SASTRA INDONESIA DI TIGA KOTA AUSTRALIA
Tim Penerbit Yayasan Lontar melakukan perjalanan ke Hobart, Melbourne dan Perth untuk memperkenalkan buku-buku terjemahan sastra Indonesia. Pemanasan sebelum menuju Frankfurt Bookfair 2015.
***
Di kaki gunung Wellington, sebuah kota bernama Hobart memperkenalkan sastra Indonesia. Di pulau Tasmania, negara bagian di selatan , Direktur Yayasan Lontar dan penerjemah John McGlynn membawa 25 buah buku sastra Indonesia yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sembari menggelar presentasi Why Translation Matters (Mengapa Penerjemahan itu Penting).
“Sejak dulu penerjemahan adalah alat komunikasi yang penting untuk menyebarkan gagasan,” kata John McGlynn bulan Juli lalu di hadapan ratusan peserta ICOC (Indonesia Council Open Conference) , sebuah konferensi dua tahunan yang diselenggarakan dan dihadiri kalangan akademis Australia peneliti Indonesia.
McGlynn, yang menetap di Indonesia sejak tahun 1970-an, mendirikan Yayasan Lontar bersama Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Subagio Sastrowardoyo 25 tahun silam sebagai lembaga non-profit yang bertujuan menerjemahkan karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Sejak itu Yayasan Lontar sudah menerbitkan puluhan novel, kumpulan puisi, antologi cerpen, naskah drama dan jurnal sastra berkala bernama Menagerie.
John menyampaikan tanpa penerjemahan maka mustahil terjadi pemahaman dan pelajaran sastra antar negara. John berhadapan dengan ratusan Indonesianis, antara lain nama-nama Indonesianis terkemuka seperti David T.Hill, Pamela Allen, Barbara Hatley, Greg Fealy, Adrian Vickers atau mereka yang sedikit lebih muda seperti Stephen Miller dan puluhan kandidat PHD yang tengah melakukan penelitian tentang Indonesia.
Inilah salah satu tujuan Yayasan Lontar memboyong setumpuk buku sastra itu — ke tiga kota di Australia– yang dinamakan Modern Indonesian Library. “Ini masih kelompok pertama dari berbagai karya sastra Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Nantinya akan disusul dengan karya-karya berikutnya hingga berjumlah lebih dari 100 buah buku,” kata John. Perjalanan promosi buku sastra yang dimulai dari Hobart ini bertujuan ingin mengangkat sastra Indonesia yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, katakanlah sebagai pemanasan “Road to Frankfurt Bookfair 2015” di mana Indonesia menjadi tamu kehormatan.
Untuk program ini, Pamela Allen, dosen dan peneliti studi Indonesia Universitas Tasmania mengkoordinasikan dukungan finansial dan fasilitas dari Australia-Indonesia Institute, University of Tasmania dan Murdoch University. “Sebagai seorang akademisi sastra sekaligus penerjemah, saya beranggapan sastra menyatakan kebenaran seperti halnya sejarah dan sains,” kata Pam dalam presentasinya.”Karena itu, penerjemahan adalah proses vital agar karya sastra bisa menembus batas negara,” kata Allen.
Sementara ini, ke 25 buku yang dibawa ke Australia dan dikemas menjadi satu seri itu terdiri dari novel klasik Sitti Nurbaya karya Marah Roesli yang diterjemahkan George Fowler; Belenggu oleh Armijn Pane yang diterjemahkan oleh John McGlynn menjadi Shackles; Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis yang diterjemahkan oleh Claire Holt dan John McGlynn menjadi Twilight in Jakarta; Para Priyayi ciptaan Umar Kayam yang diterjemahkan oleh Vladislav Zhukov menjadi Javanese Gentry hingga rangkaian fiksi dan antologi puisi sastrawan yang lebih muda seperti Dorothea Rosa Herliani dan Lily Yulianti Farid.
“Ke 25 buku ini yang sudah terbit lebih dahulu ini tidak menunjukkan bahwa mereka lebih penting daripada karya berikutnya yang sedang dan akan diterjemahkan,” kata John menjawab pertanyaan Vedi Hadiz, dosen dan peneliti Murdoch University, Perth yang mempertanyakan mengapa nama Chairil Anwar belum tercantum dalam daftar itu. John mengaku, tentu saja nama-nama sepert Charil Anwar, Rivai Apin atau yang lebih muda seperti Joko Pinurbo sudah masuk dalam daftar, “tetapi semua masih dalam proses. Ada soal izin, ada soal teknis, ada soal minim dana dan minim penerjemah, jadi 25 buku yang dibawa sekarang adalah yang sudah selesai,” kata John. Juga tentu saja karya sastrawan yang sudah mendunia seperti Pramoedya Ananta Toer sudah diterbitkan oleh penerbit besar internasional, sehingga untuk memasukkan ke dalam koleksi Modern Indonesian Library kelak harus melalui izin kerjasama yang panjang. “Sementara itu, kita sudah harus melakukan perjalanan ini karena program Frankfurt Bookfair akan berlangsung 1,5 tahun lagi,” kaya John.
Ketika ditanya tantangan terbesar seorang penerbit buku penerjemahan, John menyatakan bahwa yang paling sulit untuk menerbitkan karya sastrawan yang sudah wafat adalah kompleksitas izin. Undang-undang di Indonesia mengharuskan perolehan izin dari seluruh ahli waris. “Jadi kalau ahli warisnya ada delapan orang, maka izin harus diperoleh semua,” kata John menceritakan lika-liku perizinan dan penerjemahan.
John berterus terang bahwa daftar panjang karya sastra sesuai zamannya sudah dibuat, namun, karena penerjemahan membutuhkan biaya yang sangat besar –antara lain membayar penerjemah, ongkos penerbitan –maka perkenalan karya-karya Modern Indonesian Library dilakukan bertahap. “Saat ini, kami belum memiliki dana untuk merekrut penerjemah dengan imbalan profesional yang standar, maka Yayasan Lontar sangat berhutang pada para penerjemah yang bekerja hanya karena mereka jatuh cinta pada karya tersebut.” John berharap dengan dorongan Franfurt Bookfair maka penerjemahan karya sastra ke dalam bahasa Inggris akan dilakukan dengan profesional dan bukan hanya karena “labour of love”.
Selain diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, karya-karya sastra Indonesia perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman untuk acara sebesar Frankfurt Bookfair. Karena itulah, “selain kami harus mencari donator , seharusnya pemerintah Indonesia juga sudah bergerak dari sekarang mempersiapkan buku-buku yang akan dibawa ke sana,” kata John sambil menunjuk negara lain seperti Cina yang menjadi tamu kehormatan Frankfurt Bookfair tahun lalu langsung saja didukung pemerintahnya dan mengadakan persiapan penerjemahan tiga tahun sebelum acara Frankfurt Bookfair.
Sementara menanti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bergerak, tim Yayasan Lontar bekerja sama dengan berbagai universitas dan institusi di Australia ingin melakukan langkah awal karena, seperti dikatakan Pamela Allen, “penerjemahan sastra bukan hanya kunci utama untuk menguak kekayaan sastra Indonesia tetapi juga untuk mengungkap sejarah dan realita politik negara ini,” kata dosen Universitas Tasmania dan penerjemah novel Saman karya Ayu Utami yang diterbitkan Equinox itu.
Yang nampaknya tak disadari pemerintah—yang entah kapan akan menyelenggarakan persiapan sebagai tamu kehormatan Frankfurt Bookfair– adalah: penerjemahan karya sastra adalah pekerjaan yang makan waktu, ongkos dan tenaga. Jika pemerintah serius ingin menjadi tamu kehormatan dua tahun lagi, seharusnya sekarang sudah terdengar gerabak gerubuk kerjanya.
Menerjemahkan sebuah karya memerlukan penerjemah yang baik. Artinya pekerjaan itu itu bukan soal kemampuan memindahkan kata demi kata belaka. Tantangan penerjemahan dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris adalah karena ini sekaligus pekerjaan “menerjemahkan kebudayaan,” kata Harry Aveling, dosen dan peneliti Kebudayaan dan Linguistik Monash University, Melbourne yang dikenal sebagai generasi awal penerjemah sastra Indonesia dan Malaysia.
“Bahasa Indonesia, misalnya, tak membedakan gender untuk orang kedua tunggal; tak ada bentuk past tense dan future tense. Tetapi kompleksitas bahasa Indonesia ditentukan dari awalan, akhiran dan berbagai istilah unik,” kata Harry yang sudah menerjemahkan sekitar 50 karya Indonesia ke dalam bahasa Inggris, dari karya Rendra ,Iwan Simatupang hingga Dorothea Rosa Herliany.
Ucapan Harry Aveling senada dengan Pam Allen yang mengatakan bahwa tantangan terbesar penerjemahan adalah bagaimana membuat teks yang berbau ‘domestik’ atau faktor yang mengindikasikan sosio-kultural Indonesia—misalnya kata becak, saweran, kiai, abangan– menjadi sesuatu yang bisa dipahami oleh pembaca asing, terutama yang sama sekali tak pernah menyentuh atau mengenal Indonesia.
Ini bisa disaksikan bagaimana sambutan pengunjung The Tasmanian Writers’ Centre, sebuah pusat kesenian Hobart yang berlokasi tak jauh dari sungai Derwent, terhadap pembacaan cerita pendek Lily Yulianti Farid berjudul “The Kitchen” . Cerita pendek ini adalah bagian dari antologi Family Room karya Lily yang diterjemahkan John McGlynn yang berkisah tentang sebuah keluarga yang menggunakan dapur dan masakan sebagai bagian dari ekspresi problem keluarga,sosial dan politik . Sebelum membacakan cerita pendeknya, Lily menjelaskan secara ringkas plot cerita dan konteks yang akan ia bacakan.Tokoh Kalyla, sang protagonis adalah narator cerita ini yang berkisah dengan jenaka bagaimana ibunya dan Ruth, pengasuhnya adalah dua perempuan yang menjadi panutannya. Dapur, bukan hanya tempat mereka mengolah masakan, tetapi juga mengolah rasa dan emosi.
“You’re becoming an expert at making rubber bread,” Mother commented, describing in simple term Ruth’s reaction to her sadness and anger.
Lily membacakan dengan nada gerutu seorang Ibu. Pengunjung yang memenuhi ruangan kecil di The Tasmanian Writers’ Centre tertawa terkekeh-kekeh. Cerita The Kitchen bukan hanya lucu, tetapi juga sebuah berkisah kepedihan. Seperti yang dikatakan kritikus sastra Melani Budianta dalam pengantar antologi Lily “ini adalah lembaran sedih dalam sejarah Indonesia di mana sesama warga Ambon terlibat konflik di akhir taun 1990-an”.
“The bread and doughnut that Ruth produced in the kitchen while watching the horrible scenes of destruction in Ambon became the most pliable dough she had ever produced….”
Pengunjung Hobart kini terdiam. Tegang mendengarkan kalimat-kalimat yang dibacakan selanjutnya karena kini Lily bukan hanya berkisah soal “dapur”. Lily bercerita tentang seorang Ibu tunggal yang harus menghadapi budaya korupsi; budaya gossip yang keji karena pecahnya ikatan perkawinan dan lebih lagi persoalan kecamuk konflik di timur Indonesia; sesuatu yang selalu menjadi perhatian utama Lily yang dikenal sebagai penggagas Makassar International Writers Festival.
Seusai pembacaan, tepuk tangan menggemuruh. Chris Gallagher, Direktur The Tasmanian Writers’ Centre mengaku terpesona. “Meski saya sama sekali tak mengenal Indonesia, saya bisa menangkap betapa universalnya cerita ini,” katanya kepada Tempo.Gallagher menyatakan, karena mendengar cerita-cerita yang dibacakan malam itu, dia jadi tertarik ingin membaca karya sastra Indonesia lebih dalam lagi.
“Inilah yang saya maksud bahwa penerjemahan sastra Indonesia akan berhasil menyampaikan pengetahuan , meski pada tahap perkenalan, tentang keadaan sosial dan politik Indonesia kepada pembaca asing,” kata Pamela Allen dari Universitas Tasmania. Bagi Allen, tanpa penerjemahan, kekayaan dan keindahan karya ini hanya akan terkurung dan tidak bias dinikmati masyarakat dunia yang lebih luas.
Acara memperkenalkan sastra Indonesia di Hobart bisa dikatakan seperti sebuah acara intim yang asyik di sebuah kota pelabuhan dengan penduduk yang ramah dan menyenangkan.
***
JIKA Hobart di pulau Tasmania yang memang jauh dari Indonesia secara geografis itu belum terlalu mengenal Indonesia secara dekat, maka kota-kota seperti Melbourne, (juga Sydney dan Canberra) serta Perth adalah tempat masyarakat Indonesia dan para Indonesianis berkumpul.
John McGlynn menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang lebih dalam dan menukik saat memberikan presentasi di Murdoch University, Perth. Misalnya Helene Jaccomard, dosen bahasa Prancis dari University of Western Australia mempertanyakan apakah pilihan karya-karya yang diterjemahkan itu lebih mementingkan latar belakang “keIndonesiaan” daripada mutu sastra. Menurut John McGlynn, pertama-tama yang dinilai seorang penerjemah adalah mutu sastra. “It has to be a good story,” jawab John. Seperti Harry Aveling , John McGlynn mengaku sebagai penerjemah dia selalu memilih karya dengan tekanan pada estetika sastra.
Tetapi, menurut Harry Aveling, setelah faktor estetika, tetap saja penerbit asing akan mencari sesuatu yang ‘unik’ dari naskah tersebut. “Jika genrenya seperti karya-karya Iwan Simatupang yang sudah saya terjemahkan, ternyata sulit mendapatkan penerbit asing karena mereka menganggap genre novel seperti itu sudah banyak di negara Barat,” kata Avelling.
Karena itulah, selain soal mutu sastra, tanpa jatuh pada eksotisme, memang ada-hal yang berbau ‘lokal’ khas dari Indonesia yang akan menarik perhatian penerbit asing. Dalam hal ini Yayasan Lontar sebagai lembaga penerjemah bertahan pada mutu sastra sebagai pilihan utama dan faktor-faktor lain, seperti tema politik atau sosial-budaya, kemudian menjadi pendukung. John juga memberikan tantangan penyusunan Modern Indonesian Library ini, yang menurut dia adalah ciri khas industri penerbitan : “penerbit di mana-mana, termasuk di Indonesia, lebih terbuka kepada bentuk fiksi, khususnya novel. Mereka kurang semangat mengedarkan kumpulan puisi. Dari penyair terkenal saja tidak terlalu laku, apalagi karya penyair yang belum pernah mereka dengar.”
Tetapi John dan kelak tim kurasi untuk Frankfurt Bookfair 2015 tetap akan menyusun daftar karya sastra tanpa mengindahkan sisi komersial. Yang penting, seperti yang diutarakan John McGlynn, “kita melangkah saja dulu sekarang . Penerjemahan sudah harus dimulai. Jika kita melakukan menit terakhir, karya-karya itu akan diterjemahkan secara sembarangan dan tidak adil untuk para sastrawan Indonesia.”
Leila S.Chudori (Hobart, Melbourne, Perth)