Dari New York ke Legian


Leila S.Chudori

 

***

Legian, 16 Oktober, 2002

BALI sungguh sunyi dan murung. Laut diam. Ombak tak bergerak. Langit hitam dan pasir bungkam. Bulan yang berwajah masam bersembunyi di balik ranting. Sekumpulan bintang yang selama ini setia menggelantung di langit Bali kini menugaskan diri untuk mengunjungi mereka yang terluka. Seluruh energi kini terpusat pada sumbu lilin yang dinyalakan oleh hati yang duka.

Utara Bayu mencoba berbicara dengan mereka semua: laut, ombak, pasir, bulan, bintang dan langit. Tetapi dia merasa pasir yang diinjaknya begitu pegal dan sama sekali tak ingin mengerubungi kakinya. Biasanya pasir di pantai di Bali selalu ramah dan akrab. Tetapi kini seluruh semesta berhenti bergerak dan arloji di Bali seolah tak berdetak. Ini adalah hari keempat setelah bom menggelegar di tengah malam. Utara tahu, bom yang meledak di Bali itu mendadak menghentikan gerak jarum jam.

Sudah sejam Tara berdiri di tepi pantai menunggu anak-anak buahnya untuk kembali ke hotel. Setelah 3 X 24 jam non-stop dia dan kawan-kawannya meliput di sekitar Legian, ke rumah Sakit Sanglah, mewawancarai puluhan korban, pihak polisi dan juga membantu tim relawan yang dengan teliti dan sabar terus menerus mencari sisa-sisa jenazah yang masih betebaran di sekitar Sari Club dan Paddy’s. Satu saat ada yang berteriak menemukan satu atau setengah organ tubuh yang tergeletak di batang pohon; kali lain ada pula yang menemukan tubuh yang cukup utuh, namun sudah hangus tak bernyawa. Sepanjang tiga hari tiga malam, Tara kenyang dengan lagu Bob Marley,Three Little Birds yang dinyanyikan beberapa orang di pinggiran Garis Kuning Polisi yang ikut membantu tim relawan. Terus menerus , seolah mereka ingin meyakinkan diri bahwa dua buah bom yang mematikan itu tak akan membuat mereka takluk pada kekejian.

Perut Tara sudah mulai perih bergejolak. Dia dan kawan-kawannya sama sekali belum sempat makan malam karena harus segera mengirim tulisan yang dinantikan Jakarta untuk laporan utama majalah Tera. Hanya beberapa menit, terdengar deru tiga buah motor sewaan yang dikendarai Andara, Monty, Yos, Andini, Rianti dan fotografer Randi.

Tara mendengarkan laporan singkat mereka. Tentang para keluarga yang masih mencari-cari sisa jenazah anaknya; tentang orang-orang Jakarta yang sudah mulai berdatangan—entah artis atau politikus—yang tiba-tiba saja menggelar doa bersama di tengah jalan (Tara tak bisa terhindar memikirkan apa kira-kira komentar Nadira jika dia ikut meliput); tentang berbagai teori siapa yang berada di belakang pengeboman itu. “Jangan berteori,” kata Tara mematikan rokoknya, “buat reportase dan wawancara saja. Jangan berteori siapa pelakunya.” Tara berkata dengan tegas.

Dia menyuruh anak-anak buahnya berangkat ke hotel untuk menyelesaikan laporan dan segera mengirimnya ke Jakarta.

“Mas Tara naik apa?”

“Gampang, kalian duluan saja…”

Tara berjalan perlahan. Pantai Kuta sama sekali tak meniupkan angin. Langit hitam dan menyembunyikan seluruh persediaan bintang. Tara tidak tahu apakah dia berada di Bali atau di sebuah rumah duka yang besar yang gelap dan hitam. Sekali lagi, dia bertanya pada pasir yang tak bergerak: apa yang akan dikatakan Nadira jika dia berada di sini? Pasir, langit dan laut itu tetap diam. Tara mencium sisa bau kimiawi. Peristiwa itu sudah empat hari yang lalu, tetapi sisa aroma seperti mercon itu seperti ingin dihapus oleh bau dupa.

***

Greenwich Village, New York , 2 Oktober 2002

Ini kali kedua. Nadira merasakan ada sepasang mata yang mengawasinya dari belakang tengkuknya. Tetapi setiap kali dia menoleh ke belakang, Nadira menyaksikan pemandangan yang sama: wajah-wajah luka mereka yang ditinggalkan anggota keluarga yang bunuh diri.

Di hadapannya, Nadira dan 20 anggota kelompok pendukung tengah mendengarkan Naomi Reed menceritakan bagaimana dia menemukan suaminya gantung diri di kamar mandi. Seluruh ruangan banjir airmata. Lelaki di sebelahnya bahkan terisak-isak. Nadira satu-satunya yang berpura-pura mendengarkan, tetapi pikirannya melayang kemana-mana. Dia mendengarkan sembari menyumpah-nyumpah, karena Nina yang meyakinkan Nadira untuk ikut kelompok pendukung bagi mereka yang anggota keluarganya bunuh diri. Menurut Nina, dia merasa terbantu oleh kelompok itu ketika dia baru saja pindah ke New York.

 

 

(Nukilan dari antologi The Longest Kiss yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Pam Allen , Yayasan Lontar, 2013)