INDONESIA TANPA TARIKH


9999--VDW--posterTENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK

Sutradara    : Sunil Soraya
Skenario    : Donny Dhirgantoro, Imam Tantowi
Berdasarkan novel karya Hamka
Pemain        :  Herjunot Ali, Pevita Pearce, Reza Rahadian, Jajang C.Noer

Sebuah film berdasarkan roman Hamka yang sangat disukai penonton Indonesia. Adegan semasa di Batipuh adalah bagian terbaik.

Kali ini kita akan menyingkirkan  debat masa lalu tentang tuduhan Pramoedya Ananta Toer terhadap Hamka atas novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.  Novel yang terbit tahun 1939 ini , dan masih saja mengalami cetak ulang, pernah  dianggap sebagai plagiat dari novel Sous les tilleuls  (1832)  karya novelis Prancis Jean-Baptiste Alphonse Karr.

Diskusi itu bisa saja diangkat kembali suatu hari. Tapi kini nampaknya masyarakat penonton Indonesia tengah terperangah dengan film yang berskala besar arahan Sunil Soraya yang hingga sudah mencapai ratusan ribu penonton.
Untuk filmnya yang kedua setelah film Apa Artinya Cinta (2005), Sunil mengerahkan duit, tenaga dan perangkat yang habis-habisan. Dengan modal cerita klasik yaitu percintaan yang kandas; kritik terhadap kerasnya adat istiadat; bunuh diri salah satu tokoh dan tenggelamnya sang kapal, film ini memang sudah menarik perhatian penonton Indonesia yang gemar kisah cinta tragis.
Film ini dimulai dengan kisah Zainuddin (Herjunot Ali) , putera dari pasangan Minang dan Makassar yang kembali ke kampung Ayahnya di Batipuh, Sumatera Barat. Karena ia bukan turunan murni dari Minang, kedatangannya kurang diterima dengan hangat. Apalagi untuk menjalin kasih dengan kembang desa Nurhayati (Pevita Pearce). Karena sejoli ini saling jatuh cinta, mamak Hayati segera mengirim Zainuddin meneruskan pendidikan agama ke Padang Panjang.Dengan tangis berurai-urai, sejoli itu berjanji tetap setia.Panjang betul adegan ini persis adegan dalam roman Balai Pustaka.

Di Padang Panjang, Hayati mencoba menemui Zainuddin dengan dalih ada pertandingan kuda. Hayati menginap di rumah Khadijah, sahabatnya yang berasal dari keluarga kaya raya yang langsung saja mendandani Hayati bak gadis kota. Di Padang Panjang pula Hayati bertemu dengan abang Khadijah, Aziz (Reza Rahadian), pemuda tampan yang selalu perlente.

Di sinilah saya mulai gugup. Di layar tertulis teks Padang Panjang 1937, lantas terlihat riuh rendah adegan pacuan kuda yang dengan penonton penjajah Belanda dan pribumi bercampur baur dengan asoy.Heboh, megah dan penuh warna seperti festival. Kuda berlari-lari. Para lelaki cakep mengenakan jas berlapis tiga ,lengkap dengan topi dan scarf menjerit-jerit. Perempuan Melayu kaya mengenakan rok gaya gadis Eropa. Mereka mengendarai mobil kuno mewah dan saling berkejaran. Terus kenapa harus gugup?Bukankah memang keluarga pribumi di jaman itu memang banyak yang bergaul gaya hedonis? Bukan apa-apa, saya merasa ada Leonardo DiCaprio menyelip di sana, jadilah The Great Gatsby masuk Sumatera Barat.

Tentu soal pengaruh-pengaruh dalam dunia kreativitas adalah hal wajar. Sineas mana di dunia ini yang tak mendapatkan pengaruh Hollywood atau Eropa atau Cina? Semua kreator pasti terpengaruh. Bahkan film Bulan Tertusuk Ilalang  karya Garin Nugrohopun sesekali mengingatkan kita pada adegan film Judou (Zhang Yimou)  saat Gong Li menggantung lembaran kain-kain celup itu. Masalahnya, sejauh apa ‘pengaruh’ itu dikelola seorang sineas? Pengaruh kerja kamera atau visualisasi karakternya bisa dikelola tanpa harus mengkhianati sidik jari sendiri. Saya yakin Sunil Soraya, seperti juga sutradara Indonesia lainnya, memiliki sidik jarinya sendiri sehingga penonton tak perlu menyaksikan filmnya sembari teringat adegan film karya orang lain.

Persoalan lain adalah, mengapa tertawa tidak pada tempatnya, padahal film ini jelas memiliki niat yang baik dan bahkan upaya produksi yang sangat serius?     Sebetulnya, saya ingin adil bahwa 15 menit pertama film ini, adegan di Batipuh sangat baik dan meyakinkan. Suasana desa terjaga, aksen Minang terasa asli, perang harga diri dalam bicara petatah-petitih terasa bahwa inilah adat masa lalu yang dikritik Hamka, yang kemudian menyebabkan HB Jassin membela bahwa kisah lokal ini tak mungkin diambil dari novel Prancis. Ketidaknyamanan saya  baru terasa ketika  menyaksikan rangkaian adegan di Padang Panjang dan Surabaya. Saat itu betapa linglungnya penonton karena sutradara seolah mengajak kita keluar masuk mesin waktu. Di manakah kita? Di Belandakah? Tidak , di Surabaya. Lo, kenapa Zainuddin mengenakan jas  dan merenung di depan perapian? Lalu, apa kabar dengan kapal Van der Wijck? Ya sesuai judulnya: dia tenggelam.  O tenggelamnya kenapa ya? Kok tiba-tiba saja?
Akhirnya saya menyerah. Tak perlu lagi berteori tentang anakronisme. Tak perlu juga Sunil meletakkan informasi tahun dan lokasi dengan teks pada layar. Ini semua adegan Indonesia tanpa tarikh.

Dengan suara Nidji yang melolong menyanyikan lagu dengan nada populer, kita menyaksikan Zainuddin yang menangis memeluk Hayati dan tak perlu lagi keluar masuk mesin waktu. Santai sajalah dan mari berpikir positif  tentang dua hal: Pertama, film ini diproduksi dengan ambisi besar untuk hiburan dengan H besar. Kedua, untung ada Reza Rahadian yang sudah pasti tak pernah tampil buruk.
Leila S.Chudori