PENDONGENG ULUNG BERNAMA AMITAV GHOSH


9999--GP--COVERAmitav Ghosh , sastrawan asal India yang menetap di New York City  menganggap Indonesia adalah tempat yang paling menarik untuk dipelajari. Atas undangan pemerintah Indonesia,  bulan November mendatang Ghosh akan berlayar ke Maluku dan Papua untuk riset karyanya. Delapan novel Ghosh sebelumnya, terutama The Glass Palace dan Trilogi Ibis dianggap sebagai novel sejarah yang mengasyikkan hingga Ghosh disebut oleh sastrawan chitra Banerjee Divakaruni sebagai ‘master of storyteller.
Berikut adalah diskusi tentang novel-novelnya dan wawancara Leila S.Chudori dari Tempo dengan Amitav Ghosh di New York City.
***
Rajkumar.

Hanya Rajkumar, si kecil berusia 11 tahun yang paham apa arti bunyi gelegar itu.  Sebuah bunyi yang terkirim dari seberang dataran di sepanjang sungai Irawadi  dekat sebuah benteng di Mandalay. Tak ada orang-orang  di sekitar kedai itu yang mengenali bunyi dentuman ini kecuali Rajkumar yang melibas semua dengung spekulasi dan dengan lantang menyatakan bahwa itu adalah “bunyi gelegar meriam,” kata si bocah India itu dalam bahasa Burma yang lancar.

Bunyi dentuman ini adalah pertanda pertama masuknya Inggris ke dalam Burma.

             Inilah cara Amitav Ghosh membuka novel  The Glass Palace itu; sebuah novel sepanjang 486 halaman yang terbit pada tahun 2000 yang menggegerkan bukan hanya karena sikap anti-kolonialisme yang dilontarkan melalui tokoh-tokohnya, tetapi  seperti dikatakan sastrawan Chitra Banerjee Divakaruni, Ghosh adalah “seorang pendongeng ulung”. A master of storyteller. Novel ini semakin dihebohkan karena Ghosh menarik kembali novel The Glass Palace dari kompetisi penghargaan Commonwealth Writer’s Prize. Penerbitnya semula sudah mengikutsertakan novel tersebut dan sudah dianggap sebagai calon besar, namun Ghosh tak setuju dengan mandat penghargaan itu dan segera menarik novelnya dari kompetisi  tersebut. ”Penghargaan ini adalah hadiah dari kerajaan Inggris untuk penulis berkulit berwarna,” dan “ini adalah perayaan kekuasaan (Inggris),” katanya kepada Tempo dalam sebuah wawancara (Baca: “Saya Selalu Berusaha Menulis dengan Jujur.”).

            Lahir di Calcutta, India 11 Juli 60 tahun lalu dari sebuah keluarga Bengali Hindu, Ghosh sudah menjadi wartawan sejak remaja ketika menempuh pendidikan The Doon School, almamater penulis India terkemuka Vikram Seth dan Ram Guha. Setelah menyelesaikan sarjana di St Stephen College Delhi Unverity, dan Delhi School of Economivs, Ghosh melanjutkan pendidikan sosial antropologi di Oxford University. Pekerjaannya pertama adalah sebagai wartawan harian The Indian Express di New Delhi.

            Mungkin juga latar belakang antropologi itu yang menyebabkan karya-karya Ghosh banyak yang tak saja melibatkan sejarah tetapi juga pendekatan antropologis. Ghosh mengaku  bahwa cikal bakal ide novel The Glass Palace oleh ayahnya jauh sebelum Amitav lahir. “ Saya berhutang pada ayah saya Letnan Kolonel Shailendra Chandra Ghosh. Beliau perwira yang ikut berperang sebagai bagian dari unit British –Indian Army,” demikian Ghosh menulis Catatan Penulis pada bagian akhir novel ini. Dia mengakui bahwa setelah kepergian Ayahnya dia menyadari betapa novelnya ini sangat dipengaruhi oleh berbagai pengalaman  dan refleksi ayahnya tentang peran orang India dalam peperangan.

 Tentu saja , selain pengalaman Ayahnya, Ghosh tetap melakukan riset selama lima tahun, membaca ratusan buku, memoar, artikel, dokumen sejarah baik yang sudah diterbitkan maupun yang tersimpan, mewawancarai begitu banyak narasumber di India, Malaysia, Myanmar dan Thailand. Menurut Ghosh seandainya Ayahnya membaca novelnya, pasti dia tak akan mengenal bibit yang pernah ditanam di kepala anaknya itu, karena “kenangan yang ditanamkan pada sata sudah berubah dan hanya terseilip di antara suasana dan tekstur cerita,” demikian kata Ghosh.

9999--SEA--COVER

            The Glass Palace adalah salah satu karya Ghosh yang impresif karena cerita itu mengambil setting Burma, India dan Malaya dalam rentang waktu 115 tahun yang diceritakan dengan detil yang luar biasa teliti. Dimulai dari sepak terjang si kecil Rajkumar Raha, anak yatim piatu India yang lincah dan dengan segera menjadi pekerja serabutan di warung Ma Cho, seorang perempuan yang setiap malam diintipnya  dengan penuh birahi. Percintaan Ma Cho dengan lelaki Inggris Saya John mau tak mau membuat Rajkumar menganggap Saya John sebagai substitusi Ayahnya. Dari Saya John, Raj menyerap berbagai pengetahuan, dan itulah sebabnya si kecil Rajkumar tahu betul bahwa bunyi yang menggelegar di seberang sungai adalah  dentuman meriam pasukan Inggris yang akan menduduki Burma. Saat tentara Inggris—yang sebagian besar terdiri dari orang India—masuk ke  Burma, situasi yang kacau dan terjadi penjarahan di istana Raja Thebaw, saat itulah Rajkumar bertemu dengan seorang dayang pengasuh para puteri Raja bernama Dolly.

            Tetapi tentu saja ini bukan hanya kisah cinta Rajkumar kecil yang di masa dewasa akan bertemu kembali dengan Dolly dan mengawininya. Lebih jauh lagi, Amitav  Ghosh dengan cerdas menceritakan tokoh nyata Raja Thebaw, raja terakhir Burma dan permaisurinya Ratu Supalayat dan ketiga puterinya yang terusir dari istananya dan harus hidup sebagai eksil di Ratnagiri, India. Meski ini tokoh sejarah, Ghosh mampu menceburkan mereka bersatu dengan tokoh-tokoh fiktifnya: Dolly, Rajkumar, Uma dan semua orang di sekeliling mereka. Ghosh mengaku membaca banyak tentang kepribadian raja dan ratu yang “sebetulnya sosok-sosok yang sudah lama dilupakan,” dan mencoba menciptakan dialog dan sosok Raja dan Ratu berdasarkan buku sejarah itu.

            Ratu Supalayat  dalam sejarah dikenal sebagai salah satu dalang pembunuhan masal terhadap para keluarga  raja yang dianggap  bisa mengancam posisinya atau posisi suaminya sebagai raja. Ghosh menggambarkan Supalayat yang dingin dan ditakuti itu dengan diksi yang luar biasa hingga pembaca bisa ikut gemetar setiap kali membaca adegan kekejian sang Ratu.

            Pada bab-bab kerajaan ini, Ghosh nyaris menciptakan sebuah dunia dongeng yang fantastis. Si gembel yang jatuh cinta pada perempuan cantik dayang istana. Dan orang-orang istana yang keji dan penuh pemberontakan para puteri muda.

            Tentu saja dia tak berhenti pada kisah cinta Rajkumar dan Dolly. Selanjutnya barulah kita menyadari, Ghosh akan menarik kita terus menyusuri kisah anak, cucu hingga cicit pasangan ini serta keluarga Uma –sahabat Dolly. Rajkumar di masa dewasa adalah seorang pengusaha karet dan kayu yang sukses dan kaya raya yang menjadi  eksploitatif seperti orang Inggris  terhadap orang warga lokal India atau Burma.

            Pada saat para tokoh sudah memasuki masa modern, Ghosh mulai mempercepat ritme tulisan. Dia tetap mementingkan detil deskrpsi  yang berkepanjangan. Ghosh bisa saja dengan asyiknya menulis beberapa halaman tentang bagaimana sebuah kamera bisa merekam sebuah gambar karena tokohnya, Dinu –putera Raj dan Dolly—adalah seorang fotografer profesional. Sementara di bagian lain, Ghosh bisa saja menuliskan kematian atau perkawinan salah satu tokohnya hanya dalam dua kalimat yang datar dan dingin.

                        Pada paruh kedua novel, kita sementara harus meninggalkan kisah Rajkumar dan Dolly karena Ghosh menceburkan pembacanya pada kisah generasi berikutnya. Pada bagian inilah Ghosh mulai memasukkan debat penting tentang identitas tokoh-tokohnya tentang mereka yang dijajah dan penjajah. Tokoh Arjun, keponakan Uma , bergabung  menjadi bagian dari militer India yang artinya dia adalah alat kerajaan Inggris. Posisi ini tentu tak nyaman karena Uma, sang bibik, adalah seorang aktivis kemerdekaan India.

Arjun mulai mempertimbangkan identitasnya sebagai orang India ketika Jepang masuk.Dia  terlibat perdebatan yang panas dengan atasannya dan mengaku ia tak akan lagi ikut membela Inggris, karena  untuk ratusan tahun Inggris menjajah begitu banyak negara, termasuk India. Sang atasan dengan keras mempertanyakan apakah Arjun menyadari bahwa dia bukan saja mengkhianati kerajaan Inggris, tapi juga membela fasisme Jepang. Yang menarik, melalui  tokoh Arjun, Ghosh juga seperti memberikan pernyataan lantang bagaimana bahasa Inggris bagi orang India telah memenjarakan dan memperlemah kesadaran perlawanan.

Dengan mulus , Ghosh mengembalikan focus pada peran utama novel ini: Rajkumar yang semakin tua menjadi seperti benda yang anakronistik di tengah keluarga dan kawan-kawannya yang progresif. Ketika Raj memperlakukan perang sebagai sumber keuntungan, Dolly tak nyaman dengan moralitas sang suami. Namun Dolly adalah tipe perempuan yang melakukan protes dalam diam dan perlahan menjauhi dan meninggalkan suaminya tanpa pertarungan konfrontatif. Sedangkan Uma, sahabat  Dolly, bagi saya hampir seperti ‘juru bicara’ Amitav Ghosh yang bukan hanya sekedar mempertanyakan posisi orang India –yang dijajah dan digunakan Inggris untuk menindas warga India dan Burma—tetapi  juga berani memutuskan hidupnya untuk mandiri.

9999--RIVER--COVER

Perdebatan panas antara Uma dengan Rajkumar adalah salah satu perdebatan menarik dari seluruh novel. Uma adalah sahabat Dolly, dan karena Uma mengetahui Rajkumar bukanlah seorang suami yang setia dan lurus, maka kemarahan Uma ada subtexts. “  “Rajkumar,…..orang sepertimu yang bertanggungjawab atas tragedi ini. Pernahkah kau pikirkan konsekuensi memasukkan orang ke sini? Apa yang kau lakukan justru jauh lebih buruk daripada penjajah Eropa.”

Kemarahan yang menancap seperti pisau dengan tusukan karena Uma gusar dengan kejahatan seksual yang dilakukan Raj pada perempuan lokal, sekaligus dia sangat marah dengan posisi Raj yang tak peduli dengan penjajahan dan imperialism sepanjang itu menguntungkan bisnisnya.

Rajkumar bertahan bahwa orang-orang India yang mendukung kerajaan Inggris, termasuk para tentara, adalah orang-orang yang  “ bukan hanya melindungi Kerajaan inggris, tapi juga orang-orang seperti aku dan Dolly.” Pertarungan ide dan identitas ini adalah salah satu tema yang secara konsisten dipertarungkan dalam novel ini. Dan inilah salah satu keistimewaan Ghosh sebagai seorang pendongeng.

            Tentu saja ada hal-hal yang sering dipersoalkan kritikus, misalnya kecenderungan Ghosh untuk memberikan detil deskripsi yang tak selalu penting kecuali untuk estetika. Misalnya, Ghosh ingin menyampaikan keterangan waktu pernikahan Manju dan Neel, Ghosh menulis dengan rinci: Manju and Neel had been married not quite three months when the British Prime Minister, Neville Chamberlain, declared war on Germany on behaf of Britain and her Empire. With the start of the war,  an Air Raid Precautions scheme was prepared for Rangoon.”

Dekripsi yang sungguh penuh sesak  ini bisa menenggelamkan kebutuhan pembaca untuk memahami situasi batin  tokoh-tokohnya. Sebagai pembaca fiksi tentu kita  merindukan kompleksitas psikologi tokoh-tokohnya yang mengalami kehilangan dan pengkhianatan. Dan tentu saja Gosh juga piawai menyajikan bagian itu.

Salah satu bagian menarik adalah percintaan Dinu dan Allison yang berlangsung sangat halus, lambat dan tertahan lebih karena karakter Dinu yang pemalu, minim kata dan hanya tentram berbincang di balik kamera. Justru hubungan antara kedua kawan yang sebetulnya saling tertarik tapi tersendat-sendat –entah karena  gangguan Arjun atau perbedaan temperamen—malah memperlihatkan keunggulan Ghosh dalam menciptakan suasana yang mengharukan. Apalagi, seperti halnya novel-novel Inggris abad 19, berbagai tokoh di dalam novel ini meninggal, maka lengkapkan kesedihan pembaca yang sudah terlanjur mencintai tokoh-tokoh yang diciptakan dan dibangun oleh Ghosh dengan penuh rawatan dan kasih itu.

            Perkara pengaruh novel abad 19 Inggris, Ghosh mengakui bahwa dia memang menyukai novel-novel periode tersebut, terutama  ‘Buddenbrooks’ karya Thomas Mann.

Bagaimanapun pengaruh novelis abad 19 –berbagai kritikus juga menganggap dia dipengaruhi Leo Tolstoy dan Charles Dickens, Ghosh juga paham betapa pentingnya untuk bergurau. Justru pada babak-babak akhir , Ghosh mempersembahkan adegan lucu antara Uma dan Rajkumar yang sudah sepuh yang tertangkap basah di tempat tidur bersama dan gelagapan mencari-cari  gigi palsu mereka itu. Ini memang adegan yang menggelikan dan hampir mendekati sebuah cipratan komedi; sebuah jeda setelah pembaca melalui 115 tahun yang penuh dengan peperangan dan pelbagai konsekuensinya pada tokoh-tokohnya.

      Di dalam wawancara dengan Tempo, Ghosh mengakui dia menyukai kapal. “Ships are nice,” katanya dengan penuh semangat karena berencana akan berlayar menuju Maluku dan Papua dengan kapal Pelni.  Trilogi Ibis yang terdiri dari Sea of Poppies (2008), River of Smoke (2011) dan Flood of Fire (2015) adalah sebuah saga yang kaya petualangan di Samudera India dengan menjelang Perang Opium.  Sea of Poppies, novel pertama dari trilogi Ibis, berkisah tentang tiga tokoh yang berbeda yang bertemu di atas kapal Ibis: Deeti, seorang perempuan desa bersuami seorang cacat yang bekerja di pabrik  opium.  Sejak awal dikisahkan Deeti dan Hukam berputerikan satu orang, tetapi belakangan pembaca akan diberitahu mengapa akhirnya Deeti dengan Kalua, seorang lelaki dari kasta yang lebih rendah harus lari menyelamatkan diri dari keluarga suaminya.

9999--FLOOD--COVER

      Bertemu dengan dua tokoh lain yang masing-masing menyimpan problem, seorang anak budak dan seorang anak dari ahli Botani Prancis, kapal Ibis memasuki Calcutta  1838 yang riuh rendah, penuh warna dan pelbagai aroma sekaligus berbagai adegan kericuhan, pengadilan, cinta yang terlarang dan perkelahian antar awal kapal. Tak heran jika The Observer menyebut bahwa novel ini penuh dengan adegan laga gaya Alexander Dumas, tetapi juga terasa sentuhan Tolstoy dan Charles Dickens.

            Novel yang berhasil meraih penghargaan antara lain lain  British Book Design and Production Award,  The Indiaplaza Golden Quill Award  untuk novel terbaik  pada tahun 2009 ini juga berhasil masuk ke dalam shortlist penghargaan Man Booker Prize pada  tahun 2008 .

Bulan November tahun ini, atas undangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Amitav Ghosh dan penulis Ian Buruma akan melakukan riset di Indonesia sebagai bagian dari program yang baru dimulai tahun ini. “Ian Buruma memilih untuk menulis tentang Aceh dan Amitav Ghoash memilih Maluku dan Papua, demikian Restu Gunawan  dari Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Ghosh mengaku sangat kepingin melakukan perjalanan di atas kapal Pelni dan meriset untuk tulisannya tentang Indonesia. “Dari semua tempat yang pernah saya kunjungi di dunia, Indonesia adalah tempat yang paling menarik untuk dikunjungi,” katanya dengan mata berbinar-binar sambil mengucapkan betapa dia sangat terkesan dengan Flores yang dikunjunginya dua tahun lalu.

            Mungkin suatu hari kita akan membaca sebuah novel dengan latar belakang Indonesia dengan lautannya yang biru dan pulau-pulau yang akan dikunjungi Ghosh.

Leila S.Chudori (New York City)

9999--AMITAV1

Wawancara Amitav Ghosh:

“Saya Selalu Berusaha  Menulis dengan Jujur..”

The Alqonquin Hotel yang terletak di 59 West 44th, di tengah Manhattan, New York dikenal sebagai sebuah hotel yang identik dengan sejarah sastra. Di sanalah  Tempo berjanji bertemu dengan sastrawan India Amitav Ghosh yang sudah menetap di New York bersama isterinya, sastrawan  Deborah Baker pada sebuah petang di penghujung April lalu.  Ghosh membawa beberapa buku karyanya yang sudah ditandatangani, antara lain The Hungry Tide dan Sea of Poppies dan isterinya, eseis Deborah Baker juga membawa satu karyanya The Convert.

“Tahukah Anda, ini tempat berkumpulnya para sastrawan di masa lalu?” kata Amitav sambil memesankan minum.

Amitav sedikit memberikan sejarah hotel yang didirikan pada tahun 1902 ,Ghosh bercerita bahwa hotel itu biasanya tempat berkumpulnya beberapa sastrawan terkemuka dan para pendiri majalah the New Yorker antara lain Franklin P. Adams, Robert Benchley, Heywood Broun, Marc Connelly, Jane Grant, Ruth Hale, George S. Kaufman, Neysa McMein, Dorothy Parker, Harold Ross, Robert E. Sherwood and Alexander Woollcott. Kelompok ini menamakan dirinya  Algonquin Round Table, karena setiap hari mereka akan mengadakan diskusi sembari menikmati makan siang.

Sastrawan yang telah menghasilkan delapan novel dan beberapa enam buku esei ini di Indonesia dikenal untuk karyanya The Glass Palace (2000) yang diterjemahkan menjadi Istana Kaca yang diterbitkan kelompok penerbit Mizan dan juga sudah diterjemahkan ke dalam 24 bahasa di dunia. Sedangkan dunia pembaca sastra umumnya menyukai trilogi Ibis, demikian sebutan bagi tiga bukunya yang berjudul Sea of Poppies (2008), River of Smoke (2011) dan Floor of Fire (2015)  tentang perang Opium di abad 19. Sea of Poppies berhasil menjadi nominasi shortlist Man  Booker Prize pada tahun 2008.

Berikut adalah petikan wawancara Amitav Ghosh  bersama Leila S.Chudori tentang novel The Glass Palace yang mencakup kisah selama dua abad, tiga generasi dan melampaui tiga negara Asia: 

  • Beberapa kritikus sastra menyebut karya-karya Anda sebagai novel sejarah, apakah Anda setuju dengan terminologi ini? Atau seperti sastrawan Julian Barnes yang menyatakan semua novel adalah novel sejarah?

Saya setuju bahwa pada dasarnya semua novel adalah novel sejarah. Itu adalah sebuah terminologi umum dalam arti, ketika kita menulis (dalam bahasa Inggris) selalu menggunakan past tense, tentang sesuatu yang sudah terjadi. Namun, saya tak terlalu mempersoalkan bagaimana orang membuat kategori untuk karya-karya saya.

  • Anda pernah menyatakan bahwa perbedaan antara sejarah dan fiksi berlatar belakang sejarah adalah karena karya fiksi tak harus memandang sejarah dari satu sudut pandang. Mengapa?

Benar. Itulah daya tarik fiksi, kita bisa menulis dari berbagai sudut pandang. Saya sangat hati-hati saat menggunakan sejarah sebagai latar-belakang. Untuk saya, dalam penciptaan novel, riset adalah bagian paling asyik dan paling mudah karena kita akan bertemu dengan berbagai dokumen-dokumen atau hal baru. Dari dokumen inilah lantas tercipta tokoh dan cerita. Meski saya mencoba setia pada peristiwa sejarah, tak pernah sedetikpun saya mencoba menjadi seorang sejarahwan, karena ini adalah karya fiksi dan saya adalah seorang penulis.

  • Novel “The Glass Palace” adalah karya yang luar biasa. Apa yang membuat anda terinspirasi menulis novel yang melibatkan riset yang panjang dan dalam ini?

Saya memiliki hubungan historis yang panjang dengan Burma karena Ayah saya dan Paman saya pernah ditempatkan di sana untuk waktu yang lama. Saya sering mendengar berbagai cerita dan sudah lama saya selalu ingin menulis cerita tentang Burma. Di masa lalu, untuk mendapatkan visa masuk ke Burma sungguh sulit. Akhirnya saya berhasil mengunjungi Burma pertama kali tahun 1968. Dan belakangan ketika akhirnya saya bertemu dengan Aung San Su Kyi, saya ingat bagaimana mereka menebar polisi rahasia di mana-mana. Untuk melakukan riset novel ini, saya mengunjungi Burma dua kali. Riset dan penulisan itu seluruhnya lima tahun. Saya tak memisahkan proses riset dan penulisan. Saat menulis, saya tetap masih melakukan riset.

  • Ada beberapa tokoh sejarah nyata yang Anda jadikan tokoh dalam novel The Glass Palace, seperti Raja Thebaw, Ratu Supalayat dan ketiga puterinya berperan cukup besar dan Anda pertemukan dengan tokoh utama fiktif.  Bagaimana caranya Anda menciptakan dialog dan plot untuk mereka?

Sebagian adalah hasil imajinasi saya, sedangkan sebagian lain adalah hasil riset dari surat-surat, literature dan monograf tentang mereka. Harus saya akui, menulis tentang keluarga Raja bukan hal yang mudah.

Di masa muda, saya pernah membaca novel “August, 1914” karya Aleksandr Solzhenitsyn yang bercerita tentang Perang Dunia I. Dalam novel ini, Aleksandr Solzhenitsyn menulis tentang apa yang dipikirkan Czar sepanjang 100 halaman. Novel inilah yang membuat saya jadi berani untuk menulis sebuah novel yang melibatkan tokoh sejarah. Bagi saya, jika Solzhenitsyn bisa menulis tentang pemikiran Czar sampai 100 halaman panjangnya, tentu saja juga bisa menulis tentang Raja Burma.

  • Bagaimana proses penciptaan tokoh utama seperti Rajkumar, Dolly dan Uma dalam “The Glass Palace” seperti  Deeti dalam “Sea of Poppies”?

Tidak ada proses penciptaan yang tunggal. Kadang-kadang seorang tokoh dimulai dari sebuah imaji atau wajah seseorang pada foto tokoh sejarah. Kadang-kadang tokoh saya bisa bermula dari salah satu bahan riset yang saya baca. Atau terkadang pula, tokoh fiktif itu muncul setelah saya mewawancarai orang.

  • Bagaimana reaksi para keturunan Raja Thebaw dan Permaisuri? Dalam novel Anda—dan juga dalam sejarah

Mereka senang sekali. Memang benar di dalam novel  The Glass Palace saya menulis Ratu Supalayat sebagai seorang yang keji, karena memag demikian yang tertulis dalam sejarah, berbagai literature dan monograf. Dia memang sangat kejam. Sebetulnya yang perlu diingat adalah sebetulnya Raja Thebaw dan keluarganya adalah bagian sejarah yang terlupakan. Saya selalu berusaha  menulis dengan jujur sekaligus bersimpati saat saya menulis tentang mereka karena mereka tersingkir dari tanah airnya.  Karena itu, para keturunannya tidak ada yang marah atau tersinggung dengan novel saya. Saya bahkan menerima Myanmar National Literature Award.

  • Nampaknya tokoh Uma adalah perwakilan suara anti kolonialisme masa kini. Apakah Uma adalah perwakilan suara Anda?

Pandangan Uma , sikap anti-kolonialisme adalah pandangan yang sangat umum bagi lelaki dan perempuan India saat itu. Ini bukan hanya pandangan kelas menengah saja, tetapi juga kelas bawah.

  • The Glass Palace semula bercerita dengan focus pada Rajkumar, Saya John , keluarga Raja Burma dan sang dayang Dolly; kemudian belakangan focus berpindah pada Uma dan para keponakannya dan terjadi pernikahan antar generasi kedua. Ini mengingatkan saya pada gaya penulisan novel Victoria abad 19 Inggris. Apakah Anda terpengaruh oleh sastrawan abad 19, katakanlah Thomas Hardy atau Charles Dickens atau nama-nama lain pada gemerasi itu?

Tentu saja saya sudah membaca karya-karya Hardy dan Dickens, tetapi mungkin saya merasa pengaruh langsung dari Thomas Mann, terutama karyanya Buddenbrooks. Saya juga banyak pengaruh dari karya Herman Melville, Moby Dick

  • Mengapa anda menarik kembali novel The Glass Palace untuk bertanding dalam The Commonwealth Prize?

Novel ini bertema bagaimana kekaisaran Inggris Raya menjajah dan begitu banyak korban di India dan Burma. Ketika saya sedang proses menulis, saya bertemu begitu banyak orang yang menolak kekuasaan kerajaan Britania Raya. Saya mewawancarai mereka, saya menetap bersama mereka. Sementara, The Commonwealth Prize adalah sebuah penghargaan yang merayakan kebesaran kerajaan Britania Raya. Saya merasa jika saya memasukkan novel ini ke dalam lomba ini, akan terasa ironis. Jadi saya menarik kembali, karena penerbit saya sudah terlanjur mengikutsertakan. Mandat penghargaan itu selain mempromosikan bahasa Inggris, penghargaan The Commonwealth Prize ini hanya diberikan kepada bekas jajahan Inggris saja. Penulis asal Inggris tidak masuk dalam kategori ini. Jadi, dengan kata lain, penghargaan ini adalah hadiah dari kerajaan untuk penulis berkulit berwarna.

Berbeda dengan Prince Claus Award dari Belanda yang bertujuan memberikan dukungan kepada kesenian dari negara berkembang dam karya-arya yang dinilai itu bisa dalam bahasa asli, sedangkan The Commonwealth Prize harus dalam bahasa Inggris. Tentu Man Booker Prize juga pernah dipersoalkan karena penghargaan itu hanya untuk karya yang ditulis dalam bahasa Inggris, tapi sekarang kan mereka sudah menciptakan Man Booker International Prize yang menilai karya terjemahan ke dalam bahasa Inggris, meski memang harus dari penerbit Inggris. Memang penghargaan-penghargaan ini belum sempurna, tetapi paling tidak mereka mencoba memperbaiki dari tahun ke tahun.

  • Anda pernah menyebut bahwa sastra India modern mulai  bergetar sejak karya sastrawan V.S Naipaul lahir, mengapa?

Di masa-masa awal kepenulisan saya, V.S Naipaul adalah sosok sastra yang penting untuk saya, bukan hanya dia memenangkan Nobel Prize sejak dulu, tetapi juga karena karyanya. Tapi tak berarti saya menyukai semua karya Naipaul. Buku eseinya tentang Islam itu perlu dikritik. Tapi novel-novelnya sangat bagus, kalimatnya sangat berpengaruh.

  • Bisa ceritakan rencana riset dan penulisan di Indonesia bulan November nanti?

Saya sudah beberapa kali ke Indonesia. Terakhir saya ke Indonesia dua tahun lalu untuk ke Ubud, lalu ke Flores. Oh saya sangat sangat mencintai Flores. Saya rasa, dari semua tempat yang pernah saya kunjungi di dunia, Indonesia adalah tempat yang paling menarik untuk dikunjungi.

Bulan November nanti, pemerintah Indonesia memulai sebuah program penulis internasional di mana mereka mengundang penulis asing untuk menulis tentang Indonesia. Saya memilih untuk pergi ke Maluku dan Irian Jaya dengan menggunakan kapal. Saya menyukai kapal laut.

Saat ini, jika saya menulis tentang Indonesia, saya akan menulis artikel dulu. Saya selalu menikmati kunjungan saya ke sebuah negeri dan mempelajari kebudayaannya dan saya sangat tak sabar untuk menikmati perjalanan ini.