SEORANG KARTINI YANG LINCAH, TERBUKA DAN CERKAS
KARTINI
Sutradara : Hanung Bramantyo
Skenario : Bagus Bramanti, Hanung Bramantyo
Pemain : Dian Sastrowardoyo, Christine Hakim, Acha Septriasa, Ayushita Nugraha
Produksi : Legacy Pictures
Foto : Legacy Pictures
Film terbaru sutradara Hanung Bramantyo mencoba membuka sosok Kartini yang berbeda, seorang perempuan Jawa yang menolak menunduk saat berbicara dan berapi-api dalam tulisan-tulisannya.
Kartini yang kita saksikan di layar lebar adalah Kartini yang cerdas, cerkas, jahil dan senang mengganggu orang-orang yang disayanginya. Tak hanya pandai menguntai kata-kata di atas kertas yang terbang ke Belanda menemui kawan-kawannya Stella, Nyonya Abendanon dan juga kakanda tersayang Kartono, Kartini baru interpretasi Hanung Bramantyo adalah sebuah wajah baru yang segar. Sejak kanak-kanak Trinil , si burung lincah, adalah gadis kecil yang banyak bertanya, protes dengan segala tata-krama ningrat yang merepotkan gerak tubuh dan mengekang pemikirannya. Kelak ketika Trinil remaja, dia semakin membuat marah khalayak bangsawan yang merasa fondasi kekuasaan dan feodalisme diguncang oleh perempuan ini.
Pembukaan film terbaru Hanung Bramantyo adalah sebuah penutupan. Syahdan sang ayah RM Adipati Ario Sosroningrat bertanya pada puterinya yang istimewa itu : “apakah engkau siap menjadi raden ayu?”
Bagi kalangan bangsawan Jawa di abad 19, menjadi Raden Ayu berarti: siap dikawinkan dengan anggota keluarga bangsawan lain (entah wedana, bupati, wakil bupati) yang sering kali sudah beristeri satu,dua atau tiga orang. Menikah dengan sesama bangsawan penting untuk meneruskan darah biru. Jadi persoalan perasaan perempuan, apalagi pendidikan, intelektualitas dan kebebasan adalah kata-kata yang sama sekali tak bisa (dan tak boleh) terlintas pada pada pikiranbagi generasi ibunda Kartini, Ngasirah dan juga R.A Moeryam , ibu tiri Kartini.
Kartini (diperankan Dian Sastrowardoyo) tak langsung menjawab. Hanung kemudian membuka gulungan kisah masa lalu. Kartini kecil protes dengan berbagai aturan keningratan yang traumatic:: dia tak boleh tidur dengan ibunya sendiri, karena derajat Ngasirah (non darah biru) berada di bawah derajat sang anak. Adegan drama masa kecil ini adalah ciri khas Hanung yang setiap kali membuat biopik selalu mengulas bagaimana masa kanak-kanak sang tokoh adalah dasar dari tingkah laku dan cara berpikir di masa dewasa kelak. Demikian yang ditunjukkan dalam film Sang Pencerah, Sukarno dan kini Kartini. Untung saja tak perlu kita berlama-lama menyaksikan masa kecil ini karena kita langsung berhadapan dengan si bandel Kartini (Dian Sastrowardoyo) dan kedua adiknya Kardinah (Ayushita Nugraha) dan Rukmini ( Acha Septriasa), kedua adiknya yang ketularan sang kakak dari mulai menjahili orang hingga berjuang untuk mendapatkan pendidikan bagi perempuan. Jika di dalam berbagai catatan biografi, ketiga saudara pernah mencemplungkan merica ke dalam minuman bu Sosro, penjaga mereka maka dalam film trio ini digambarkan lebih sering bandel di balik tembok pingitan.
“Di sini kita bebas, misalnya jika mau tertawa kita bisa……” Kartini ngakak sepuasnya. Ini interpretasi sutradara Hanung terhadap surat Kartini yang mengeluhkan betapa dia pernah dicela hanya karena dia menunjukkan gigi ketika tertawa dank karena dia berani menatap mata lawan bicaranya (sementara gadis Jawa umumnya diharapkan menunduk ). “Orang di sini ingin agar saya menundukkan mata dan berpura-pura . Saya tidak mau. Saya ingin melihat mata orang yang berbicara dengan saya. Saya tidak ingin menunduk,” demikian Kartini menulis pada 12 Oktober 1902 kepada Nyonya R.M. Abendanon –Mandri.
Pingitan yang sebetulnya penjara bagi ketiga gadis itu dimanfaatkan untuk “menyeberang ke dunia luar” melalui buku-buku milik kakak tercinta mereka, si jenius Sosrokartono (Reza Rahadian). Di sinilah sebuah adegan tak terduga terjadi. Ketika Kartini membaca sebuah novel berjudul Hilda Von Suylenberg karya Cecile de Jong tentang seorang pengacara perempuan yang sudah berumah tangga. Kartini digambarkan seolah menyaksikan adegan sebuah pengadilan di Belanda. Begitu saja penulisnya berdiri di samping Kartini yang takjub menyaksikan bagaimana sang pengacara bersilat lidah soal hukum. Hanung memilih untuk memvisualisasikan buku-buku yang dibaca Kartini, surat menyurat antara Stella dan korespondensi dengan kakanda Kartono. Semua adegan itu tampil seolah Kartini tengah berada bersama lawan bicaranya: di Belanda , di depan kincir angin; di tengah hutan. Bahkan ketika Kartini adat terasa seperti sebuah penjara, dengan airmata merembes Kartini membayangkan dirinya bebas sembari berkata “bawalah aku ke negaramu.” Adegan-adegan visualisasi ini sungguh sebuah interpretasi yang unik dibanding dengan adegan voice-over dan adegan Kartini menulis seperti yang biasa tampil dalam drama-drama televisi Kartini. Pilihan ini menunjukkan Hanung paham bermain dengan mediumnya: sinema.
Sesudah lebih dari dua jam menyaksikan film ini, ada beberapa pujian yang perlu saya kemukakan. Berbeda dengan film Kartini karya Sjuman Djaya yang pada 1983 yang menampilkan Jenny Rachman yang lebih introvert, dan menyampaikan pandangannya dengan lebih hati-hati tapi tajam, maka versi baru ini lebih menunjukkan Kartini yang cerkas, lincah dan bergelora seperti tulisan-tulisannya. Trio Daun Semanggi bukan hanya digambarkan berlari menyambut gelombang samudera, tetapi memanjat tembok dan duduk di atasnya sembari “aku tidak sudi menikah”, setelah melihat kakak tiri mereka Soelastri dipaksa kawin. Catatan lain, Hanung cukup teliti dan patuh pada esensi surat-surat Kartini dan mewujudkannya melalui tubuh Dian Sastrowardoyo yang berani menatap lawan bicaranya apakah dia lelaki Jawa atau Belanda; berani menjawab dengan fasih dan tegas dalam Bahasa Belanda, Jawa atau Indonesia. Kedua hal ini penting bukan sekedar untuk menyenang-nyenangkan penonton perempuan yang kemudian menjadi emosional menyaksikan betapa jauh perjalanan seorang feminis pertama Indonesia itu, tapi juga karena “saya mencoba mencari jawaban mengapa Kartini dinyatakan sebagai pahlawan,” kata Hanung Bramantyo kepada Tempo.
Perkara Kartini pahlawan atau bukan memang selalu menjadi perkara yang klise dan membosankan yang diulang-ulang setiap tahun. Sejak Kartini dinyatakan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintahan Sukarno pada 1964, tak sedikit orang yang mempertanyakan. Sejarawan Harsya Bachtiar termasuk yang mempersoalkan dengan menyebutnya sebagai “pahlawan yang dibesarkan Belanda” demikian seperti yang dikutip oleh sejarawan Hilmar Harid dalam Tempo Edisi Khusus Kartini April 2013. Sebagian akademikus dan intelektual yang mempersoalkan bahwa begitu banyak surat Kartini yang dengan keras menentang poligami , tapi toh akhirnya dia menikah dengan Bupati Rembang yang sudah memiliki tiga isteri.
Tetapi Hanung tidak masuk ke dalam kontroversi itu. Berbeda dengan Sjuman Djaya yang melukiskan Kartini hingga akhir hayatnya dan cukup detil mendeskripsikan bagaimana Kartini menghadapi para selir suaminya, Hanung fokus pada obsesi Kartini pada pendidikan, kritik keras terhadap pengekangan perempuan dan poligami serta perkawinan yang diatur. Drama lebih difokuskan kepada kemelut tradisi versus modern. Tradisi bangsawan Jawa versus trio Daun Semanggi yang kerap didukung sang Ayah yang lebih progresif meski sesekali bimbang. Belanda di dalam film Hanung bukan pihak antagonis, karena nampaknya Hanung memilih drama keluarga. “Kalau melawan orang luar, melawan Belanda, melawan kafir, itu biasa. Tapi di sini dia melawan orang-orang terdekatnya, melawan keluarga,” kata Hanung.
Dalam film ini, Belanda tampil lebih sebagai kawan diskusi bagi Kartini, atau beberapa kali mereka adalah ‘penolong’ Kartini untuk lebih cepat keluar dari pingitan. Fokus seperti ini juga bisa menimbulkan kritik bagi mereka yang lebih menelaah sosok Kartini dari sisi sejarah. Memang benar suami isteri Abendanon berjasa menerbitkan surat-surat yang terkumpul dmenjadi buku Door Duisternis Tot Licht (1911) yang kemudian diterjemahkan oleh Balai Pustaka menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang (1922). Tapi tentu saja pemilihan surat-surat yang diterbitkan dan yang disingkirkan bermakna poliis. Ada beberapa surat Kartini yang kritis terhadap pemerintahan Belanda.
Tapi ini adalah pilihan sineas karena seperti yang dinyatakan Hanung, “ini adalah film, bukan dokumen sejarah”. Seorang sutradara berhak menggunakan lisensi kreativitasnya, termasuk katakanlah menggunakan aktris yang dalam film ini sama sekali tak mirip Kartini, Kardinah atau Rukmini dan lebih menekankan seni peran dan pendalaman arti feminism Kartini. Hanung mengutamakan dramatisasi di beberapa tempat. Sesekali dramatisasi itu menarik dan bahkan lucu, misalnya bagaimana trio Daun Semanggi itu doyan memanjat tembok dan berbincang tentang bagaimana perkawinan kelihatannya malah membawa sengsara bagi perempuan; bagaimana mereka dengan kompak saling menguatkan jika salah satu dipaksa menikah. Ada saat Hanung berhasil menyajikan adegan-adegan menyentuh terutama saat Kartini berdialog dengan kakak kesayangannya , Kartono (Reza Rahadian), atau ketika dia pamitan pada sang ibu kandung. Pada adegan intense yang tidak terlalu dramatis, Hanung justru selalu berhasil merebut hati, karena pada dasarnya aktor seperti Dian Sastrowardoyo, Reza Rahadian dan Christine Hakim selalu masuk menjadi sang tokoh. Kehadiran mereka, dengan durasi sejenak atau lama, selalu mempengaruhi emosi adegan. Belum lagi kemampuan Christine Hakim berdialog dengan bahasa Jawa dan Dian Sastrowardoyo dengan bahasa Belanda, yang meyakinkan. Adegan paling penting, menurut saya, ketika Kartini bertanya pada seorang kiai tentang ayat Quran yang membicarakan pendidikan. Adegan yang pendek, sederhana, tetapi menunjukkan: Kartini adalah perempuan yang haus pengetahuan dan akan selalu bertanya tentang apa saja yang ingin dia ketahui. Tak hanya itu, dia juga seorang penulis handal dan Hanung menunjukkan bagaimana artikel yang ditulis Kartini –akhirnya terbit dengan menggunakan nama Ayahnya.
Sayang sekali musik film ini dari ujung ke ujung seperti berlomba ‘tampil’ melebihi volume suara pemain; bukan mendukung adegan malah kepingin menonjol. Keras,menyentak dan mengganggu. Musik adalah paduan dari gambar dan dialog, bukan penghapus adegan. Hal lain yang juga mengganggu adalah tata cahaya yang selalu terang benderang seperti pencahayaan drama televisi. Kartini adalah sosok yang cerdas, berani, penuh emosi sekaligus lucu. Tata cahaya dalam film ini tidak mencerminkan atmosfer emosi Kartini maupun para tokoh lainnya, karena kita hampir selalu melihat cahaya yang terang benderang.
Tetapi keseluruhan, di luar penataan musik dan cahaya, film ini adalah hiburan yang menarik, yang penting untuk (sekali lagi) menjadi bahan diskusi tentang perempuan Indonesia.
Leila S.Chudori
***
BOOKS
DIAN SASTROWARDOYO:
“Saya Selalu Memandang Diri Sebagai Feminis.”
Setelah menjadi Cinta, Dian Sastrowardoyo mengganti baju ,menyanggul rambut dan menjadi Kartini. “Ini hanya peran,” kata Dian yang sehari-hari adalah seorang ibu dari dua anak dan isteri dari Indra Maulana. Selesai menjadi Kartini, Dian memangkas rambutnya sependek mungkin, mengenakan celana panjang dan belajar silat dari tim Iko Uwais karena dia berperan sebagai Alma dalam film terbaru laga Mo Brothers. Berikut adalah perbincangan Dian dengan Moyang Kasihdewi dari Tempo di sela-sela kegiatan pemotretan di selatan Jakarta”
Apa hal pertama yang terlintas di kepala Dian saat mendapat tawaran peran sebagai Kartini?
Saya selalu memandang diri sebagai feminis, mamaku juga seorang feminis. Mamaku pembaca karya Virginia Woolf dan aku pengagum Kartini. Walaupun memang pengetahuanku tentang beliau masih terbatas. Jadi pertama kali mendengar ada film Kartini saya sudah pengen ikutan walaupun cuma jadi supporting. Ketika Mas Hanung meminta aku mencoba menjadi Kartini, aku merasa dapat jackpot banget.
Saya tahu harus banyak riset.
Apa saja buku yang dibaca untuk riset?
Buku pertama Panggil Aku Kartini Saja oleh Pramoedya Ananta Toer. Lalu Habis Gelap Terbitlah Terang ,Armijn Pane. Ada juga buku tentang surat-surat Kartini yang lain dari Belanda. Setelah itu berbagai rangkuman pemikiran Kartini yang isinya kutipan penting. Semua saya lahap pelan-pelan seperti akan membuat skripsi. Kan aku sudah dua kali menulis skripsi, masa enggak bisa. Dicicil terus. Ada anak, tunggu anak tidur dulu baru saya membaca lagi. Lama-lama pengetahuan terbatas tentang Kartini semakin berkembang dan membentuk pengetahuan tentang Kartini. Saya mulai membayangkan Kartini sebagai manusia. Dan ternyata, Kartini bukanlah orang yang pendiam. Dia buandel sejak kecil. Ini yang kurang diketahui masyarakat Indonesia. Panggilannya saja Trinil.
Bagaimana perubahan pandangan Dian tentang Kartini sebelum dan setelah membaca bukunya?
Ternyata dia adalah perempuan yang tingkah lakuknya masih muda. Tentu sebagai orang Jawa dia harus menahan emosi. Jadi walaupun dia di luar kamar tetap menunduk aja, di dalam dirinya ada banyak gejolak Tapi (dalam kamar , penonton harus tahu bahwa Kartini sebetulnya. Penonton harus tahu. Saya harus belajar bagaimana merasakan perempuan yang terkekang dengan budaya Jawa. Terus terang, Kartiniadalah ini film pegel karena semua emosi harus ditahan.
Bagaimana pendapat tentang film “Kartini” Sjuman Djaja?
Saya pernah menonton waktu kecil. Tapi terus terang setelah mau memerankan Kartini, saya sengaja menghindari, ngeri terjebak. Tapi saya ada memori tentang filmnya di mana pembawaan Kartini di sana lebih reserved (pendiam-red) sementara di dalam film ini dia badung banget.
Untuk persiapan peran, Dian memakai kain terus ke mana-mana. Juga bagaimana persiapan bahasa Belanda dan Jawa?
Salah satu pendalaman karakter saya memang mengenakan kain karena orang Jawa di masa lalu memiliki tradisi jalan yang berbeda kan? Cara kita berjalan dan cara kita berinteraksi dengan orang lain sangat berbeda, sehingga Mas Hanung sejak tiga bulan sebelumnya meminta kami mengenakan kain setiap hari. Ya sudah, akhirnya saya meetingpun mengenakan kain. Soal bahasa, masing-masing sudah ada gurunya yang disediakan Mas Hanung baik guru bahasa Jawa maupun bahasa Belanda. Tentu saja bahasa Belanda lebih susah karena saya tidak mengerti artinya. Kalau bahasa Jawa saya masih paham karena mama dan eyang masih menggunakan bahasa Jawa.
Dari sekian banyak kutipan Kartini, mana yang paling mengena pada Anda?
Aduh banyak banget! Salah satunya: “Saya putus asa:saya hanya boleh menulis yang bukan-bukan saja; hal yang sungguh sungguh tidak boleh saya singgung…” Kartini sebetulnya tergelitik sekali dengan persoalan ketidakadilan. Kaum pribumi dijajah kaum Belanda DAN kaum pribumi menengah-abangan dijajah oleh kaum feodal bangsawannya. Dan melihat ketidakadilan itu, Kartini ingin mengeritik kaum bangsawan yang egois dan gila hormat . Dia mengeritik Belanda, kalau saja Belanda memperlakukan kaum pribumi dengan sejajar, setidaknya Anda akan mendapat partnership dan kontribusi pekerjaan dari kaum pribumi yang diberdayakan. Dia ingin mengeritik itu tapi tak dibolehkan. Saya melihat Kartini sebagai pejuang yang menjadi tonggak perubahan dari pejuangan fisik menjadi perjuangan pemikiran. Setelah Kartini, lalu ada Boedi Oetomo dan seterusnya. Tapi sayangnya, karena dia perempuan, kesannya pemikiran dia menghina kaum laki-laki yang saat itu yang berego besar.