terbangun dan tak ada yang berani bergerak. Pemuda kecil Jahan yang baru berusia 12 tahun, tampan dan naif, mengira ada yang membutuhkan bantuannya mencari asal-usul suara yang memilukan itu. Setelah beberapa saat di atas lantai marmer yang dingin itu, Jahan menyingkap selembar kain yang menutupi empat tubuh lelaki kecil. Empat jenazah adik lelaki sang raja……Seluruh tubuh Jahan bergetar. Siapa gerangan yang tega menghabiskan nyawa anak-anak kecil ini….

Demikian Elif Shafak membuka bab awal novel terbarunya. Shafak, sastrawan Turki terkemuka selain pemenang Nobel Orhan Pamuk,meluncurkan novel terbarunya ini di di International Literature Festival Berlin September lalu dan menjadi salah satu acara yang paling ramai membludak oleh pengunjung.  Setelah enam novelnya yang seringkali menjadi kontroversi, Elif kini memilih setting  di masa berjaya Imperium Turki, orang Barat menyebutnya Imperium Ottoman (Usmaniyah) abad 16. Dari mata seorang anak lelaki India bernama Jahan, yang bertugas merawat seekor anak gajah putih di istana Sultan, kita memasuki sebuah dunia istana kesultanan dan keluarganya dengan cerita berlapis-lapis.

(more…)

SEORANG LELAKI BIASA YANG PENUH RAHASIA

A MAP OF BETRAYAL      

9999--HA JIN--2Penulis               :  Ha Jin

Penerbit              : Pantheon Books, 288 halaman

Sang Ibu berpesan pada puterinya Lilian, protagonis novel ini, “sepanjang aku masih hidup, jangan pernah kamu punya urusan dengan perempuan itu.”  ‘Perempuan itu’ adalah kekasih simpanan Ayahnya bernama Suzie. Lilian patuh.

Begini ibunya menghembuskan nafas terakhir, salah satu yang dilakukan Lilian adalah menemui Suzie, karena dialah yang paling mengetahui banyak hal tentang Ayahnya, Gary, seorang intelijen Cina yang pernah dihukum pemerintah AS. Dari Suzie, Lilian memperoleh  sebuah buku harian yang menunjukkan berbagai hal yang tersembunyi selama hidupnya. Lilian terkejut dengan banyak hal tentang Ayahnya yang ternyata memiliki isteri pertama yang berada nun di daratan Tiongkok sana.

Lilian memutuskan pergi menyeberang ke Beijing dan perlahan mencari jejak-jejak kehidupan Ayahnya, bagaimana ia kali pertama direkrut oleh intelijen partai hingga akhirnya dipercayakan untuk ditanam selamanya  di dalam CIA. (more…)

Ha Jin:

“Saya Menulis dalam Bahasa Inggris sebagai Perlawanan.”

9999--COVER--MAP

Hujan deras di penghujung musim panas Berlin membuat semua sastrawan dari berbagai negara berlindung dalam “author’s tent’ (tenda para sastrawan). Mereka saling mendekat karena udara dingin menusuk tulang,  sembari berbincang dan mengisi gelas dengan anggur merah untuk menghangatkan tubuh. Bulan September,  Internationales Literaturfestival Berlin menyajikan banyak nama besar yang biasa ada di rak buku Anda: ada Elif Shafak, Kazuo Ishiguro, Roddy Doyle,  Michael Cunningham, Wole Soyinka dan Martin Amis dan Ha Jin, sastrawan Cina –yang kini menjadi eksil di AS—yang banyak dikerubung wartawan sepanjang hari.

Di antara  lebih dari 100 sastrawan internasional, Ha Jin mungkin yang paling tidak menyadari bahwa dia juga salah seorang bintang di antara bintang besar lainnya. Sastrawan yang sudah menghasilkan beberapa kumpulan cerpen dan tujuh novel ini sudah diganjar berbagai penghargaan prestisius seperti Flannery O’Connor Award for Short  dan FictionPEN/Hemingway Award.  Novelnya “War Trash”  memenangkan PEN/Faulkner Award yang membuat dia dibandingkan dengan penulis Amerika Philip Roth dan E.L Doctorow.

Mengenakan topi dan kemeja dan celana panjang yang selalu berwarna gelap, Ha Jin tampak selalu rendah hati dan ramah berbincang dengan siapapun yang menghampirinya dan meminta berfoto dengannya. Ha Jin, lahir dengan nama Jīn Xuěfēi –yang berarti salju yang beterbangan—di propinsi Lianing, Cina pada tahun 1956. Mao Tse Tung meluncurkan Revolusi Kebudayaan ketika Ha Jin berusia 10 tahun dan menurut dia kepada Tempo, ingatan dia samar-samar tentang semua peristiwa itu. “Saya Cuma ingat ibu saya pernah dihukum bekerja keras karena dia melakukan suatu kesalahan, dan saya tak tahu apa salahnya.” Ha Jin juga mengaku bingung dan tak paham ketika semua remaja harus mendaftar Tentara Merah. “Saya belum mencapai usia 14 tahun saat saya menjadi tentara merah,” katanya. (more…)

SEBUAH MANUSKRIP YANG PENUH TANYA

Manuskrip Go Set a Watchman konon ditemukan secara tak sengaja dan sebetulnya merupakan “induk” dari novel To Kill a Mockingbirf.

Draft ini selesai ditulis Harper Lee pada tahun 1957 dengan gaya bahasa orang ketiga yang settingnya 20 tahun setelah apa yang terjadi dalam novel To Kill a Mockingbird. Meski novel yang terbit di masa Harper Lee sudah sangat tua ini disebut “sekuel”, mereka yang sudah membaca keduanya akan merasakan ini adalah draft awal dari novel To Kill a Mockingbird.

Menurut The New York Times, naskah itu jatuh ke tangan Therese von Hohoff Torrey yang dikenal sebagai Tay Hohof, seorang editor veteran yang sangat terkesan dengan naskah awal itu. Menurut Hohoff, saat dia membaca draft awal itu, dia tahu Lee adalah seorang penulis sejati. “Setiap baris menampilkan sinarnya bahwa Lee seorang penulis,” kata Hohoff. Namun, draft itu belum menjadi novel yang matang karena isinya masih penuh serangkaian anekdot. (more…)

MENGUAK WAJAH ‘ASLI’ ATTICUS FINCH

Perlukah kita mengetahui naskah asli seorang sastrawan besar sebelum proses penyuntingan yang panjang? Atticus Finch yang dianggap lambang keadilan itu adalah sosok yang berbeda dalam novel ini.

9999--TO--KILLGO SET A WATCHMAN

Karya               : Harper Lee

Penerbit           : Willian Heinemann, London, 2015

Tebal                : 278 halaman

***

 

 

 

Scout adalah  Jean Louis Finch.

Di tahun 1950-an, Scout  adalah seorang perempuan dewasa bernama Jean Louise berusia 26 tahun yang menatap ke luar jendela kereta api dalam sebuah perjalanan dari New York menuju  kampung fiktif Maycomb. Pemandangan kampung halamannya segera saja  mengingat kan dia pada sebuah masa kecilnya bersama seluruh kenangan bersama nama-nama yang kita kenal:  Jem, Dill dan Calpurnia. Tetapi kita segera dihadapi suatu kenyataan pahit: kita harus  melakukan sebuah dekonstruksi tentang sosok ideal yang selama ini kita puja: Atticus Finch. (more…)

MICHAEL MANN TENTANG JAKARTA, SKANDAL TEMBAKAU DAN AL PACINO

Sutradara Hollywood Michael Mann memilih Jakarta sebagai salah satu lokasi syuting film terbarunya. Berjanji akan kembali lagi ke Indonesia untuk filmnya yang akan datang.

                    ***
9999--mann (2)Suatu hari, pada tahun 1996, sutradara Michael Mann tengah mengutak-atik sebuah kisah nyata perdagangan senjata di Marbella, Spanyol, bersama sahabatnya, produser/wartawan CBS Lowell Bergman. Lelah dengan proyek film mereka yang tak kunjung terwujud, Bergman berkata pada Mann, “kau tak akan membayangkan apa yang sebetulnya tengah saya alami sekarang ini; di sini, di negaramu ini.”  Kepada Mann, Bergman menceritakan skandal perusahaan tembakau yang sedang dia ungkap bersama seorang konsultan perusahaan tembakau yang kelak dikenal bernama Jeffrey Wigand. Konsultan yang dipecat dari perusahaan tersebut mengetahui para eksekutif perusahaan tembakau itu mengizinkan penyusupan karsinogenik seperti Coumarin yang adiktif ke dalam setiap batang rokok. Mann langsung tertarik dengan kisah itu karena “semua tokoh-tokoh dalam kisah itu mempunyai kelemahan,” kata Mann menjawab pertanyaan Tempo tentang sebuah kisah jurnalistik yang menggegerkan yang kelak kita kenal melalui film The Insider (1995).
Mann mengaku tak pernah ingin menampilkan tokoh yang heroik. Film ini adalah salah satu film  karya Michael Mann yang diganjar pujian para kritikus; meraih nominasi Academy Awards untuk Film, Sutradara , Skenario, Aktor Terbaik (Russel Crowe), Sinematografi, Penyutingan dan Tata Suara. Setelah film All The President’s Men (Alan J.Pakula, 1976), film The Insider menjadi film yang biasa wajib tonton bagi wartawan.
Di hadapan 20 sineas Indonesia di Jakarta pekan silam, sutradara  Mann terlihat semangat bercerita meski ia baru sempat tidur selama dua jam karena semalaman syuting adegan terakhir film terbarunya di Lapangan Banteng. Filmnya yang terbaru adalah sebuah film thriller-kriminal tentang perburuan polisi terhadap seorang yang melakukan kriminal cyber dan dikejar ke berbagai negara hingga ke Hong Kong, Indonesia dan Malaysia. “Polisi yang mengejar tak mengetahui identitas yang diburu; apa motivasinya dan apa yang diinginkan sang kriminal itu,” kata Mann yang mengaku belum memberikan judul resmi pada filmnya itu. Untuk beberapa pekan di Jakarta, Mann mengaku banyak dibantu kemudahan oleh Departemen Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di bawah pimpinan Menteri Mari Elka Pangestu. (more…)

TAK SEKEDAR KENANGAN DARI HINDIA BELANDA

9999--FRIDUS

Photo by Fridus Steijlen

Di Festival Tong Tong, Belanda, seniman Hungaria Péter Forgács menyajikan sebuah pameran besar yang menayangkan puluhan arsip film amatir tentang kehidupan Hindia Belanda. Sejarah atau sekedar kenangan?

***

“Semua penduduk lokal ini ingin berkulit putih. Seandainya mereka bisa menjadi bangsa berkulit putih dengan cara memotong kelingking mereka, pastilah seluruh Indies akan penuh dengan orang-orang tanpa kelingking….

Demikian tulis Willem Walraven, seorang tentara Belanda yang ditempatkan di Indonesia pada masa kolonial—yang oleh Belanda disebut Hindia Belanda. Dia menikah dengan gadis Indonesia bernama Itih dan mempunyai sembilan orang anak. Belakangan, Walraven menjadi administrator perkebunan gula, lantas ia lebih dikenal sebagai seorang wartawan. Kutipan di atas adalah salah satu suratnya yang ditulis untuk keponakannya di Belanda.

Surat ini adalah bagian dari puluhan surat yang dibacakan oleh aktor Belanda dalam peran video instalasi  “Sluimerend Vuur” atau “Looming Fire: Stories from the Dutch Indies”, sebuah pameran karya  sineas  Hongaria Péter Forgács  yang menggunakan puluhan arsip film amatir dan ratusan surat-surat penduduk Hindia Belanda  dari tahun 1900-1945. Pameran ini adalah salah satu acara utama Festival Tong Tong yang diselenggarakan di Den Haag bulan Juni.  Setahun lalu,  pameran ini disajikan beberapa bulan lamanya di Eye Filmmuseum, di Amsterdam selama dua bulan dan mendapatkan reaksi positif. Itulah  sebabnya Direktur Festival Tong Tong Fair Siem Boon dan  Ellen Derksen menganggap penting untuk memperlihatkan pada masyarakat Belanda tentang sebagian hidup keseharian di Indonesia masa kolonial. (more…)