Ironi, Sastra dan Politik Hak Asasi Manusia
Bagian 1: Orang Hilang dan Keberanian Sipil
Banyak orang dari generasi masa kini membayangkan kasus penculikan aktivis di tahun 1998 dalam kerangka yang kabur dan terbatas: ada yang berhenti pada cerita mengenai pribadi-pribadi “elit anti-hak asasi” dengan pelaku seperti Prabowo, Tim Mawar. Ada juga yang melihat kejadian itu semata-mata dalam sudut heroisme anak muda, mereka yang menjadi korban kekerasan politik Orde Baru. Bagi mereka yang tidak ada dalam suasana politik dan dalam pertarungan perjuangan hak asasi di masa ujung Orde Baru itu, peristiwa seputar penculikan memang akan dipandang sebagai sejenis sejarah masa lalu yang tidak berkaitan dengan napas hidup mereka kini.
Pun bagi yang kini masih terus bekerja di dalam hak asasi, peristiwa seputar penculikan itu, seiring dengan melesatnya waktu, makin dipahami semata-mata sebagai kasus episodik dari tumpukan kasus-kasus kekerasan peninggalan rezim Soeharto. Implikasi-implikasi radikal terhadap relasi politik demokratis konkret yang merupakan resultante dari pergolakan hak asasi seputar kasus itu sering dilupakan.
Sesungguhnya, peristiwa dan respon seputar penculikan itu bukan hanya meninggalkan jejak tragedi yang kini masih terbuka, bukan juga hanya dalam upaya sekedar menyodorkan persoalan pilihan etis mengenai bagaimana kita bersikap terhadap mereka yang terlibat seperti Prabowo, dan Tim Mawar, Wiranto serta Suharto dan generasi politiknya, dalam konteks politik yang serba cair di masa kini. Lebih jauh dari itu, dan yang lebih penting dari peristiwa penculikan itu sebenarnya adalah transformasi secara luar biasa terhadap kultur politik dan mental demokrasi di Indonesia. Tragedi penculikan itu telah memprovokasi sedemikian rupa suatu kesadaran dan etik baru yang secara luar biasa mengubah masyarakat Indonesia. Perubahan yang barangkali juga tidak pernah disangka-sangka oleh mereka yang diculik dan kembali, juga oleh para penculiknya. Dari mana mulainya?
Untuk memulai itu, saya akan menceritakan dari sudut yang sedikit subyektif sebagai orang yang terlibat mendirikan KONTRAS dan mengurus organisasi itu bersama-sama Almarhum Munir. KONTRAS didirikan pertama-tama memang untuk merespon dan menghadapi kasus penculikan ini. Para pendirinya di awal mula adalah sejumlah aktivis yang memiliki keterkaitan langsung dengan para korban: rekan seorganisasi, senior atau mentor di Ormas. Namun yang berdiri di depan; memimpin investigasi, memproduksi tuntutan-tuntutan, menantang organisasi miter yang saat itu masih kuat dan tertutup adalah satu orang yakni MUNIR. Munir koordinator sekaligus juru bicara, dan oleh karena posisinya, maka ia pula yang mesti menanggung beban kontroversi, berkonflik secara terbuka dengan pelbagai faksi militer yang terlibat maupun tidak terlibat secara langsung dengan kasus penculikan itu. Yang unik dari perlawanan masa itu adalah: seluruh resistensi dibasiskan pada analisis mengenai militerisme negara pretorian Orde Baru, di mana orang seperti Prabowo atau Wiranto, dipandang sebagai bagian saja di dalamnya.
Seluruh cerita mengenai penculikan itu pada dasarnya berpusat pada tahun 1998, tahun di mana rezim otoritarian Soeharto akan menyelenggarakan Sidang Umum MPR. Dalam tradisi otoritarian, Sidang Umum adalah ritual kekuasaan yang paling penting, yang mesti berjalan mulus, tanpa gangguan, tanpa halangan, tanpa persaingan sehingga dengan itu kelanjutan kekuasaan politik Suharto bisa disahkan se ara berulang untuk kesekian kalinya. Dalam rangka itu seluruh penghalang mesti dibereskan, semua potensi perlawanan mesti dinetralisir dan dieliminir. Oleh karenanya, di masa Suharto menjelang Pemilu dan Sidang UMUM, suasana sosial di masyarakat biasanya ditertibkan, tenang, sunyi. Judulnya boleh pesta demokrasi, tapi biasanya apparat militer berjaga di mana-mana, termasuk di TPS-TPS, status darurat biasanya diberlakukan di saat pemilu dan Sidang Umum.
Sidang Umum 1998 adalah momen yang krusial bagi rezim Suharto, bukan pertama-tama karena ia adalah momen rutin di mana umur kekuasaanya akan ditambah, melainkan karena menjelang Sidang Umum, untuk pertama kalinya Rejim Suharto bersiaga menyambut pemilu dan Sidang Umum MPR bersamaan dengan krisis, fragmentasi dan perlawanan yang muncul secara lebih sengit. Dengan itu, memang ada suasana krisis dan politik yang mencekam dan ketegangan yang panjang. Krisis dan ketegangan itu sangat terasa, apabila di masa itu kita ada di sekitar Gedung YLBHI di Jalan Diponegoro No 74. Para aktivis yang biasa berkumpul dan menggunakan kantor YLBHI di masa-masa itu, juga berada dalam semacam psikologi politik yang sama, semua mereka mengantisipasi bahwa Sidang Umum 1998 adalah Sidang Umum yang akan krusial bagi masa depan demokrasi. Dari situ, selama masa-masa penting itu rapat demi rapat, pertemuan-demi pertemuan yang ditujukan untuk membentuk persatuan, aliansi, atau sekedar pamflet politik, berlangsung secara intens dan terbuka.
Konteks historis yang juga perlu diingat dalam memahami tragedi penculikan adalah, bahwa pemilu dan Sidang Umum 1998 itu berlangsung pasca tragedi penyerbuan kantor PDI pada tanggal 27 Juli 1996. Rejim Suharto pada masa itu, menggunakan penyerbuan itu sebagai cara untuk menggagalkan kepemimpinan PDI di bawah Megawati dan sekaligus memberangus politik radikal yang didorong oleh PRD. Peristiwa 27 Juli itu dimaksudkan untuk mempertahankan status quo dalam sistem dan kendali kepartaian Orde Baru sekaligus mematahkan kemungkinan munculnya pemimpin alternative terhadap Suharto. Akibat dari perstiwa 27 Juli itu, kepemimpinan legal PRD yang pada masa itu merupakan pelopor politik radikal menentang Orde Baru, dilumpuhkan.
Dengan demikian, perustiwa 27 Juli memang digunakan oleh Suharto sebagai jalan untuk memuluskan Pemilu 1997 dan Sidang Umum 1998. Namun demikian, meski represi pasca 27 Juli itu memutus oposisi radikal secara signifikan, kampanye politik dan kepemimpinan alternatif terhadap Suharto terlanjur bergerak jauh dan sulit dihentikan. Selama masa kampanye 29 April hingga 14 Maret 1997, muncul fenomena politik dari bawah dalam kampanye “Mega Bintang” yang mengusung kepemimpinan Megawati dengan Partai Berlambang Bintang PPP. Kampanye Mega Bintang ini kemudian direspon oleh pemerintahan Suharto melalui Menteri Dalam Negeri pada waktu itu Yogie S Memet dan Kasospol ABRI waktu itu Syarwan Hamid dengan larangan menggunakan spanduk Mega-Bintang karena dianggap melanggar aturan kampanye. Pada saat yang sama di tempat lain, muncul pula inisiatif tandingan dalam rupa kampanye SIAGA yang merupakan singkatan dari Solidaritas Indonesia untuk Amin dan Mega. Intinya, untuk pertama kalinya dominasi kekuasaan rejim Suharto mendapatkan tantangan politik yang terbuka dan serius.
Pada tangal 28 Mei 1997, akhirnya berlangsung pemilu yang dimenangkan kembali oleh partai Golkar dengan angka kemenangan lebih dari 70 persen kursi DPR RI. Pada tanggal 1 – 11 Maret 1998 Berlangsung sidang umum MPR RI dan hasilnya kembali mengukuhkan Soeharto sebagai presiden RI dan didampingi oleh BJ Habbibie sebagai wakil presiden. Sekitar satu bulan menjelang Sidang Umum MPR, tepatnya pada 18 Februari 1998, terdengar ledakan di rumah susun Tanah Tinggi Jakarta Pusat, yang diakibatkan oleh ledakan di salah satu kamar tersebut, Agus Priyono salah seorang aktivis SMID, yang merupakan organ mahasiswa PRD ditangkap di TKP.
Penculikan aktivis adalah kejadian yang berada dalam kelindan rangakaian peristiwa-peristiwa politik ini, seluruh penculikan itu terjadi dalam kurun waktu Februari hingga Mei 1998 yang menyasar para aktivis pro-demokrasi di jaman itu. Data KONTRAs mengungkap statistik kejadian dan para korban itu sebaga berikut:
No | Nama Korban | Tanggal Hilang | Keterangan |
1 | Aan Rusdiyanto | 13 Maret 1998 | Diambil paka dirumah susun klender Jakarta Timur |
2 | Andi Arief | 28 Maret 1998 | Diambil paksa di Lampung |
3 | Desmon J Mahesa | 4 Februari 1998 | Diambil paksa di Jakarta |
4 | Faisol Reza | 12 Maret 1998 | Dikejar dan ditangkap di RS Ciptomangunkusumo Jakarta Pusat |
5 | Haryanto Taslam | 2 Maret 1998 | Saat mengendarai mobil dikejar dan diambil paksa di depan pintu Taman Mini Indonesia Indah |
6 | Mugiyanto | 13 Maret 1998 | Diambil paksa dirumah susun Klender Jakarta Timur |
7 | Nezar Patria | 13 Maret 1998 | Diambil paksa dirumah susun Klender Jakarta Timur |
8 | Pius Lustrilanang | 4 Februari 1998 | Diambil paksa di Jakarta |
9 | Raharja Waluya Jati | 12 Maret 1998 | Dikejar dan ditangkap di RS Ciptomangunkusumo Jakarta Pusat |
Sedangkan13 orang yang belum kembali hingga sekarang, terdiri dari;
No | Nama Korban | Tanggal Hilang | Keterangan |
1 | Dedy Hamdun | 29 Mei 1998 | Diambil paksa di Jakarta |
2 | Hermawan Hendrawan | 12 Maret 1998 | Diambil paksa di Jakarta |
3 | Hendra Hambali | 14 Mei 1998 | Diambil paksa di Jakarta |
4 | Ismail | 29 Mei 1997 | Diambil paksa di Jakarta |
5 | M Yusuf | 7 Mei 1997 | Diambil paksa di Jakarta |
6 | Nova Al Katiri | 29 Mei 1997 | Diambil paksa di Jakarta |
7 | Petrus Bima Anugrah | Minggu ke III bulan Maret 1998 | Diambil paksa di Jakarta |
8 | Sony | 26 April 1997 | Diambil paksa di Jakarta |
9 | Suyat | Februari 1997 | Diambil paksa di Jakarta |
10 | Ucok Munandar Siahaan | 14 Mei 1998 | Diambil paksa di Jakarta |
11 | Yadin Muhidin | 14 Mei 1998 | Diambil paksa di Jakarta |
12 | Yani Afri | 26 April 1997 | Diambil paksa di Jakarta |
13 | Wiji Tukul | Mei 1998 | Diambil paksa di Jakarta |
Dengan konteks itu, jelaslah bahwa penculikan merupakan bagian dari reaksi negara atas munculnya resistensi dan alternatif kepemimpinan politik dari bawah. Penculikan merupakan cara yang dipakai untuk memuluskan proses re-akumulasi kekuasaan Orde Baru di bawah Suharto.
Pada masa itu, menunjuk institusi militer terlibat dalam penculikan, bukanlah perkara sederhana, apalagi mudah. Jangankan itu, menyatakan bahwa ada orang yang hilang diculik saja butuh keberanian luar biasa. Fakta bahwa rekan kita, atau orang-orang yang kita kenal diculik oleh kekuasaan saja sebenarnya sudah membuat kita gentar. Salah satu segi teroristik dari penculikan di masa itu adalah: bahwa mereka yang diculik, kebanyakan merupakan aktivis pro demokrasi yang paling berani dan lantang. Dengan itu, menghadapi para penculiknya dibutuhkan keberanian yang melebihi semangat radikal para korban yang diculik. Saat rapat-rapat pertama ketika KontraS didirikan, (sebagai organsiasi ad hoc saja untuk merespon kasus penculikan pertama (Pius, Desmon), saya masih ingat kegugupan Munir dalam siaran pers pertama untuk mengumumkan kejadian tersebut. Ada diskusi panjang untuk memutuskan apakah istilah ‘penculikan’ bisa dipakai atau tidak, akhirnya pada siaran pers pertama itu, yang lebih banyak digunakan istilah “orang hilang”. Di masa itu belum ada media sosial, informasi dan komunikasi belum terdemokratisasi seperti masa kini. Apa yang dilakukan oleh negara, tidak dengan serta merta bisa diketahui oleh publik.
Yang paling perlu diingat pada masa itu, pengungkapan kasus-kasus orang hilang ini memang dengan sengaja dimaksudkan bukan pertama-tama untuk “sekedar” menemukan kembali mereka yang diculik, tapi digunakan untuk memberi tekanan baru kepada rezim militer pada masa itu, pasca kemenangan telak mereka di Pemilu 1998 dan pemberangusan para aktivis sebelumnya. Dengan itu, advokasi terhadap orang hilang dibangun sebagai kelanjutan yang simultan untuk memukul kekuatan terpenting dari rejim Orde Baru yakni kekuatan militer. Kritik dan pengungkapan terbuka atas keterlibatan militer dalam kasus itu membuka front dan tantangan langsung kepada milter yang pada masa itu kekuasaannya masih sangat ditakuti bahkan disakralkan. Di sinilah keunikan dari kemunculan KOntraS pada waktu itu: advokasi KontraS terhadap kasus penculikan, bukanlah sebuah gerakan yang bersifat defensif, melainkan gerakan politik hak asasi yang ofensif terhadap kekuasaan orde baru.
Di titik inilah resonansi yang digemakan di dalam tuntutan, advokasi dan polemic mengenai keterlibatan militer dalam penculikan, menciptakan suasana baru dalam psikologi politik pada masa itu: keugaharian untuk menantang secara terbuka klaim kebenaran tentara. Dengan itu, ia memberikan semacam basis bagi peneguhan supremasi sipil dan reformasi di kalangan militer. Keberanian untuk menantang monopoli, kerahasiaan dan kejahatan kemanusiaan secara terbuka ini yang kemudian menjadi modal bagi gerakan reformasi yang lebih luas yang melucuti dominasi militer dalam kekuasaan sosial politik di Indonesia.
Di dalam penghilangan paksa, tak mungkin terhindarkan pembicaraan mengenai kekejaman dan penderitaan, namun pada saat yang sama, ia juga menampilkan keberanian sipil yang tiada tanding. Keberanian yang menjadi pelopor dan pijakan penting bagi demokrasi Indonesia saat ini.
Kini kita menyaksikan bagaimana semua konstruksi peristiwa itu telah berubah dari peristiwa nyata yang melibatkan pengalaman konkret manusia menjadi sebuah peristiwa bahasa di dalam karya sastra, yang membawa kita kepada kerentanan dan kekikukan tersindiri.
Bagian 2: Sastra , Ironi dan Politik Hak Asasi Manusia
Bagi keluarga, penghilangan orang adalah pengalaman penderitaan, ironisnya penderitaan faktual itu belum bisa mereka definisikan sebagai penderitaan. Ia telah ditanggungkan namun penamaanya masih mengalami penundaaan yang absurd karena mereka yang hilang masih terus dinantikan.
Orang masih menunggu dengan pertanyaan “di mana mereka”, sementara pengalaman dan cerita dari mereka yang kembali sebenarnya memberikan kepastian bahwa mereka “sudah di sana”. Sebagian keluarga, masih menunda menerima fakta brutal bahwa dengan hilang demikian lama, hampir pasti mereka tak mungkin kembali, namun mereka terus menyimpan harapan rahmat keajaiban bahwa yang pergi suatu saat akan kembali. Maka sebagian dari keluarga-keluarga itu masih terus menyimpan semua benda, pakaian, sepatu, ikat pinggang dari si hilang, membuka pintu rumah lebar-lebar di saat natal dan lebaran dengan harapan ‘siapa tau’ dia akan pulang. Penghilangan orang adalah kejahatan yang paling kejam dan unik, ia membiarkan luka dan penderitaan yang menganga melalui ketidaktahuan yang dipertahankan. Penderitaan dan kerentaan jiwa manusia direproduksi melalui penundaan kepastian di dalam penderitaan. Oleh karenanya, para pemikir hak asasi manusia menyebut kejahatan penghilangan paksa sebagai ‘continuous crime’ kejahatan yang terlestarikan, selama negara belum memberikan status, kepastian : mati/hidup, di mana, mengapa, selama itu pula kejahatan itu masih berlaku sebagai kejahatan.
Penghilangan orang menghancurkan pengalaman dan refleksi kemewaktuan yang sebenarnya melekat pada manusia. Dengan menunggu dan menunggu yang hilang tanpa kejelasan, para keluarga itu kehilangan pegangan dari kepastian mengenai mana yang masa lalu, mana yang masa kini dan mana yang masa mendatang. Waktu dialami secara terbuka dan tunggal dalam tanda tanya.
Kalau pada hari ini kita membicarakan orang hilang melalui sebuah novel kita membicarakan ironi melalui ironi. Kalau mau didorong lebih progresif maka sastra, melalui novel “Laut Bercerita’ bermaksud menggantikan tragedi dengan ironi emansipatif. Novel ini memberikan keluarga-keluarga itu cara baru untuk mengenang dan memahami mereka yang telah hilang. Dengan itu ia juga berfungsi memberikan medium dan peluang dialog yang nyata antara keluarga-keluarga, sahabat, kekasih dengan mereka yang hilang. Sebuah percakapan ironis dengan “Laut”, yang kalau tidak bisa menggantikan kehadiran faktual dari orang-orang itu, ia bisa memberikan sandaran imajinatif mengenai mereka. Dari situ, pengalaman dan perasaan yang pedih namun manusiawi terus bisa diciptakan kembali.
“Laut Bercerita” mencoba meredeskripsikan ulang dunia pengalaman, penderitaan, rasa sakit, kekejaman, keberanian dan semangat di dalam jiwa manusia melalui Bahasa. Ia yang mengambil tugas mentransformasi pengalaman ironi dan absurditas penderitaan sebagai kata-kata. Dengan redeskripsi itu, ia memperkenalkan kebenaran yang terbarukan mengenai peristiwa ke dalam subyektifitas pembacanya.
Ironi, kata Richard Rorty, adalah keberanian untuk menunda segala kepastian, menahan kemutlakan dan membiarkan segalanya tumbuh, bergerak namun tetap terbuka. Dan satu-satunya cara untuk menjalani hidup sosial, politik kita dengan cara ironi adalah melalui Bahasa. Selama kita mempertahankan diri di dalam Bahasa, selama itu pula kemungkinan emansipasi mungkin.
Oleh karenanya, di masa kini, di mana hak asasi sedang diposisikan sebagai dalih dan alat tukar di meja politik, kehadiran “Laut Bercerita”, sudah menolong kita. “Laut Bercerita” membuka kembali penghilangan paksa sebagai kejahatan yang terlestarikan, sehingga dengan itu ia juga membuka pertanyaan etis dan tanggung jawab kepada semua orang: kepada para pelaku yang masih ada, juga kepada mereka yang menggunakan kasus ini untuk mendapatkan kejayaan dan kemenangan politik, namun gagal mengambil sikap etis bahkan untuk menyatakan kebenaran atas peristiwa itu.
Salah satu kemungkinan terpenting yang dibuka oleh Laut Bercerita adalah, ia membagikan pengalaman penantian, absurditas rasa kehilangan dari para keluarga korban dengan pembaca yang tak dikenal. Dengan itu, ia membagikan perasaan kehilangan sebagai perasaan bersama. Dari situ pula, penderitaan dan rasa kehilangan berubah menjadi perasaan solidaritas dan orang menjadi lebih manusiawi.
Depok. 21 Februari 2018
Robertus Robet, rrobet@unj.ac.id