Ha Jin:
“Saya Menulis dalam Bahasa Inggris sebagai Perlawanan.”
Hujan deras di penghujung musim panas Berlin membuat semua sastrawan dari berbagai negara berlindung dalam “author’s tent’ (tenda para sastrawan). Mereka saling mendekat karena udara dingin menusuk tulang, sembari berbincang dan mengisi gelas dengan anggur merah untuk menghangatkan tubuh. Bulan September, Internationales Literaturfestival Berlin menyajikan banyak nama besar yang biasa ada di rak buku Anda: ada Elif Shafak, Kazuo Ishiguro, Roddy Doyle, Michael Cunningham, Wole Soyinka dan Martin Amis dan Ha Jin, sastrawan Cina –yang kini menjadi eksil di AS—yang banyak dikerubung wartawan sepanjang hari.
Di antara lebih dari 100 sastrawan internasional, Ha Jin mungkin yang paling tidak menyadari bahwa dia juga salah seorang bintang di antara bintang besar lainnya. Sastrawan yang sudah menghasilkan beberapa kumpulan cerpen dan tujuh novel ini sudah diganjar berbagai penghargaan prestisius seperti Flannery O’Connor Award for Short dan FictionPEN/Hemingway Award. Novelnya “War Trash” memenangkan PEN/Faulkner Award yang membuat dia dibandingkan dengan penulis Amerika Philip Roth dan E.L Doctorow.
Mengenakan topi dan kemeja dan celana panjang yang selalu berwarna gelap, Ha Jin tampak selalu rendah hati dan ramah berbincang dengan siapapun yang menghampirinya dan meminta berfoto dengannya. Ha Jin, lahir dengan nama Jīn Xuěfēi –yang berarti salju yang beterbangan—di propinsi Lianing, Cina pada tahun 1956. Mao Tse Tung meluncurkan Revolusi Kebudayaan ketika Ha Jin berusia 10 tahun dan menurut dia kepada Tempo, ingatan dia samar-samar tentang semua peristiwa itu. “Saya Cuma ingat ibu saya pernah dihukum bekerja keras karena dia melakukan suatu kesalahan, dan saya tak tahu apa salahnya.” Ha Jin juga mengaku bingung dan tak paham ketika semua remaja harus mendaftar Tentara Merah. “Saya belum mencapai usia 14 tahun saat saya menjadi tentara merah,” katanya.
Seperti tokoh-tokohnya, Ha Jin terbang ke AS bukan karena sebuah rancangan besar. “Saya mendapat beasiswa di Brandeis Univeristy, AS, setelah saya menyelesaikan studi sastra Inggris di Heilongjiang University dan S2 di Shandong University,” katanya di sebuah pagi sarapan bersama Tempo di Hotel Hecker’s, Berlin dua pekan lalu. Pada saat itulah peristiwa Tiananmen meledak yang menyebabkan kemarahan Ha Jin. Ini semua dalam waktu yang cepat mempercepat keputusan Ha Jin untuk menetap di AS bersama keluarganya. Ia mengajar di Boston University, Boston, AS dan hingga kini tak pernah bisa pulang ke tanah airnya, karena “visa saya selalu ditolak.” Berikut perbincangan Ha Jin dengan Leila S.Chudori dari Tempo:
Inginkah Anda kembali ke tanah air, meski anda pernah mengatakan Cina adalah police-state?
Tentu saja. Saya sudah sering mengajukan visa untuk masuk ke Cina, tapi selalu ditolak. Biasanya kalau sudah ditolak, saya sedih dan kecewa, dan proses menghilangkan kesedihan itu cukup lama. Jadi saya belum mau mencoba mengajukan visa dulu.
Mengapa Anda menulis novel-novel dan kumpulan cerpen Anda dalam bahasa Inggris, bahasa kedua Anda?
Saya sedang menyelesaikan S2 saya di Amerika dan peristiwa Tiannamen pecah. Saya bersuara keras terhadap pemerintah atas peristiwa berdarah itu. Akibatnya, saya tidak bisa pulang , paspor saya tidak diperbaharui oleh Kedutaan. Sementara itu, anak saya yang saat itu sudah berusia enam tahun sudah bergabung bersama saya dengan isteri saya. Kami memutuskan anak kami tidak boleh terjebak dalam siklus kekejaman ini. Itu salah satu reaksi awal kami setelah peristiwa Tiannamen. Tapi terus terang saya tidak siap untuk bermigrasi untuk ke AS. Tujuan awal saya kan untuk belajar, dan saya tahu tak mudah untuk mencari pekerjaan di AS, apalagi saya studi saya adalah Sastra Amerika, ini pilihan yang jarang untuk mahasiswa Asia. Saya tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang ada hubungannya dengan bahasa Mandarin. Saya mulai memperbaiki bahasa Inggris saya. Saya ingin menulis dalam bahasa Inggris. Penyebab lain saya menulis dalam bahasa Inggris adalah karena saya merasa banyak ekspresi dan kata-kata dalam bahasa Mandarin yang mulai terdistorsi untuk tujuan propaganda. Terpolusi dan membentuk delusi.
Ini membuat saya memutuskan untuk menggunakan bahasa Inggris sebagai perlawanan.
Jadi apa pendapat Anda dengan karya-karya Mo Yan yang ditulis dalam bahasa Mandarin dan berhasil meraih penghargaan Nobel itu?
Para penulis Cina yang menulis dalam bahasa Mandarin mengalami kesulitan yang sama karena bahasa itu sudah terdistorsi, sangat sulit untuk keluar dari distorsi itu. Contohnya begini: misalnya kata ‘melaporkan’ dalam bahasa Cina itu ada beberapa arti. Jika kita menggunakan kata ‘melaporkan’ (to report dalam bahasa Inggris-red), maka itu bisa jadi terdistorsi dan keluar dari konteks.
Semula anda berekspresi melalui puisi, mengapa memutuskan menulis fiksi?
Saya tak merasa persoalan sosial dan politik tokoh saya bisa terekspresi sepenuhnya dalam puisi. Itulah sebabnya saya mulai menulis cerita pendek, dan barulah belakangan saya menulis novel. Saya masih menulis puisi dalam bahasa Mandarin, lalu saya menulis ulang dalam bahasa Inggris. Dalam puisi saya merasa bisa memurnikan bahasa dari polusi, karena itu saya masih bisa menulis puisi dalam bahasa Mandarin. Dalam fiksi, fokusnya berbeda, karena kita harus mengikuti karakternya, harus memikirkan bagaimana plotnya. Karena itu saya harus menulisnya dalam bahasa Inggris.
Nama asli anda adalah Jīn Xuěfēi, apa artinya? Dan mengapa anda ubah menjadi Ha Jin?
Arti dari nama asli saya adalah Flying Snow. Bagi orang Barat, apalagi Amerika, sulit untuk mengucapkan huruf X dalam nama saya. X dalam Xuěfēi harusnya dibaca “Shuefei”. Lalu soal lain, ketika pertama kali saya menulis puisi dalam bahasa Inggris tentang tentara merah, sebuah puisi yang bertema politik berjudul “The Dead Soldier’s Talk” .
Guru saya, penyair Frank Bidart membacakannya pada Jonathan Galassi, redaksi Paris Review melalui telpon. Dan Paris Review menerimanya langsung saja. Lucunya puisi itu belum saya beri nama saya. Jadi saya usulkan bagaimana jika beri saja nama Ha Jin, Ha berasal dari nama sebuah kota favorit saya Harbin, dan Jin adalah nama keluarga saya. Saya rasa nama ini akan lebih mudah diucapkan orang. Dosen saya setuju. Itulah pertama kali nama Ha Jin saya gunakan
Apa yang anda ingat tentang Revolusi Kebudayaan?
Saat itu saya masih 10 tahun, jadi saya tidak banyak ingat hal-hal yang politis, tetapi malah hal yang menyangkut keluarga saya yang melekat di kepala. Misalnya saya teringat bagaimana Ibu saya dihukum kerja keras oleh partai karena Ibu saya staf rendahan dan melakukan kesalahan entah apa.
Novel anda “Requiem Nanjing” menggunakan peristiwa dan tokoh nyata Minnie Vautrin, kebetulan novelis Iris Chang juga menggunakan peristiwa dan tokoh yang sama yang kemudian diangkat menjadi film berjudul “The Flowers of War” yang disutradarai Zhang Yimou. Bagaimana saat anda membaca atau menyaksikan film itu?
Saya menulis Requiem Nanjing sebelum novel Iris Chang keluar. Jadi kami sama-sama menulis tentang peristiwa Nanking, dan saya sengaja tak mau membacanya ketika novel Iris Chang terbit lebih dahulu, karena saya tak ingin punya pendapat apapun. Setelah semuanya sudah keluar baru saya membacanya. Fokus kami berbeda, saya lebih pada siksaan psikologis yang dialami para tokoh-tokohnya. Peristiwa kekejian itu hanya dua minggu di Nanking, tetapi akibat psikologis dan mentalnya melekat hingga bertahun-tahun sesudahnya.
Anda mempunyai kebiasaan mengejutkan pembaca pada alinea pertama novel Anda seperti dalam “Nanjing Requiem” atau “Map of Betrayal”. Atau membuat pembaca penasaran karena sepertinya Anda memulai dari tengah plot. Mengapa?
(tertawa) Saya belajar dari Anton Chekov yang selalu mengatakan: belah cerita kamu jadi dua. Buang dulu bagian pertama ceritamu, dan mulailah dari tengah. Biasanya bagian tengah itu adalah bagian paling dramatik atau sudah mulai naik ke puncak, dan setelah memulai dari sana, dan pembaca akan merasakan energi kita. Dan nantinya akan banyak kesempatan untuk kembali atau melakukan adegan kilas balik atau dialog tentang peristiwa masa lalu.
Pesan Chekov itulah yang menjadi pegangan saya untuk hampir semua novel saya.
Penulis siapakah yang melekat di hati Anda.
Semuanya penulis Rusia klasik Anton Chekov, Tolstoy, Nikolai Gogol.
Penulis masa kini….(berpikir-red) Karya awal Haruki Murakami bagus juga, memiliki kalimat yang indah, dia seseorang yang mampu menyajikan dengan baik, tapi saya agak punya problem dengan cerita dan strukturnya. Saya memiliki empat volume karya Pramoedya Ananta Toer, saya baru membaca yang pertama dan isinya penuh energi.