MICHAEL MANN TENTANG JAKARTA, SKANDAL TEMBAKAU DAN AL PACINO


Sutradara Hollywood Michael Mann memilih Jakarta sebagai salah satu lokasi syuting film terbarunya. Berjanji akan kembali lagi ke Indonesia untuk filmnya yang akan datang.

                    ***
9999--mann (2)Suatu hari, pada tahun 1996, sutradara Michael Mann tengah mengutak-atik sebuah kisah nyata perdagangan senjata di Marbella, Spanyol, bersama sahabatnya, produser/wartawan CBS Lowell Bergman. Lelah dengan proyek film mereka yang tak kunjung terwujud, Bergman berkata pada Mann, “kau tak akan membayangkan apa yang sebetulnya tengah saya alami sekarang ini; di sini, di negaramu ini.”  Kepada Mann, Bergman menceritakan skandal perusahaan tembakau yang sedang dia ungkap bersama seorang konsultan perusahaan tembakau yang kelak dikenal bernama Jeffrey Wigand. Konsultan yang dipecat dari perusahaan tersebut mengetahui para eksekutif perusahaan tembakau itu mengizinkan penyusupan karsinogenik seperti Coumarin yang adiktif ke dalam setiap batang rokok. Mann langsung tertarik dengan kisah itu karena “semua tokoh-tokoh dalam kisah itu mempunyai kelemahan,” kata Mann menjawab pertanyaan Tempo tentang sebuah kisah jurnalistik yang menggegerkan yang kelak kita kenal melalui film The Insider (1995).
Mann mengaku tak pernah ingin menampilkan tokoh yang heroik. Film ini adalah salah satu film  karya Michael Mann yang diganjar pujian para kritikus; meraih nominasi Academy Awards untuk Film, Sutradara , Skenario, Aktor Terbaik (Russel Crowe), Sinematografi, Penyutingan dan Tata Suara. Setelah film All The President’s Men (Alan J.Pakula, 1976), film The Insider menjadi film yang biasa wajib tonton bagi wartawan.
Di hadapan 20 sineas Indonesia di Jakarta pekan silam, sutradara  Mann terlihat semangat bercerita meski ia baru sempat tidur selama dua jam karena semalaman syuting adegan terakhir film terbarunya di Lapangan Banteng. Filmnya yang terbaru adalah sebuah film thriller-kriminal tentang perburuan polisi terhadap seorang yang melakukan kriminal cyber dan dikejar ke berbagai negara hingga ke Hong Kong, Indonesia dan Malaysia. “Polisi yang mengejar tak mengetahui identitas yang diburu; apa motivasinya dan apa yang diinginkan sang kriminal itu,” kata Mann yang mengaku belum memberikan judul resmi pada filmnya itu. Untuk beberapa pekan di Jakarta, Mann mengaku banyak dibantu kemudahan oleh Departemen Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di bawah pimpinan Menteri Mari Elka Pangestu.

        ****

  IMG_0349Michael Kenneth Mann lahir di Chicago, Illinois 70 tahun silam.  Meski ia memperoleh gelar sarjana sastra Inggris di University of Wisconsin, Mann mengaku jatuh cinta kali pada film ketika menyaksikan film Dr Strangelove karya Stanley Kubrick. Berbeda dengan para sutradara Amerika lainnya, Mann menempuh pendidikan film di London Film School, Inggris dan memulai karirinya dengan mengerjakan berbagai film iklan. Pada bulan Mei 1968, Mann merekam peristiwa legendaris demonstrasi mahasiswa Paris  yang kemudian diberi judul Insurrection  yang kemudian ditayangkan di saluran NBC. Pengalamannya dari peristiwa Mei 1968 Paris itu dituangkan dalam film pendek Jaunpuri yang kemudian menggondol Jury Prize di Festival Film Cannes tahun 1970.

Masyarakat Indonesia, seperti juga masyarakat penonton televisi lainnya, mengenal produksi Michael Mann dari serial televisi Miami Vice  (1984-1989) yang diciptakan oleh Anthony Yerkovich. Meski Mann bertindak produser, tetapi ciri khas Mann yang sangat memperhatikan warna, musik dan visual sangat terasa dalam serial yang kemudian menjadi aikon di zamannya. Serial Miami Vice saja memberikan nuansa baru dari serial detektif: warna merah jambu yang dikenakan detektifnya, warna putih jas sangat kontras dengan kostum para detektif umumnya (yang lazimnya mengenakan jas muram kelabu atau hitam seperti Columbo yang diperankan Peter Falk di masa lalu); warna langit Miami yang biru mencolok ditabrak dengan warna pakaian penduduk yang kuning,merah  atau jingga.
Puluhan tahun kemudian, Mann menyutradarai Miami Vice  (2006) versi layar lebar dengan pemain Jammie Fox sebagai Detektif Rico Tubbs dan Collin Farrel sebagai Detektif Sonny Crocket. Warna dominan yang dipilih sebagai visual cenderung biru dan metalik.
Tetapi sebetulnya dari puluhan film-film karya Mann seperti The Last Mohican (1992); Ali (2001); Collateral (2004), Public Enemies (2009), film-film Mann yang legendaris adalah Heat yang kali pertama menampilkan Al Pacino dan Robert de Niro berhadapan sebagai detektif dan penjahat (1995); dan The Insider (1999).
Menjawab pertanyaan Tempo, Michael Mann mengaku selama pembuatan film The Insider, dia sama sekali tidak mendapat kerjasama dengan anchor program “60 Minutes” ternama Mike Wallace (dalam film, Wallace diperankan dengan cemerlang oleh Christopher Plummer). “Ego Mike tentu saja tidak kecil,” kata Mann yang mengaku penggambaran Wallace di dalam film memang tidak sebagai sosok yang menyenangkan, “tapi dia lucu. Dia menggerutu soal produser Lowell Bergman yang kok ya mau bekerja sama untuk pembuatan film tentang skandal film itu. Ketika saya tanya, bolehkah sumpah serapahmu ini kugunakan dalam film? Dia menjawab, silahkan,”  Mann terkekeh-kekeh mengaku  Mike Wallace yang akhirnya menyaksikan film  tidak menyukai film The Insider.
Salah satu ciri khas film-film Michael Mann adalah hampir setiap tokoh utamanya mempunyai latar belakang kisah. Mann selalu merasa penting memberikan biografi tokohnya. Itulah sebabnya apakah dia memilih genre laga seperti Heat atau drama seperti The Insider, tokoh-tokohnya adalah manusia yang penuh  kelemahan yang dicintai penontonnya. Salah satu ‘rahasia’ Mann adalah dengan melakukan latihan-latihan karakterisasi yang inten yang sebetulnya tidak ada di dalam skenario untuk membantu pembangunan sebuah adegan.
“Anda dikenal selalu menyiapkan ‘phantom dialogue’, dialog yang sebetulnya tidak ada di dalam skenario. Bisa anda ceritakan proses itu?” tanya produser dan sutradara Erwin Arnada.
“Ya saya menyiapkan phantom dialogue untuk memberi isi, bobot emosi pada dialog sebenarnya,” kata Michael Mann. Dia memberi contoh adegan pertemuan tokoh Lowell Bergman (Al Pacino) dan Jeffrey Wigand (Russel Crowe) yang bertemu di kafe dalam film the Insider “Dialog sebetulnya adalah upaya Lowell untuk meyakinkan Wigand muncul di acara 60 Minutes. Tapi saat latihan, saya memberikan dialog lain yaitu mereka saling berbagi perasaan tentang Ayah mereka,” kata Mann. Menurut Mann,  Lowell Bergman ditinggal Ayahnya sejak kanak-kanak, sehingga dia selalu membutuhkan validasi sosok lelaki lain; Wigand membenci Ayahnya.
Dengan latihan menggunakan  gaya latihan seperti ini, menurut Mann, maka adegan sesungguhnya menjadi lebih berisi, lebih berbobot.
Pernah merasa salah memilih pemain? “wah sering. Saya biasanya meminta 20 sampai 30 nama aktor membacakan skenario dan pernah saya sampai tidak tidur bermalam-malam karena rasanya tidak cocok. Besoknya saya meminta maaf kepada sang aktor karena saya merasa  dia bukan aktor yang cocok untuk peran tersebut,” katanya tertawa.
Sebaliknya aktor Christopher Plummer tak perlu melalui  kompetisi audisi  ketika dipilih memerankan Mike Wallace. Selain wajahnya juga mendekati wajah sang anchor, seni peran Plummer sudah pas dengan tokoh tersebut.
Mann juga menceritakan lazimnya dia meminta aktornya bersiap berbulan-bulan sebelumnya untuk latihan. “Will Smith berlatih 10 bulan untuk menjadi petinju bernama Ali,” katanya, tetapi Al Pacino baru wara-wiri di tempat syuting tiga pekan sebelum pengambilan gambar. “Saya menegurnya, Al, kau harus ke sini, latihan.” Dan jawaban Al Pacino adalah “Mike, I am an actor.”
Tentang filmnya yang sedang digarap, produser Mira Lesmana bertanya mengapa dia memilih Jakarta sebagai lokasi. Mann berkisah bagaimana dua tahun silam dia sudah beberapa kali ke Indonesia dan mengunjungi berbagai tempat, termasuk Bali. “Ada energi di Jakarta yang menarik hati saya. Ada denyut nadi dan reaksi penduduknya terhadap problem kepadatan jalanan yang sungguh  mengagumkan. Mereka tetap bersikap positif,” katanya dengan nada serius. Selain itu “saya memperhatikan arsitektur Jakarta yang warna-warninya saling bertabrakan dengan lampu neon berwarna biru, hijau dengan aksen kuning….buat saya itu visualisasi yang menarik,” kata Mann.
Mann mengisahkan bagaimana ritme film terbarunya mengikuti denyut lokasi kota. Karena tokoh utama film ini mengejar seorang kriminal ke berbagai kota, sedangkan target yang diburu tak jelas bentuknya, maka “di setiap kota terjadi perubahan analisa dan perubahan strategi perburuan,” kata Mann.  Bagi sepasang mata Mann, Hong Kong penuh dengan warna merah dan hitam, “secara visual, arsitektur terlihat penuh dengan pola yang saling bertumpuk, jadi kami harus menggunakan lensa panjang untuk menangkap seluruh perubahan ritme isi kota yang begitu cepat,” kata Mann. Di Jakarta, Mann mengaku melakukan pendekatan  antropologis. Dia memperhatikan tingkah laku penduduk dan reaksinya terhadap situasi Jakarta. Pada malam terakhir syuting di Jakarta, Michael Mann mengaku merekam adegan kolosal yang melibatkan 2000 figuran Indonesia yang bergerak dalam sebuah festival sementara aktor Chris Hemsworth beraksi di tengah festival tersebut. Ketika sutradara Nan T. Achnas bertanya apakah dia sering mengadakan perubahan di lapangan, Mann tertawa mengatakan “ya, tentu.”
Adegan di Lapangan Banteng itu, menurut Mann, baru belakangan terasa terlalu banyak dialog. “Di atas kertas terasa oke. Tetapi begitu dipraktekkan, saya merasa dialog akhir itu terlalu panjang,” katanya. Mann mengaku akan mengubahnya.
Pertanyaan menarik datang dari sutradara dan penulis skenario Salman Aristo: “bagaimana Anda memilih sebuah cerita yang cocok untuk diangkat menjadi film.” Mann menjawab dengan diplomatis “cerita itu datang kepada saya; bukan saya yang mencari cerita itu.”  Mann  menambahkan implikasi ucapannya adalah cerita dan sutradara biasanya harus saling berjodoh. Mann mengaku saat memilih cerita dan memutuskan mengangkatnya menjadi film, dia tak pernah memikirkan apakah itu untuk penonton yang luas atau tidak, tetapi “saya memilih cerita yang menggairahkan saya, dan berharap saya bisa membagi kegairahan itu kepada penonton,”. Dia menekankan sutradara baik tak akan memikirkan apakah filmnya akan meraup penonton yang banyak, tetapi lebih memikirkan apakah cerita itu menarik dan menggairahkan. “Soal meraih jumlah penonton, itu jadi urusan marketing saja,” katanya bergurau.
Sebelum Mann menutup perbincangan tiga jam dengan para sineas Indonesia, dia menekankan bahwa seorang sineas harus bisa mempunyai kulit yang tebal menghadapi kritik para kritikus film. “Tentu saya sangat mendengarkan beberapa kritikus serius seperti The New York Times,misalnya. Tetapi jika ada yang agak memaki, kita tak perlu risau,” kata Mann menjawab pertanyaan Joko Anwar.
Mann yang mengaku baru menyaksikan satu film Indonesia, yaitu The Raid (Gareth Evans, 2011) begitu terpesona dengan Indonesia, suatu hari dia akan kembali ke Indonesia untuk membuat filmnya yang lain.

Leila S.Chudori