Laut Bercerita: Antara Mengingat dan Melupakan Sebuah Pembacaan


Melani Budianta

Laut Bercerita” : Akhir yang mengawali

“Pada Kamis keempat di awal tahun 2007 itu, di bawah matahari senja, di hadapan Istana Negara, kami berdiri dengan baju hitam dinaungi ratusan paying hitam. Kami tak berteriak atau melonjak, melainkan bersuara dalam diam” (hal.363)

Kutipan di atas diambil dari  segmen terakhir menjelang Epilog, di bagian II novel Laut Bercerita.  Novel kedua Leila S. Chudori ini diakhiri dengan momen larung foto korban ke laut oleh keluarga korban, dan ditutup oleh refleksi Asmara Jati, adik perempuan tokoh utama yang menjadi narator bagian II :

“Tahun sudah berganti memasuki 2008, dan masih mempunyai banyak pekerjaan rumah yang berarti karena sejauh ini belum memperoleh perkembangan apa-apa yang besar.  Hilangnya Mas Laut dan kawan-kawan sudah diramaikan media, diangkat sebagai drama, musik dan berbagai medium, tetapi kami ingin pemerintah mengungkap kasus ini hingga tuntas. Mungkin Aksi Payung Hitam setiap hari Kamis bukan sekadar sebuah gugatan, tetapi sekaligus sebuah terapi bagi kami dan warga negeriini, sebuah peringatan bahwa kami tak akan membiarkan sebuah tindakan kekejian dibiarkan lewat tanpa hukuman.

….

Kami percaya pada kedalaman dan kesunyian laut, dan kami percaya pada terangnya matahari.

Kami juga percaya Mas Laut, Mas Gala, Sunu, Kinanti dan kawan-kawan yang lain akan lahir berkali-kali” (hal.373)

Frasa terakhir, “akan lahir berkali-kali” menguntai lingkaran dengan kata-kata pembuka dalam Prolog novel ini, sebuah kutipan dari puisi seorang tokoh yang disebut sebagai Sang Penyair, “Matilah engkau mati/Kau akan lahir berkali-kali”. Prolog disuarakan oleh Biru Laut, tokoh utama sekaligus narator bagian I, pada momen klimaks, sebelum ia ditembak di atas bukit karang di tepi laut, lalu diceburkan, dengan kaki dibebat besi pemberat, ke dalam laut.

Dari situ novel bergulir, bagian I dituturkan oleh Biru Laut, tentang aktivitas dan proses kesadaran politik mahasiswa untuk melakukan resistensi terhadap kekuasaan Orde Baru dari tahun 1991 hingga mereka dinyatakan “buron” di tahun 1996, diculik dan dibunuh di 1998, dalam loncatan kilas balik maju mundur. Bagian II dinarasikan oleh Asmara Jati, adik Biru Laut, dari tahun 2000 sampai 2008, untuk mencakup dampak dan refleksi kerabat dan keluarga korban.  Melalui kematian yang mengawali cerita, dan penutup yang terjalin ke kelahiran berkali-kali, struktur narasi dan pesan terbangun.

Agenda Melawan Lupa

Ringkasan struktur novel di atas menggambarkan bagaimana Leila S. Chudori, sebagai seorang penulis yang berjiwa wartawan, menggabungkan dua dunia yang ditekuninya.  Sebagai seorang jurnalis, ia merekam dan melakukan penelitian atas momen historis yang menggerakkan hatinya sebagai penulis, dan sebagai novelis menerjemahkan momen sejarah itu dalam struktur naratif, dan menghidupkannya melalui sudut pandang, penokohan dan latar secara estetis untuk menggugah rasa.  Elemen terakhir ini terkait dengan posisi Leila S Chudori ketiga, yakni sebagai aktivis kemanusiaan dengan agenda politik untuk “melawan lupa” akan momen-momen sejarah yang terkait dengan kekerasan negara.  Tiga posisi ini sudah ditunjukkan Leila S. Chudori dalam novel pertamanya, Pulang yang mengangkat korban pengasingan tahun 1965.  Secara jelas, perspektif yang diambil oleh dua novel Leila adalah narasi alternatif dari sisi yang terbungkam dalam penulisan sejarah dominan.

Agenda “menggugah rasa” dibangun secara efektif oleh novel Laut Bercerita dengan mengontraskan dua orang narator kakak beradik di dua bagian novelnya, sesuai dengan karakter mereka masing-masing.  Tokoh pertama, Laut, seorang aktivis politik yang mendalami sastra, perasa tapi introvert, cenderung mengobservasi semua yang terjadi, tokoh dan momen-momen secara rinci, dengan nada yang lembut dan berhati-hati.   Tokoh kedua, Asmara Jati, adik perempuan Laut, seorang calon dokter yang ekstrovert, lugas, rasional dan kritis, yang lebih ekspresif berbicara. Perbedaan karakter ini dicermati dan disampaikan oleh Laut:

“Saat aku duduk di bangku SMA dan Asmara di SMP, kami mulai sibuk dengan urusan masing-masing. Asmara dengan berbagai kelompok yang dia ikuti: pramuka, karate, gitar, lab fisika dan renang. Aku lebih sibuk dengan kegiatan fotografi, OSIS, dan majalah dinding sekolah, serta ikut bergabung dengan diskusi sastra dan teater Solo.  Pilihan ekstrakurikuler kami yang berbeda inilah yang membuat Asmara semakin jengkel.  Dengan Bapak aku bisa banyak bicara soal sastra dan teater; dengan Ibu aku bisa salig membandingkan hasil foto kami, karena di masa Ibu kuliah beliau juga senang memotret hitam putih Asmara merasa kedua orang tua kami lebih bisa memahami apa yang aku geluti.”(hal.67)

Selain perbedaan karakter, hubungan emosional kakak beradik, dan posisi dalam keluarga ini menjadi basis ekplorasi “rasa” yang mengaitkan suara Laut dan Asmara.  Di satu sisi, Laut merasa bersalah akan akibat yang dirasakan orangtua dan adiknya karena aktivisme politik yang dilakukannya. Di lain pihak Asmara yang “kesal tapi sayang” pada Laut, dikoyak kesedian, tapi merasa ditinggalkan sendiri dan tak berdaya menghadapi kekerasan hati dan penolakan orangtuanya untuk menerima kenyataan.

Bagian narasi Laut terputus-putus, mampat oleh satu peristiwa ke peristiwa lain. Diselang-seling kilas balik dan adegan penyiksaan yang diceritakan secara datar dan grafis, bagian pertama cenderung “melelahkan.” Narasi Laut semakin lama semakin memisahkan pusat kesadaran dengan apa yang dirasakan oleh tubuh, sehingga apa yang dialami tubuh seakan mati rasa – khususnya dalam penyiksaan. Sebaliknya narasi Asmara di bagian kedua semakin lama semakin menguras perasaan, karena menuturkan bagimana dampak kehilangan itu terhadap kekasih, kerabat, teman dan orang tua  korban.

Alur penghianatan dan harapan

Dua bagian narasi dibedakan bukan saja melalui oposisi biner karakter, tetapi juga oleh pengaluran. Bagian pertama diwarnai oleh ketegangan laiknya sebuah thriller (kejar, sembunyi, tangkap).  Pembaca sudah diberitahu – dan sejarah sudah menetapkan – bahwa sebagian aktivis mati dan hilang tanpa jejak sampai masa sekarang. Mengapa mereka dihilangkan, dan siapa penculik dan pembunuhnya, sudah jadi rahasia umum.  Novel ini menjawab bayangan yang tak ingin diketahui oleh para orang tua, teman dan kekasih, bagaimana mereka ditangkap, disiksa dan dibunuh.   Tetapi alur bagian pertama pada dasarnya digerakan oleh pertanyaan lain, yakni: siapakah sang penghianat yang membocorkan jejak mereka sehingga mereka tertangkap? Seperti novel bergenre misteri, rahasia tidak diungkap tiba-tiba. Jejak-jejak untuk menelusurinya sudah ditaburkan oleh pengarang dari awal.  Kode penghianatan sudah ditanamkan sejak awal, melalui cerita Bram di masa SMU, tentang seorang teman perempuan anggota OSIS yang mengadukan kegiatan diskusi yang digagas Bram kepada “ayahnya yang dekat dengan intel” :

“Penghianat ada di mana-mana, bahkan di depan hidung kita, Laut. … Kita harus belajar kecewa bahwa orang yang kita percaya ternyata memegang pisau dan menusuk punggung kita” (hal.30)

Seperti dalam genre misteri atau detektif, pembaca diberi jejak salah arah, untuk mencurigai seorang tokoh bernama Naratama:

“Mengapa aku tak percaya apa pun yang dikatakan Tama,” Daniel yang bersila di belakangku menggerutu .

—-

“Tama terlalu berapi-api. Ada sesuatu yang aneh di balik api itu,” kata Sunu dengan suara pelan. … Sunu, Daniel, Gusti, Julius, Alex dan Aku memandang Naratama dari jauh dengan rasa tidak nyaman. (hal.48-49)

Kecurigaan ini diakumulasi dengan berbagai macam tingkah laku tokoh Tama, terutama ketika ia menjadi “pesaing” Biru Laut untuk mendapatkan cinta dari Anjani, pelukis mural, feminis yang lincah dan kritis. Pada saat yang sama, ada jejak lain yang ditebarkan untuk mengingatkan bahwa “yang mencurigakan dan banyak tingkah belum tentu Sang Pengkhianat…” (hal.61). Baru menjelang akhir Bagian I pembaca diberi jejak baru, yakni Gusti, yang didapati oleh Laut mengetahui informasi tentang dirinya yang tak pernah disampaikan padanya (hal.207-208).  Di akhir bab, Laut mengkonfirmasi, bahwa Gusti, dokumentator yang selalu memotret dengan kamera Blitz (berbanding terbalik dengan Alex yang memotret tanpa warna dan tanpa blitz) “adalah lambang segala pengkhianatan yang membuat bangunan Indonesia menjadi semakin karatan” (222).

Sebaliknya alur di Bagian II diwarnai oleh ironi antara apa yang sudah diketahui oleh pembaca (kematian Laut) dan harapan akan kembalinya kerabat yang hilang, antara penerimaan akan kematian dan penyangkalan dari orang tua yang bersikeras membayangkan anaknya akan kembali (ritual menyediakan piring dan makanan, membersihkan kamar, dan menanti setiap saat sang anak akan muncul di pintu).  Bagian yang dinarasikan oleh Asmara Jati ini penuh pergolakan emosi untuk memendam kepedihan sendiri guna mengurangi kepedihan yang lain, untuk berempati dengan trauma pasca kekerasan yang dialami orang sekitar.  Bagian II mencakup tahun 2000-2007 ketika harapan semakin lama semakin pipih, dan perhatian akan orang-orang yang dihilangpaksakan semakin terpinggirkan dari ingatan publik. Pada saat yang sama nada dan urgensi untuk memanggil yang dilupakan semakin kuat.  Novel ditutup dengan sebuah peleraian, ketika para orang tua melarung foto anak yang hilang satu per satu ke laut, dan Asmara melantunkan “credo” dengan menyebut nama-nama mahasiswa yang hilang agar lahir berkali-kali.

Strategi yang mengontraskan alur ketegangan dan alur emosi seperti ini efektif untuk membangun empati dan mengajak pembaca ikut merasakan peristiwa sejarah yang cenderung terlupakan. Novel ini  menghadirkan struktur perasaan – dengan tetek bengek konteks keseharian (lagu, makanan, kebiasaan sehari-hari) yang “jadul”, bagi “generasi NOW” yang mempunyai jarak dan keterputusan ingatan – 20 tahun Pasca-Reformasi:

“Bener2 nangis sejadi2nya baca buku ini, bener2 ngerasain kehilangan atas seseorang yang bahkan saya gak kenal” (https://www.goodreads.com/review/show?id=2216706357&tab=book)

Cinta yang terkoyak dan Sita yang melepas Rama.

Salah satu penggerak emosi lain dalam novel ini adalah relasi cinta. Melalui motif inilah  bagian I dan II menjalin kesamaannya. Bagian pertama menggulirkan percintaan antara Laut dan Anjani, mulai dari pendekatan sampai momen romantis di tengah krisis diintai intel dan pelarian. Bagian kedua dihidupkan oleh relasi yang kompleks antara Asmara Jati dan Alex,  diwarnai oleh kerumitan akibat sindrom trauma pasca kekerasan yang dialami Alex. Tetapi relasi cinta yang paling intens dalam novel ini adalah keterkoyakan akibat penghilangan paksa, bukan hanya antara dua kekasih, tetapi juga antara kakak dan adik, antara anak dan orangtua.  Ekspresi cinta yang terputus oleh maut itu diwujudkan dalam surat-surat imajiner yang ditulis oleh Laut  — dari dasar laut – dari balik kesunyian alam baka.  Di sini Laut yang introvert, pemalu, mengekspresikan kepengarangannya dengan lantunan yang mengalir.

Motif lain yang terkait dengan relasi perempuan dan laki-laki dalam novel ini adalah pembalikan posisi gender Sita dan Rama, yang disimbolkan oleh mural yang dilukis Anjani di dinding Rumah Seyegan – seperti dijelaskan pelukisnya:

“Dalam ceritaku, justru sang suami yang diculik oleh raja berepala sepuluh yang beriat menyiksa dan membunuhnya, dan sang istri yang akan berperang menyelamatkan dia. – “Bedanya, nanti ketika mereka bersatu, sang istri tak perlu meminta sang suami membuktikan kesetiannya dengan terjun ke dalam kobaran api. Sang istri percaya bahwa cinta telah mempertahankan segala kehormatan.” (hal.91)

Di satu tataran ada kritik atas ideologi patriarki yang melihat perempuan sebagai mahluk lemah yang harus dilindungi, dan pada saat yang sama, memakai tubuh perempuan sebagai ukuran moralitas.  Dalam tataran lain, Anjani menjelaskan motif itu secara lebih ringan dan sepele. Melalui mural itu Anjani mengekspresikan kekesalannya atas perlakuan dua orang kakak laki-laki dan ayahnya, yang memperlakukannya sebagai adik perempuan bungsu yang  selalu harus diawasi.  Meskipun kritik feminis dilunakkan dengan sikap olok-olok Anjani, penggambaran sosok perempuan dan laki-laki dalam novel ini tak pelak  menggoyah stereotip gender yang ada.  Karakter Anjani yang mandiri dan asertif, berkontras dengan sifat Laut yang pemalu dan ragu – demikian pula Asmara Jati menyukai hobi dan ilmu yang biasa dianggap maskulin, karate, matematika – sedangkan Laut menyukai sastra dan teater.

Tidak semua sosok perempuan dalam novel ini tampil sebagai pemimpin, seperti Kinanti.  Ada sosok ibu yang setia bergeming di ranah domestik. Tetapi motif mural Anjani secara keseluruhan terbangun dalam alur. Walaupun dalam cerita di luar mural Sita tidak berhasil menyelamatkan Rama secara harafiah dari penculikan, dapat dikatakan sosok perempuan seperti Asmara lah yang mendampingi Alex untuk sintas dari trauma kekerasan. Asmara pula lah yang mengumpulkan keping-keping puzzle dan memecahkan misteri penculikan 1998 dan mengantar orangtuanya berdamai dengan masa lalu.

Hantu Masa Lalu

Selain memberikan pengalaman emosional, pembaca mengungkapkan bagaimana novel ini membangun wawasan sejarah untuk melihat keterkaitan masa lalu dan masa kini:

Membaca kisah Laut seakan saya ikut menyaksikan kekejian yang mereka alami secara langsung. Saya ikut sakit hati, deg-degan, juga penasaran dengan gerak dan perjuangan mereka yang mencoba membela rakyat yang ditindas penguasa. Selama ini saya hanya tahu ketakutan saat reformasi terjadi dan pemerintahan digulingkan pada tahun 1998. Tapi setelah membaca kisah Laut, ternyata episode itu hanya titik kulminasi dari serangkaian episode panjang, jauh dari tahun-tahun sebelumnya.

(http://www.orybooks.com/2017/11/laut-bercerita.html)

Motif melawan lupa dibangun dalam novel ini melalui latar belakang tokoh-tokohnya, yang mengalami persoalan di masa lalu.  Biru Laut bercerita kepada teman-temannya tentang sosok Bu Ami, guru SD yang membuat murid-murid “tersihir” ketika membacakan cuplikan karya sastra Indonesia dan dunia pada murid-muridnya.  Bu guru itu suatu hari tidak masuk ke kelas dan tak pernah kembali.  Ternyata hilangnya Bu Ami terkait dengan kebijakan “bersih diri dan bersih lingkungan” masa Orde Baru, yang melakukan skrining  untuk membatasi ruang gerak siapapun yang orangtua atau keluarganya pernah menjadi tahanan politik 1965. Ada juga sosok Sunu, yang keluarganya mengalami gonjangan setelah ayahnya menghilang sebelum ia dilahirkan.

Masa lalu tidak sekadar menghantui, tetapi memberikan pembelajaran politik yang membentuk diri para tokohnya.  Kematian adik bungsunya karena demam berdarah ketika masih bayi membangun pemikiran pada Kinanti, pemimpin komunitas Winatra, bahwa “kematian anak-anak pasti salah satu problem negara berkembang” (19).   Bram,  pendiri organisasi anak muda, terpukul ketika Mbah Mien, tetangga desa yang selalu menggendong dan menjaganya ketika kecils, ditemukan mati gantung diri karena terjerat hutang.  Matanya jadi terbuka atas ketidakadilan yang menimpa orang kecil, dan mendorongnya belajar kebutuhan petani dan membaca buku-buku yang membongkar kesenjangan sosial.

Meski terhantui oleh penangkapan mahasiswa akibat menyimpan buku Pramoedya A. Toer di tahun 1988, para tokoh bersikukuh mencari tempat tersembunyi untuk menyalurkan kebutuhan mereka membaca buku dan mendiskusikan gagasan perubahan sosial.  Tak heran jika nama ‘markas’ tempat mereka membongkar luka  masa lalu dijuluki “Rumah Hantu Seyegan.”  Hantu masa lalu dan sastra nampaknya menjadi dua komponen yang saling terkait menjadi pemicu semangat.  Biru Laut, mempunyai ayah wartawan yang menanamkan minat membaca. Pertemuannya dengan “Sang Penyair” menjadi titik yang menentukan.  Sejak saat itu sosok Sang Penyair (yang penggambarannya mengingatkan pada Wiji Thukul) atau sajak-sajaknya (yang diambil dari kutipan karya W.S. Rendra dan  Soetardji Calzoem Bachri ) menjadi “mentor” dan pemberi ruh semangat — secara riil dalam ruang waktu kilas balik — maupun imajiner, di saat-saat kritis, dan khususnya di dasar laut, untuk menggaungkan pesan dari balik kematian.

Membongkar Kerangkeng Sejarah

Seperti disebut dalam narasi Asmara Jati, Laut Bercerita, menambah rangkaian karya sastra dan seni yang menghadirkan kembali berbagai perspektif untuk mengungkap kekerasan negara yang belum tuntas terungkap dalam peristiwa 1998.  Karya kreatif berlomba dengan kekuatan arus “ingatan pendek” media – yang dengan cepat berpindah dari satu peristiwa-ke peristiwa  lainnya.   Hutang sejarah 1998, seperti juga dalam kasus  pembunuhan Munir, kekerasan terhadap jurnalis, sampai tragedi 1965 terus menagih partisipasi masyarakat untuk tak berhenti bicara.

Pada saat yang sama kerangkeng sejarah yang juga didukung karya kreatif – seperti monumen lubang buaya,  film Pengkhianatan G30S PKI – terus memenjarakan ingatan dengan memupuk label-label negatif yang dengan mudah dihidupkan untuk berbagai kepentingan.  Bagaimana karya kreatif bersaing untuk mengisi ingatan baru yang membebaskan – adalah pekerjaan rumah sastrawan.

Capaian Estetik

Pada saat yang sama, pekerjaan rumah sastrawan yang lebih utama adalah bersaing dengan dirinya sendiri untuk menggapai capaian estetis terbaik.  Bagaimana Laut Bercerita melampaui Pulang? Satu ulasan tersendiri diperlukan untuk itu. Tetapi yang jelas inti suatu naratif adalah kemampuannya bercerita, dan membawa pembaca larut dalam sebuah dongeng.  Seperti nampak dalam beberapa respons pembacanya, Laut Bercerita telah mampu menghadirkan pembaca dalam dunia rekaan yang dibangunnya – antara lain melalui aroma tengkleng, bau keringat, suasana sesak, sakit, kegelisahan dan kerinduan.  Melalui dua novelnya, Leila S. Chudory telah membangun keempuannya dalam genre novel realis berbasis sejarah.  Kemungkinan mengembangkan kemungkinan estetis di bidang ini masih terbuka lebar.

Sebagai novel yang sudah dicetak dua kali dalam edisi pertamanya,  Laut Bercerita masih menyisakan beberapa rumpang teknis yang semestinya dapat dikelola seorang editor sastra.  Jejak-jejak misteri pengkhianatan di bagian I – bagi yang sering membaca cerita detektif – terlalu mudah tercium. Karakterisasi tokoh pengkhianat – walau sudah disisipi berbagai keterangan latar belakang – terkesan reduktif. Ritual makan siang yang selalu menghadirkan Laut yang absen – termasuk resep tengkleng sang Ibu — yang efektif menghujam perasaan – menjadi pudar daya getarnya jika terlalu sering diputar.  Demikian pula kode morse yang “terdengar”  oleh Asmara dari “kepak sayap” burung di udara  L.A.U.T.  B.E.R.C.E.R.I.T.A  semakin kurang meyakinkan jika diulang dua kali.  Lagipula, alih-alih didengar, kata-kata itu dilukiskan – suatu masalah teknis yang sayang luput dari pengamatan editor penerbitan.  Keinginan untuk menggarisbawahi dan mengulang suatu momen atau elemen yang dirasa efektif membangun komunikasi dengan pembaca – adalah suatu kecenderungan umum dalam karya sastra, termasuk dalam pementasan teater dan pertunjukan.  Untuk karya tulis ada tuntutan lebih tinggi untuk menyianginya.

Selamat untuk Leila S. Chudori yang telah memperkaya khasanah Sastra Indonesia. Kita tunggu novel ketiganya.

Jakarta, 21 Februari 2018