SEBUAH KISAH TENTANG KEHILANGAN


Diadaptasi dari novel laris, film ini diarahkan oleh dua sutradara dan ditulis oleh empat penulis skenario . Reza Rahadian dan Adinia Wirasti tampil bagus.

***

9999--CE1

CRITICAL ELEVEN

Sutradara         : Monty Tiwa dan Robert Ronny

Skenario          : Jenny Jusuf, Monty Tiwa, Robert Ronny dan Ika Natassa

Berdasarkan novel karya Ika Natassa

Pemain            : Reza Rahadian, Adinia Wirasti, Slamet Rahardjo, Widyawati

Produksi          : Starvision Plus dan Legacy Pictures

Sesungguhnya ini sebuah cerita tentang kehilangan.

Kalau kita hanya fokus pada penampilan Reza Rahadian dan Adinia Wirasti  terutama pada paruh kedua film setelah tragedi kehilangan itu terjadi, sebetulnya kita bisa keluar dari gedung bioskop dengan rasa puas.  Kedua aktor ini memang selalu tampil bagus sejak film “Jakarta Magrib” (Salman Aristo, 2011) dan “Kapan Kawin”  (Ody C.Harahap, 2015).

Problemnya, sebuah film tak bisa hanya digiring oleh penampilan dua pemain utama. Ada skenario sebagai tiang cerita; ada dialog dan keseluruhannya harus bisa membentuk serangkaian adegan yang  meyakinkan penonton.

Ceritanya cukup sederhana. Anya bertemu dengan Ale di pesawat, jatuh cinta, saling berkenalan dengan keluarga, menikah, mereka pindah ke New York karena ikut suami dan terjadilah sebuah tragedi.

Lalu, di mana problemnya selain durasinya , 135 menit, yang sungguh kepanjangan?

Pertama-tama, kita harus yakin penjelasan Anya (Adinia Wirasti) tentang betapa pentingnya arti 11 menit  dalam sebuah penerbangan itu adalah sesuatu yang  relevan dengan seluruh cerita dan bukan sekedar dicocok-cocokkan saja dengan soal hubungan cinta. Kedua, film Indonesia yang memilih setting urban sering sekali bermasalah ketika menampilkan pekerjaan para protagonisnya: gamang dan tak meyakinkan. Bagaimana tokoh Ale (Reza Rahadian) yang bekerja di rig itu bisa menyewa apartemen di Manhattan adalah sebuah tanda tanya besar. Atau tokoh Anya yang dengan entengnya bulak balik keluar masuk  dari  perusahaan tempatnya bekerja; pertama keluar karena ikut suaminya ke New York, lantas balik lagi ke Jakarta hanya dalam waktu singkat. Mau dong kerja di kantor seperti itu, apalagi ada Hamish Daud segala.  Ketiga, pada masa mereka pacaran dan menikah tentu sah saja penonton dihadirkan gambar-gambar cantik New York yang penuh dengan peluk cium, uwel-uwelan pengantin baru ini. Tapi sayang sekali dialog pasangan yang sedang mabuk cinta ini tidak diisi dengan dialog yang memberikan karakterisasi yang solid.             Misalnya, kenapa Ale yang ternyata fans Starwars itu tidak pernah dijadikan bahan pembicaraan pada awal perkenalan?  Mengapa penonton ujug-ujug harus paham soal Startwars ini di tengah cerita saat dia ulang tahun? Atau kenapa Anya yang tak punya keluarga itu tak pernah menjadi sebuah salah satu bentuk karakterisasinya?

Soal keluarga Ale. Harus ingat, tidak semua penonton sudah membaca novel atau cerita asli dari film ini. Jadi tak heran sebagian penonton seperti saya tak paham ‘who is who’ dalam keluarga Risjad. Tentu jelas Slamet Rahardjo adalah sang patriarkh dan Widyawati adalah sang ibu (keduanya sungguh  cakep dan tampil keren). Tapi mengapa Revalina Temat yang kelihatannya berperan sebagai adik Ale  mengatakan pada Ale  ‘jangan sampai abang bernasib seperti saya?” Lo? Bernasib bagaimana?  Tak jelas yang mana yang adik, yang mana yang pacar adiknya, dan anak siapakah itu yang terselip di antara keluarga besar Risjad.

Sekarang soal bahasa. Baiklah, orang Jakarta kelas menengah atas masa kini memang snob dan lebih sering berekspresi dalam bahasa Inggris. Apa boleh buat, itu memang kenyataan. Jadi jika tokoh Ale dan Anya  lebih banyak berdialog dalam bahasa Inggris, kita harus mengasumsikan keduanya paham idiom, diksi serta metafora dalam bahasa Inggris. Tetapi mengapa Ale menggunakan metafora “bakar jembatan” sebagai sebuah pernyataan “cinta” pada Anya? Dalam bahasa Inggris, burning the bridge artinya  secara sengaja atau tak sengaja memutuskan jaringan sosial , atau hubungan baik dengan seseorang. Atau mungkin itu ekspresi buatan Ale yang tak ada hubungannya dengan metafora dalam bahasa Inggris? Tapi kan pasangan ini selalu berbahasa….ah sudahlah.

Saya tetap harus adil karena harus saya akui, di masa lalu Monty Tiwa adalah sutradara yang sangat saya perhitungkan. Pada film-film  tertentu dia menghasilkan emas, pada saat lain menghasilkan tembaga.  Pada adegan tragis yang terjadi pada pasangan Anya dan Ale, aktor Reza dan Adinia tampil bagus sekali. Reaksi Anya yang justru tidak menjerit, tidak meraung dan penuh penyangkalan menunjukkan betapa Monty Tiwa melakukan riset serius tentang mentalitas pasangan yang mengalami kehilangan. Cerita tentang kehilangan tentu sudah sering tampil di berbagai film atau film televisi, tapi paruh tengah hingga akhir ini dirawat dan dieksekusi dengan teliti.  Bahkan campur tangan orangtua dalam rangkaian drama kehilangan ini  terasa nyata  karena memang demikianlah solusi khas keluarga Indonesia –terlepas pasangan itu selalu berbahasa Inggris dan Anya berkali-kali menyatakan “saya biasa sendiri”.

Seandainya paruh awal film ini bisa bernas dan seandainya sutradara  berani tega  memotong 135 menit itu menjadi 90  menit , mungkin film Monty ini bisa kita kategorikan di atas tembaga. Film drama romantic atau komedi tak perlu diperlakukan seperti sebuah biopik atau film sejarah. Jangan lebih dari 90 menit, Monty.

Leila S.Chudori