EKSPERIMEN BARU GARIN BERNAMA NYAI
Sekali lagi, Garin menggabungkan konsep teater dan film. Berbagai sosok nyai dalam novel Indonesia tahun 1920-an diramu.
***
NYAI
Sutradara : Garin Nugroho
Skenario : Garin Nugroho
Pemain : Annisa Hertami, Rudi Corens, Gunawan Maryanto, Cahwati Sugiarto
Produksi : SET, Treewater dan 8 mm
Sebuah pendopo dengan pintu hijau. Sebuah meja bundar marmer berkaki kayu dengan secangkir the panas dan sehelai Koran pagi. Seorang perempuan muda berkebaya, kain batik tulis, bersanggul rapi dengan kulit wajah yang mulus bak sutera itu duduk, menghirup teh dan membaca koran itu. Lantas saja, teras itu diisi dengan tamu demi tamu berselang-seling mengganggu ketenangan sang Nyonya, atau Nyai, yang pada masa kolonial itu adalah sebuah kedudukan yang selalu menjadi salah satu bahan penulisan novel, studi akademik dan kini: film terbaru Garin Nugroho.
Pada beberapa detik pertama, Garin Nugroho menayangkan sebuah disclaimer: cerita film ini diadaptasi dan terinspirasi dari lima novel: “Nyai Isah” (1904) karya F. Wiggers; “Seitang Koening” (1906) karya R.M. Tirto Adhisoerjo ; “Boenga Roos dari Tjikembang” (1927) karya Kwee Tek Hoay; “Nyai Dasima” (1960) karya S.M Ardan dan “Bumi Manusia” (1980) karya Pramoedya Ananta Toer.
Tapi sesungguhnya kerangka cerita film dengan pendekatan teater ini adalah kerangka “Bumi Manusia’ sepenuhnya. Bahwa kemudian ada belokan-belokan dari sosok Nyai, saya kira itu adalah khas Garin, bukan karena persoalan pengaruh novel Nyai Dasima.
Direkam dengan satu shot – satu take dengan durasi 85 menit. Ini sebuah eksperimen, yang menurut pengakuan Garin Nugroho sebagai salah satu perayaan 35 tahun ia berkarya. Eksperimen pertama adalah film bisu “Setan Jawa” , film hitam putih dengan iringan live musik gamelan dan menuai puja puji para penontonnya, dan kedua film “Nyai”. Berhasilkan eksperimen kedua ini?
Merekam dengan satu shot tentu saja mengandung beberapa tantangan. Dengan cerdas Garin memilih konsep teater yang menggunakan joglo sebagai sebuah panggung. Setting adalah tahun 1927 ketika Indonesia masih belum bernama Indonesia dan Tjokroaminoto sedang terbentuk menjadi bapak dari para pemimpin bangsa ini. Tigapuluh empat tokoh keluar masuk yang hampir semuanya ingin menemui Nyai atau suaminya lelaki Belanda, Meneer William yang tengah dalam keadaan sakit dan ringkih, keluar masuk panggung didorong di atas kursi roda. Karena si Tuan begitu sakit, sesekali ada penghibur penari dan orkes dengan musik Timur Tengah; ganti berganti dengan penari Jawa yang kemudian dijawil-jawil oleh si Tuan William yang tiba-tiba saja lupa akan penyakit yang dideritanya dan membuat sang Nyai ngambeg membanting pintu.
Dialog dan monolog Nyai ganti berganti tema: dari soal pengaduan masalah tanah dan upah buruh; soal masa lalu Nyai yang masa kecilnya dijual Ayahnya sendiri kepada si Meneer yang kemudian diisinya dengan pendidikan bagi diri sendiri: dia banyak membaca dan belajar mengelola perusahaan si Meneer.
Persis seperti nasib Nyai Ontosoroh, mereka didatangi pengacara Belanda yang menyatakan seluruh kekayaan dan aset yang mereka kelola menjadi milik isteri Belanda William , sesuai dengan Undang-undang Belanda.
Merasa kenal dengan cerita ini? Tentu saja. Garin memang menggunakan novel “Bumi Manusia” sebagai kerangka utama film ini. Bagi mereka yang sudah membaca novel ini atau menyaksikan pertunjukan “Bunga Penutup Abad” arahan Wawan Sofwan yang diadaptasi dari novel Pramoedya ini, maka film “Nyai” ini sebetulnya tak terlalu jauh dari petilan yang diangkat Wawan. Tetapi Garin bukan Garin jika tak memasukkan erotisme dalam karyanya.
“Nyai” versi Garin yang juga dipengaruhi oleh novel-novel tahun 1920-an lainnya tentu punya kekasih Indonesia. Saat si kekasih –yang mengaku seorang novelis itu—datang, segalanya berubah. Serta merta Nyai yang baru saja mengepalkan tangan protes terhadap kekejian kolonialisme itu lumer seperti mentega kena api karena rayuan sang novelis. Kebaya perlahan jatuh. Tali kutang menggelincir. Ketika Nyai masuk ke dalam kamar disusul si novelis, kita hanya membayangkan apa yang terjadi.
Delapanpuluhlima menit yang dominan dengan kehadiran tokoh Nyai tentu membutuhkan seorang aktris yang bukan hanya cantik –ya tentu dia sangat jelita—tetapi seseorang yang bisa membuat kita terpaku dengan segala yang diucapkannya, yang ditangisinya atau yang dikutuknya. Dalam hal ini Annisa Hertami belum memenuhi persyaratan itu.
Tetapi dia sangat terbantu oleh keluwesan Cahwati Sugiarto dan Gunawan Maryanto yang berperan sebagai pembantu setia yang terkadang beralih seperti punawakan dalam wayang: bijak, lucu sekaligus loyal. Cahwati dan Gunawani justru seperti dua tokoh yang tak dicangkok dan menjadi bagian alamiah dari pendopo dan jagat yang diciptakan Garin.
Di luar itu semua, eksperimen Garin adalah salah satu cara tepat untuk merayakan perkawinan film dan teater.
Leila S.Chudori