Sastra sebagai Medium Politik*


Oleh : Rocky Gerung

Journalism is printing what someone else does not want printed. Everything else is public relations – George Orwell

Tetapi tak begitu di sini. Hari-hari ini justru segala yang diedarkan jurnalis adalah nyaris “public relations”. Yaitu promosi infografis kekuasaan. Suatu psikologi status quo mudah terbaca “between the lines” jurnalisme “jaman now”. Dalam paradigma “Orwellian politics”, itu adalah pengendalian opini publik: “Big brother is watching you!”  Jurnalisme menjadi ruang estetika kekuasaan. Rezim estetika mempercantik diri sendiri melalui peralatan “beauty case” jurnalisme: headline sebagai pemerah bibir dan editorial sebagai pelembab wajah. Pencitraan, begitu diistilahkan milenials.

Patriarki yang bersolek, dalam kritik feminisme, adalah teknik sublimasi kekuasaan melalui “public relations”. Demokrasi memang memungkinkan kekuasaan beroperasi pada dataran ideologis, yaitu dengan memanipulasi psikologi publik melalui apa yang disebut (dalam tradisi Althusserian) “Aparatus Ideologi Negara”.

Di dalam bahasa, ada jejak kekuasaan. Kekuasaan menyimpan ambisinya melalui manipulasi bahasa. Dengan cara itu kekuasaan memproduksi “public relations” untuk mengendalikan “public opinion”.  Demikianlah misalnya, bila penguasa gagal menghasilkan keadilan, ia akan berceramah tentang “keamanan nasional”. Semakin intensif upaya rezim mengutuhkan penampilannya melalui pengendalian bahasa, semakin retak kondisi internal yg sesungguhnya. “Infografis” misalnya, adalah bahasa yg seolah objektif-akademis, tapi intensinya adalah propaganda. Ada “info” yg dihilangkan dalam “grafis”.

Post-strukturalisme memahami bahasa sebagai upaya sia-sia mengejar makna. Selalu ada yg tak tertangkap. Memberi makna final pada bahasa, membuatmu kelelahan mempertahankannya. Bahasa selalu retak, supaya ia terus hidup. Pernah bahasa identik dengan kebenaran, dalam teologi dan ideologi, terutama. Tapi ongkos untuk mempertahankannya adalah kekejaman.

Dalam “Orwellian politics”, rejimentasi tentu tak harus diperlihatkan secara koersif. Kapasitas kekuasaan untuk mengendalikan isu publik dapat diselenggarakan melalui fasilitas-fasilitas kebudayaan: kurikulum sekolah, kearifan lokal, kode etik institusi, infografis, mitos, bahkan bahasa tubuh pejabat negara. Kompleks hegemoni inilah yang meninabobokkan masyarakat sipil, dengan akibat proyek Hak Asasi Manusia menjadi mangkrak.

Dalam kasus kita hari ini, bukan penanaman “kesadaran palsu” itu yang menghentikan “proyek habeas corpus” reformasi, melainkan pemalsuan kesadaran politik para aktivis masyarakat sipil yang kini justru mencari suaka di dalam kekuasaan. Dalil-dalil HAM yang pernah berkedudukan imperatif di awal reformasi, yang seharusnya menjadi pegangan para aktivis yang punya kesempatan berada di dalam kekuasaan, kini direlatifkan karena harus bertatap mata di meja rapat dengan para pelaku pelanggaran HAM di masa lalu.

Pragmatisme, atau bahkan oportunisme inilah yang menyingkirkan suara “subaltern” dari tata bahasa publik. Justru ketika kesempatan untuk menyelesaikan masalah HAM di masa lalu tersedia dalam klaim kemenangan “civility”, para aktivis itu malah memperlihatkan sikap “uncivil” dalam menanggapi tuntutan penyelesaian berbagai kasus HAM. Dari pemuka “public opinion”, mereka beralih menjadi petugas “public relations” penguasa.

II

Setiap Kamis, di depan Istana Presiden, suara “subaltern” menuntut konsekuensi dari reformasi: “habeas corpus!” Bawa pulang tubuh mereka, yang hilang. Mandat ini fundamental, bukan sekedar karena “ada yang belum pulang” (dan itu berarti kekerasan masih berlangsung -begitu definisi HAM), tetapi terutama demi memastikan bahwa kekerasan adalah penghinaan terhadap integritas tubuh. Tak boleh ada kekuasaan yang memaksakan keinginannya pada tubuh seseorang.  Batas etik dari politik adalah respek terhadap integritas tubuh. Penghormatannya menjadi tanggung jawab negara.

Setiap Kamis, di bawah tudung payung hitam, bertahun-tahun, dengan keberanian yang tak pernah padam, dengan harapan yang terus menyala, suara korban tetap menyeru, dari dasar laut sekalipun. Keadilan adalah hakekat politik. Kemakmuran dapat dikuantifikasi dalam berbagai index. Tetapi keadilan adalah pengalaman eksistensial yang melampui semua bujuk-rayu material. Karena itu, suara keadilan tak mungkin didiamkan selamanya.    Adakah jurnalis mendengarnya? Lalu menyuarakan ulang, lebih keras, sehingga bergema di ruang sidang Kabinet?

Pendangkalan “public opinion” telah berlangsung sejak Pemilu 2014, yaitu ketika jurnalisme terbelah  dalam perang opini dua kandidat: seolah-olah yang satu lebih etis dari yang lain. Hanya seolah-olah, karena sesungguhnya yang terjadi ketika itu bukan konfrontasi etik, melainkan sekedar pragmatik, karena di belakang panggung duanya-duanya ditopang oleh sumber daya yang sama, sisa Orde Baru.

Jurnalisme yang terperangkap dalam “konfrontasi seolah-olah” itu, menyebabkan diskursus tentang HAM tak dapat didorong maksimal karena pada akhirnya ia akan terarah pada komponen-komponen strategis yang kini menjadi tumpuan stabilitas rejim. Jurnalisme menjadi gagap dan gugup

karena ia belum mengevaluasi kesalahan posisinya dalam konfrontasi di 2014 itu.

Psikologi inilah yang menerangkan kondisi “public opinion” kita hari-hari ini: tak mampu mendorong percakapan HAM. Dalam survey opini publik, isu HAM tak masuk dalam “top-of-mind” para pemilih. Artinya,  jurnalisme gagal menyelenggarakan tugas etisnya: mengaktifkan dignitas.

Kritik ini tegas, karena jurnalisme adalah satu-satunya institusi demokrasi yang mengatasnamakan “public opinion”, tanpa perlu meminta izin lebih dahulu. Jadi, eksklusivitas itu seharusnya diimbangi dengan prestasi etis jurnalisme untuk mendahulukan dignitas, dan bukan menjadi pengedar “public relations” penguasa.

Dalam konteks itu, kekerasan di masa lalu akan cuma tersimpan dalam “politics of memory” bila jurnalisme tak membawanya ke dalam “politics of hope”, bahwa keadilan harus dipulihkan, demi dignitas manusia.

Laut Bercerita’ adalah interogasi terhadap “politics of memory” demi mengapungkan kembali “politics of hope”, yang tenggelam dalam hiruk-pikuk headline jurnalis “jaman now”. Interogasi adalah metode mengingat, bukan memeras pengakuan dengan cara kekerasan.

Pada tema ini, sastra mengambil alih tugas jurnalisme, yaitu menghidupkan “ruang publik” sebagai ruang -dalam istilah Frankfurt School — “ideal speech situation”: tak boleh ada koersi fisik maupun psikis dalam “public relations”.

Sastra mengembalikan konsep ini dalam tugas demokratisnya: menyimpan “politics of memory” dan membawanya ke dalam percakapan “politics of hope”. Membuka ruang publik melalui aktivitas sastra, berarti mengaktifkan lierasi pada kondisi hermeneutik: peluang reinterpretasi akan menghidupkan argumentasi. Dengan itu demokrasi bertumbuh. Sastra bukan “beauty case” kekuasaan, bukan pengatur citra kekuasaan, melainkan  medium untuk mengaktifkan masyarakat yang argumetatif.

Menjadikan sastra sebagai medium untuk mengembalikan “ruang publik”, berarti menghubungkan “fantasi” ke dalam “imajinasi”. Fantasi adalah ruang di masa lalu yang kita bawa ke masa kini demi mengulang peristiwa. Sedangkan imajinasi adalah ruang di masa depan yang kita panggil ke masa kini untuk menghidupkan fantasi. Sastra mengolah bahan

sejarah, dan memberi dia dimensi fantasi supaya ingatan tak berhenti pada kuantifikasi data, dan tak dipaksa tunduk pada rezim waktu. Dengan cara ini narasi menjadi produktif, kontroversi dihidupkan, kritik diundang masuk.

Pada aspek imajinasi, sastra meloloskan kebebasan untuk menemui pemaknaan baru. Imajinasi bekerja melelehkan ontologi politik, sehingga sudut pandang tak terhalang doktrin. Energi eksistensial  inilah yang memberi tenaga sehingga akhirnya  “laut bercerita”.

Pada momen eksistensial ini, sastra menghidupkan kembali lembaga “public opinion”, yaitu keinginantahu untuk memperoleh hak atas informasi, dan hak untuk menikmati gairah. Dua hak inilah yang sesungguhnya menghidupkan demokrasi.

Dalam konteks ini, harus didefinisikan ulang bahwa “public opinion” bukan kumpulan pendapat, semacam hasil kontrak sosial Rousseau, yang berkedudukan final sebagai “general will”, melainkan lebih sebagai kondisi hermeneutik untuk memungkinkan ruang publik menjamin “hasrat hidup” menemui -dalam neologism Heidegger-  “the ontology of the not-yet”. Harapan tumbuh karena ada “yang belum”.  Hak Asasi Manusia bekerja dalam horison harapan, justru karena kita pernah berkali-kali terjebak dalam “sisi gelap psikologi manusia”, yaitu penyiksaan.

Tubuh adalah hasrat hidup. Ia berorientasi dalam semua kemungkinan pengalaman. Dari pengalamannya itu, tubuh menyusun etika publik, dan mengevaluasinya dalam percakaan publik. Percakapan selalu menunda finalitas, sehingga demokrasi tak mungkin dihuni permanen oleh satu hasrat. Selalu ada “yang belum”, “the not-yet”, yang membatalkan setiap klaim kebenaran. Karena itu, kekerasan terhadap tubuh berarti menghentikan “the not-yet”. Kebebasan adalah hasil pengalaman etis, yang tumbuh sepanjang hidup. Itulah adalah dignity. Kekerasan membatalkan dignity.

Setiap Kamis, “ontology of the not-yet”  menulis sejarahnya persis di depan kekuasaan. Apakah jurnalisme sudah menulis atas nama mereka yang menghendaki “public opinion” diucapkan bukan sebagai “public relations”?

III

Demi apa “politics of memory”  dan “politics of hope” dipertemukan di dasar laut?  “Laut Bercerita” adalah sinopsis metaforik dari kisah panjang sejarah kekerasan politik negeri ini. Ketika jurnalisme kehilangan tenaga untuk melaporkan peristiwa, sastra mengajukan diri sebagai pengingat bahwa kekerasan masih berakar dalam  antropologi bangsa ini.

“Laut Bercerita” membaca sejarah bukan sekedar sebagai buku pelajaran, melainkan hasrat untuk melanjutkan kehidupan. Ada horison di kaki langit: ia adalah batas pandang, sekaligus keinginan. Sebagai batas pandang,  sastra mengolahnya menjadi utopia: bahwa kehidupan yang baik ada di seberang sana.

Lima ratus tahun lalu, Thomas More membayangkan sebuah pulau, tempat manusia “pulang”. Adalah hasrat kebebasan yang menuntun politik keluar dari distopia kekerasan, kendati pulau harapan itu -Utopia, dalam satire More, makin menjauh di horison sejarah. Tetapi “pulang” bukanlah konsep waktu. Ia adalah kehendak politik, yang menuntun metafisika harapan, menuju pemenuhan sejarah. Yang “belum”, akan selalu menuntut “hadir”. Itulah keadilan bagi yang belum pulang. Habeas corpus!

Ketika sastra mengaktifkan politik melalui metafora, suatu horison utopia mendekat, memulihkan ingatan, yang lumpuh oleh distopia hari-hari ini. Mereka yang menyingkirkan “public opinion” demi mengunggulkan “public relations”, adalah mereka yang menyembunyikan kejahatan kekuasaan di dasar laut.

Laut Bercerita”  adalah suatu “ontology of the not-yet”, dalam dua arti. Pertama, ia mendesakkan suatu interogasi publik terhadap negara, demi proyek hak asasi  “habeas corpus”. Pada dimensi ini, fakta dan arsip bukan sekedar berstatus “ontic”, melainkan ontologis. Ia menghidupkan opini publik tentang batas etis kekuasaan, bahwa tubuh bukan lokasi uji moral kekuasaan. Sebaliknya, tubuh adalah sumber moral manusia. Karena itu integritasnya tak boleh diambil paksa oleh siapapun. “Laut Bercerita” adalah arsip ontologis yang hanya dapat diakses oleh hasrat mendatangkan keadilan.

Kedua, kecemasan eksistensial hari ini adalah bahwa politik sedang diefisiensikan menjadi status administrasi saja: “biometric”. Hasrat dan daya hidup bukan sekedar mengalami otomatisasi, tapi sekaligus dikondisikan untuk patuh: demi sopan-santun politik, demi kearifan lokal yang represif, demi keaslian ras, demi citra kesolehan, demi nasionalisme harga mati.  Demi fanatisme politik,   tubuh mengalami regimentasi, didisiplinkan oleh “public relations” Orwellian.

Saya membaca novel karya Leila, dan menemukan biopolitik-nya dalam film pendek berjudul sama, pada momen imajinasi kain batik yang belum selesai ditulis. Memang, sejarah adalah arsip bangsa. Ia menyimpan yang baik dan yang buruk, juga yang belum selesai ditulis. Tapi bagi bangsa yang sedang menulis keadilan, kotak Pandora harus dibuka, demi mengembalikan martabat manusia.

Laut Bercerita

adalah cara,

yang disediakan sejarah,

untuk melukis kupu-kupu.

di selembar kain keadilan.

Karena harapan

adalah sayap kehidupan.

***

*Pengantar diskusi Novel Leila Chudori, “Laut Bercerita”, Jakarta 21 Februari 2018. Teater Salihara.

Saya berterima kepada Gea Citta yang  mengusulkan tema esei ini.