SEORANG SUTRADARA DAN FILM INDONESIA


Film terbaru Richard Oh yang muram tapi sekaligus menghibur tentang industri film Indonesia dan perjalanan seorang sutradara.

***

9999--MELANCHOLY--POSTERMELANCHOLY IS A MOVEMENT

Sutradara         : Richard Oh

Skenario           : Richard oh

Pemain              : Joko Anwar, Aryo Bayu, Fachri Albar, , Aming, Alex Abbas, Verdi Solaiman, Hannah Al Rasyid, Upi, dan Farishad Latjuba.
Produksi           : Metafor Pictures

***

Joko Anwar bukan memainkan Joko Anwar.

Meski nama protagonis dalam film ini adalah ‘Joko Anwar’ yang diperankan oleh Joko Anwar, tetapi tokoh ‘Joko Anwar’ adalah seorang sutradara rekaan Richard Oh yang berkisah  tentang perjalanan (karir dan batin).

Film ini dimulai dengan serombongan semut rangrang yang kehidupannya mendadak terhenti karena kucuran air kencing. Tokoh kita, “Joko Anwar” yang diperankan Joko Anwar  bersama kawan-kawannya di bawah terik matahari merubung sebuah makam kecil, makam anjing kesayangan sang sutradara. Di antara kesedihan itulah, Joko Anwar mengambil jeda dan mengencingi gerombolan semut itu.

Untuk selanjutnya, kita bukan melihat sosok Joko Anwar nyata yang di dunia film dikenal gemar berbincang dan nampak selalu riang gembira. Dalam 45 menit pertama film ini, protagonis kita adalah sosok yang ekonomis dengan kata; tenggelam dalam sesuatu yang hanya dipahami dirinya sendiri. Seorang sutradara yang sebelumnya dikenal sebagai kreator film thriller dan seterusnya. Lantas datanglah berbagai produser dan investor dengan segala tingkahnya yang memberikan efek komedi selintas yang mungkin hanya dipahami penggemar film (“Hitchcock, Kurosawa….mungkin kita suatu saat hire mereka juga,” kata satu investor yang jelas dungu karena tidak tahu para maestro itu sudah wafat).

Sang sutradara tak bergerak .Dia mencoba bergerak. Membantu kawan-kawannya yang rewel dan manja (“Bang…aku ada persoalan bang”), membersihkan lantai rumah, mencangkul tanah dan semua kerja fisik lainnya. Tapi secara mental, di manakah Joko berada?

Richard Oh tengah memainkan cara bernarasi. Semua pemain seolah memainkan diri sendiri dengan menggunakan nama masing-masing. Begitu mereka memasuki  jagat Richard Oh, maka mereka menjadi tokoh fiktif. Di dalam dunia rekaan ini, Richard tidak menggunakan plot linier yang biasa terjadi dalam drama tiga babak. Tokoh Joko Anwar si protagonis harus bergerak untuk membuat film karena “Bang, harus bayar sewa kantor,” demikian kawan/produsernya yang setia dengan diam-diam ‘menjodohkan’ Joko dengan para investor itu. Cilakanya, harigini di Indonesia yang dianggap asyik adalah film-film religi, sesuatu yang selalu dihindari oleh tokoh Joko Anwar dalam film, maupun oleh Joko Anwar sendiri dalam hidup nyata.

Permainan Richard Oh  membaurkan tokoh nyata dengan nama para pemainnya ini menjadi menarik: seorang tokoh sutradara yang nampak redup dan hanya berkomunikasi dengan dirinya dan ciptaannya sendiri, sementara dunia di sekelilingnya riuh dan bawel yang mencoba mengguncangnya. Persoalannya: apakah dia akan mengambil pesanan membuat film religi, dan film religi macam apa yang akan dibuatnya?

Sekilas film ini seperti sebuah komentar dan kritik terhadap film Indonesia masa kini. Tetapi Richard sesungguhnya tengah membuat sebuah film  di dalam film di dalam film. Lapisan-lapisan itu terkuak perlahan hingga akhir film. Soal perbenturan idealisme versus pragmatisme tokoh Joko Anwar adalah kemasan agar kita bisa menyentuh jagat yang diciptakan Richard.

Dalam film ini, seperti juga dalam film-film Richard sebelumnya, kata tidak digunakan untuk menyampaikan makna. Richard tak percaya bahwa kata adalah satu-satunya alat untuk menyampaikan makna. Maka adegan-adegan seolah tersusun tanpa hubungan plot. Gambar-gambar yang tersusun: Joko membersihkan rumah; Joko akhirnya mengetik sebuah skenario: Joko berdiri di lobi bioskop sembari menanti reaksi penonton hingga akhirnya dia disergap oleh wartawan televisi yang cerewet (diperankan oleh Aimee Saras dengan bagus) terasa bercerita, tetapi sesungguhnya kita tengah diajak Richard untuk mengikuti jalan pikiran seorang sutradara.

Dialog dan seni peran seluruh pemain seolah terjadi begitu saja, sebuah improvisasi yang asyik. Ternyata, film ini disusun dalam skenario yang sangat ketat. “Tentu saja saya memberikan sedikit improvisasi , tapi semuanya itu sesuai skenario,” kata Richard kepada Tempo.

Dari semua karya Richard Oh (Koper, Description without Place), saya paling menikmati film ini justru karena permainan narasi Richard yang cerdas.

Leila S.Chudori