DI BALIK 2014
Sebuah film tentang keluarga, pemilu presiden, pembunuhan, laga, cinta remaja dan seterusnya. Penuh sesak dan tidak fokus.
***
2014
Sutradara : Rahabi Mandra dan Hanung Bramantyo
Skenario : Rahabi Mandra dan Ben Sihombing
Pemain : Ray Sahetapy, Donny Damara, Atiqah Hasiholan, Rio Dewanto, Rizky Nazar, Maudy Ayunda
Produksi : Dapur Film dan Mahaka Pictures
****
Film ini diberi anak judul Siapa di atas Presiden. Sebuah kalimat yang mengirim suasana konspirasi politik. Tetapi Hanung Bramantyo, salah satu sutradara film ini mengatakan “ini adalah film keluarga.”
Baiklah. Mungkin genre atau label itu tidak penting lagi di abad ini. Yang penting, apakah itu film drama, komedi, thriller, laga, horor, sejarah dan politik. Film 2014 dimulai dengan berbagai kliping berita kampanye pemilu presiden; para calon presiden, suara berbagai penyiar berita. Para calon presiden adalah Bagas Notolegowo (Ray Sahetapy) , Faisal Abdul Hamid (disingkat menjadi ‘Faham’) dan Syamsul Triadi (Akri Patrio). Bagas adalah perwujudan Joko Widodo yang ganteng. Paling tidak tidak hanya pada 10 menit pertama karena dia mengenakan kemeja kotak-kotak atau kemeja putih dan blusukan ke pasar-pasar tradisional dan terlihat tulus setiap kali mengkampanyekan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Tetapi setelah itu, segala atribut tokoh nyata hilang.
Film ini ternyata bukan tentang riuh rendah pemilu presiden tahun lalu. Protagonis film ini adalah sepasang remaja: Ricky (Rizky Nazar) putera sulung capres Bagas Notolegowo dan Laras (Maudy Ayunda). Persoalan dimulai karena sang Ayah dijebak dalam sebuah peristiwa pembunuhan. Bagas ditahan, sementara kedua capres lain bisa berkampanye. Seperti plot film Hollywood, inilah momen si remaja mengalami ‘pencerahan’. Dia mencoba membantu Ayahnya dengan menyewa seorang pengacara idealis, Khrisna Dorojantun (Donny Damara) yang mempunyai puteri si cantik Laras (Maudy Ayunda). Maka di antara riuh-rendah kampanye, ternyata film ini diabdikan kepada plot ‘detektif amatir’remaja duo Ricky dan Laras yang masuk ke TKP, kejar-mengejar dan bahkan mencuri USB milik seorang pembunuh bayaran yang misterius, Satria (Rio Dewanto).
Hasilnya, film ini merupakan drama keluarga dicampur politik pemilu dicampur adegan laga ala The Raid plus roman-romanan remaja ini. Begitu banyak yang dijejalkan dalam film ini sehingga kita tak melihat perkembangan plot yang meyakinkan dan kita juga tak kunjung merasa tertarik pada karakter-karakter dalam film. Semua serba tanggung dan serba permukaan.
Ketika plot sudah memasuki ‘area detektif-detektifan’, Ricky menemukan sebuah USB milik Satrio, pembunuh bayaran –entah di bawah initelijen atau pihak lawan– pokoknya kerjanya membunuh banyak oranglah. Isi USB itu adalah daftar yang ditulis terang-terangan rencana kelompok “jahat”: satu, bunuh BN (maksudnya Bagas Notolegowo); dua, bubarkan KPK dan seterusnya. Daftar si pembunuh bayaran dalam USB ini bukan saja lucu dan menggelikan. Daftar ini menunjukkan bagaimana penulis skenario dan para sutradara tidak melakukan riset mendalam atau bahkan tidak membayangkan bahwa dokumen rahasia tidak bakal tidak ditulis setelanjang itu, apalagi untuk dipegang tokoh seperti Satria yang seharusnya berkelebat seperti bayang-bayang. Lantas lebih lucu lagi USB yang berisi pointers seperti makalah anak SMA itu lantas dicari-cari, dikejar-kejar seolah USB bukan barang yang tidak bisa diduplikasi isinya. Semakin absurd pula setelah kejar mengejar USB ini, terjadi pertumpahan darah dan kematian yang sia-sia.
Tentu harus diakui, ada satu dua momen yang sebetulnya bagus: saat salah satu tokoh penting tewas terbunuh, lantas itulah satu-satunya saat akting Bagas dan Maudy Ayunda yang meyakinkan: mencekam sekaligus mengharukan. Apalagi dengan koor yang mengiringi. Tetapi itu hanya 10 menit yang sublim. Adegan perkelahian antara Satria dan Iptu Astri, yang diperankan oleh suami isteri Rio Dewanto dan Atiqah Hasiholan, ditampilkan dengan koreografi yang bagus. Seandainya sineas sekalian saja memfokuskan film ini sebagai film thriller dan laga, mungkin akan lebih menarik. Mungkin.
Tetapi ambisi, keinginan yang banyak yang berdesak dimasukkan secara berjejal-jejal ke dalam satu film ini menjadikan “2014” yang melelahkan.
Leila S.Chudori