SETELAH 4K YANG MENGKILAP
Film “3 Dara” karya Usmar Ismail direstorasi digital dengan format 4K. Jernih, tajam dan bersuara bening.
***
TIGA DARA
Sutradara : Usmar Ismair
Skenario : Usmar Ismail dan M.Alwi Dahlan
Pemain : Chitra Dewi, Mieke Widjaja, Indriati Iskak, Fifi Young, Bambang Irawan, Rendra Karno
Produksi : PT Perfini Films
(yang direstorasi SA Films)
Ingatkah adegan puncak film Sense and Sensibility karya Ang Lee? Film yang diangkat dari novel Jane Austen dengan setting Inggris abad 19? Ketika akhirnya Elinor Dashwood (Emma Thompson) yang dalam penantian begitu lama akhirnya dilamar Edward Ferrars, lelaki yang diam-diam dicintainya?
Ini adegan yang mengharukan sekaligus lucu karena sang ibu dan kedua adik perempuan Elinor dari kebun depan kepingin tahu betul bagaimana sang lelaki impian itu melamar. Maka adik bungsupun memanjat pohon dan melaporkan bagaimana Ferrars berlutut dan melamar Elinor menjadi isterinya.
Itulah kira-kira perasaan saya setiap kali menyaksikan film karya Usmar Ismail yang diluncurkan tahun 1956 dan langsung meledak secara komersil dan kemudian member inspirasi bagi Usmar untuk mengulang tema yang sama dalam film “Asrama Dara” (1958). Sebuah periode di mana perempuan di belahan bumi manapun yang belum mendapat jodoh akan menjadi sumber kecemasan orang-tua. Itulah agaknya problem perempuan sejak zaman Jane Austen di abad 19 hingga kini: jangan sampai perempuan tak berjodoh.
Film Tiga Dara tentu saja diutarakan dengan penuh humor dan musik. Tiga dara Nunung (Chitra Dewi), Nana (Mieke Widjaja) dan Neni (Indriati Iskak) yang sudah lama ditinggal Ibunda mereka, selama ini dibesarkan sang nenek (Fifi Young) yang cemas akan nasib cucu tertuanya. Nunung yang senantiasa berkebaya itu sukar bergaul, mudah merajuk dan selalu lebih sibuk mengurus rumah tangga –memasak, seterika, membereskan keperluan ayah, nenek dan kedua adiknya—daripada mencari jodoh. Sang nenek bersepakat dengan Sukandar (Hassan Sanusi), ayah tiga dara itu, untuk mengundang kawan-kawannya.
Humor dan musik sepanjang film selalu diletakkan pada saat yang tepat. Para kakek, kawan-kawan Ayah yang naksir si cantik Nunung tapi tak berdaya, dan nenek yang marah-marah kok membawa para opa ke ruang tamu mereka. “Perkenalkan dia pada pemuda yang bujangan, yang cakap, yang tinggi, yang kaya….kalau nggak ada yang bujangan, yang duda juga boleh…” sang nenek merepet.
Bagaimanapun Usmar Ismail percaya pada segala yang alamiah. Dalam plot perjodohan itu, Usmar adalah ‘mak comblang’nya, karena dia pencipta cerita. Nunung harus bertabrakan dengan seorang pengendara motor ganteng bernama Toto (Rendra Karno). Nunung ngomel dan tetap judes meski Toto sudah meminta maaf berkali-kali dan membawa bunga dan segala ketampanannya. Ketegangan naik karena si adik Nana naksir Toto juga.
Kisah cinta segi-empat dan campur tangan adik bungsu yang lincah serta Ayahanda yang diakhiri dengan Komedi Salah Kaprah ala Shakespeare tentu bukan sesuatu yang baru, tetapi akan selalu segar jika dieksekusi dengan baik.
Untuk waktu yang lama film ini sering ditayangkan di berbagai acara dengan keadaan penuh jamur dan suara tak jelas. Film yang sudah berusia 60 tahun kini bisa disaksikan mulai pekan ini di bioskop komersial karena sudah dilakukan restorasi dalam format 4K, sebuah format restorasi digital yang menghasilkan gambar dan suara yang lebih tajam dan bersih daripada HD (High Definition). Adalah SA Film yang dipimpin Yoki Soufyan yang mengambil alih proses restorasi film ini dari EYE Museum, Amsterdam. “…Merestorasi dan mempersembahkan kembali film Tiga Dara kepada bangsa Indonesia adalah sebuah tugas yang sangat penting,” demikian Yoki Soufyan.
Semula pemerintah Belanda, melalui institusi EYE yang ingin melakukan penyelamatan terhadap film itu. Namun tahun 2011 terjadi krisis ekonomi dan tak kunjung ada kepastian kapan EYE Museum bisa melakukan restorasi itu. Setelah melakukan diskusi yang panjang bersama EYE Museum dan keluarga Usmar Ismail, akhirnya semua sepakat SA Films yang mengambil alih proses restorasi itu. Adapun yang memikul tanggungjawab restorasi fisik seluloid film itu adalah laboratorium L’Immagine Ritrovata di Bologna, Italia yang melibatkan dua orang Indonesia. Setelah proses restorasi fisik selama delapan bulan, proses berikutnya adalah restorasi secara digital di Indonesia oleh PT Render Digital Indonesia selama enam bulan.
Dengan restorasi digital format 4 K memang yang terlihat pada layar adalah sebuah film hitam putih yang bukan saja jernih dan tajam, bahkan suara yang bening dan musik yang merdu. Beberapa kali menyaksikan film ini saat sudah rapuh dan tua –yang rutin ditayangkan di berbagai pusat kebudayaan, inilah kali kedua kita menyaksikan karya Usmar Ismail yang bening dan tajam setelah restorasi “Lewat Djam Malam” tahun 2012 lalu. Tapi ini kali pertama film klasik yang direstorasi itu akan ditayangkan di bioskop komersil.
Restorasi ini bukan hanya akan membuat para sineas Indonesia muda bisa menyaksikan dan mempelajari bahwa film yang berhasil tak harus selalu mengambil tema yang megah. Kesederhanaan plot adalah kunci. Dan lihatlah, sejak kelahirannya tahun 1956 hingga 60 tahun kemudian, film ini menjadi aikon yang menembus ruang dan waktu.
Leila S.Chudori
TIGA DARA DI MAUMERE
Tak hanya menikmati karya Usmar Ismail dengan bentuk yang bersinar karena restorasi, masyarakat Indonesia juga akan “Ini Kisah Tiga Dara”, sebuah re-interpretasi dari sutradara Nia Di Nata.
“Sejak kecil, film “Tiga Dara” selalu saya tunggu di Sinema Akhir Pekan TVRI. Saya selalu menonton bersama oma,” kata Nia Di Nata kepada Tempo. Meski tak memiliki adik atau kakak perempuan, Nia mengaku selalu berkhayal tentang kisah sisterhood seperti Tiga Dara.
Bekerjasama dengan PH SA Films yang merestorasi film “Tiga Dara”, sutradara Nia Di Nata kemudian memproduksi sebuah film baru yang terinspirasi karya Usmar Ismail. Sebelumnya di tahun 1980, sutradara Djun Saptohadi pernah melakukan sebuah interpretasi baru berjudul “Tiga Dara Mencari Cinta”, sedangkan Nia memutuskan meletakkan ketiga adik kakak itu pada setting masa kini di Maumere.
Seperti film asli, film Ini Kisah Tiga Dara juga akan menyorot hubungan sang nenek dengan ketiga cucunya dan kecemasannya akan jodoh.
Perbedaannya, menurut Nia, “ tiga kakak adik ini sangat passionate terhadap pekerjaan mereka.” Dalam menghadapi cinta, kakak beradik ini akan terlihat kemandiriannya.
Nia menyatakan bahwa perempuan usia 20-30-an di masa kini lebih tertarik memburu cita-cita mereka. “Konteks domestikasi sudah ditinggalkan,” kata Nia.
Karena itu, berbeda dengan cerita asli, Nia memberikan profesi pada tokoh-tokoh tiga dara versi baru: seorang chef, seorang PR hotel dan si bungsu yang ceria adalah masih mencari-cari apa yang disukainya.
Pilihan lokasi Maumere yang cantik dan penuh warna juga penting dalam plot, karena Nia memasukkan cita-cita ibu almarhum dari tiga dara itu, yaitu ingin membangun sebuah hotel kecil yang cantik (boutique hotel). “Yang pertama saya cari adalah pantai dan alam, karena yang sama dari ketiga adik kakak ini adalah kesukaannya pada pantai.”
Dengan pemain antara lain Titik Puspa, Shanty Paredes, Tara Basro, Tatyana Akman serta lagu yang diaransemen kembali, film ini akan menjadi salah satu tujuan utama bagi penonton Indonesia bulan depan.
LSC