SEBUAH BUKU MERAH DAN KARBOL


Leila S.Chudori

 

***

“Asam sekali…” keluh Suwarto sambil meletakkan segelas air jeruk yang berwarna oranye mencolok itu ke atas meja.

Marwan masih tetap asyik dengan pikirannya sendiri. Matanya tertancap pada tembok kayu di sebelah kiri. Semut-semut yang datang berbonong-bondong menuju sarangnya sambil membawa serpihan roti itu menarik perhatiannya. Pasti mereka akan mengumpulkan makanan itu lantas menikmatinya bersama-sama, pikirnya. Tentunya juga, mereka akan membagi sama rata apa yang mereka peroleh.

Seekor semut tertatih-tatih membawa serpihan roti yang agak besar. Beberapa ekor semut di belakangnya segera mengelilingi  semut itu dan dalam sekejap serpihan roti yang agak besar itu telah terbagi menjadi empat. Mata Marwan terbelalak. Kaget.

“Kenapa?” tanya Suwarto ikut-ikutan kaget.

Marwan tidak menjawab. Matanya menyipit mengamati kegiatan semut-semut itu. Itu tandanya ia sedang asyik dalam dunianya sendiri. Suwarto menggigit bibirnya. Ia kesal. Tapi tak berani mengganggu keasyikan Marwan. Limabelas menit kagim seharusnya ia berada di kamar gelap untuk menyelesaikan  beberapa potretnya yang akan dimuat untuk majalahnya edisi berikutnya. Akhirnya sambil berdehem , ia pura-pura menengok arlojinya. Tak lupa pula ia mengerit-ngerit kaki kursinya. Ia tahu, Marwan benci suara keritan kursi.

Usahanya berhasil. Marwan meliriknya dengan geram.

“Ddatang saja ke rumahku nanti malam. Sekarang pergilah, kerjakan potretmu,” tukasnya pendek melihat kegelisahan suwarto.

“Tetapi jika…”

Marwan tidak mendengarkan jawaban Suwarto. Matanya kembali terpancing oleh kegiatan semut-semut itu.

***

MARWAN tak menggerakkan pantatnya ketika ia mendengar dering bel pintu. Dinyalakannya rokoknya dan ketika bel berdering lagi, ia berteriak menyuruh orang itu masuk.

Suwarto membuka pintu depan perlahan. Yang pertama kali ia cium adalah bau insektisida, semacam karbol yang memenuhi ruangan. Mendadak saja perutnya terasa mual. Apa-apaan ini, pikirnya sengit, apa dia menuangkan satu kaleng karbol untuk seluruh ruang tamu ini?

“Masuklah Suwarto!” teriak Marwan dari dalam.

Suwarto melangkah masuk ke ruang tengah. Marwan mengerutkan keningnya melihat wajah Suwarto yang tidak beres.

“Ada apa?”

“Apa ada tikus mati?”

“Ha?”

“Itu…berapa kaleng karbol yang kau tumpahkan di ruang muka? Gila…boleh kubuka jendeka?” Suwarto tidak menunggu jawaban Marwan. Ia membuka kedua bilah jendela di samping meja tulis tempat Marwan duduk. Marwan tidak bereaksi apa-apa. Tetapi asyik dengan rokoknya.

“Di sini banyak kuman, Warto. Dan aku harus selalu siap dengan karbol. Itulah satu-satunya alat yang bsia membasmi kuman.:

Suwarto memanang Marwan , pemimpin  redaksinya, dengan perasaan aneh. Marwan tentu sedang memikirkan kuman yang istimewa. Bukan kuman-kuman penyebar penyakit yang dipelajari mahasiswa kedokteran di bawah mikroskop.

 

(nukilan dari cerita pendek yang terkumpul dalam antologi Malam Terakhir, Pustaka Utama Grafiti, 1989)