SOSOK DI BALIK PARA SASTRAWAN
Sebuah film tentang editor New York terkemuka Maxwell Perkins yang ada di balik keberhasilan para raksasa sastra Amerika: Hemingway, Fitzgerald dan Wolfe.
GENIUS
Sutradara : Michael Grandage
Skenario : John Logan
Berdasarkan buku Max Perkins: Editor of Genius oleh A. Scott Berg.
Pemain : Colin Firth, Jude Law, Nicole Kidman, Dominic West, Guy Pearce
***
Di balik sastrawan besar, selalu ada editor jenius.
Sastrawan seperti Ernest Hemingway dan F.Scott Fitzgerald tidak akan menemui bahasanya jika tidak melalui diskusi intens dengan Maxwell Perkins (Colin Firth), editor penerbit Scribner yang dikenal bertangan dingin dan bersenjata pensil merah yang akan mencoret kalimat berlebih dan halaman-halaman yang keluar dari konteks cerita. Editor seorang sastrawan ( di negara maju) bukan hanya berfungsi menjagal bagian naskah yang bertele-tele, tetapi dia menjadi kawan diskusi sang penulis, sekaligus pendorong saat seorang penulis tengah macet.
Akan halnya Thomas Wolfe, sastrawan asal North Carolina –jangan tertukar dengan penulis terkemuka Tom Wolfe yang dikenal dengan jurnalisme sastra –- mengalami sebaliknya. Wolfe (Jude Law) adalah penulis yang tak tahu bagaimana menghentikan muntahan kata-kata yang terus menerus keluar dari mulutnya, pikirannya, pensilnya (dia menulis dengan pensil dan staf penerbit Scribner akan mengetiknya dengan takzim). Manuskrip Thomas Wolfe yang pertama berjudul “O, Lost” ditolak di mana-mana, dan karena pacar Wolfe, Aline Bernstein – penata artistik panggung teater terkenal, meminta penerbit Scribner untuk sekedar menjenguk naskah tebal itu, Perkins menyanggupinya. Hasilnya: dia bersedia menerbitkannya, dengan catatan: Wolfe harus bersedia bekerja sama untuk menyunting manuskrip yang penuh muntahan kata-kata itu.
Film ini pada akhirnya lebih menceritakan persahabatan , bromance, antara Perkins dan Wolfe. Hubungan mereka tak berhenti pada perdebatan siang malam tentang kalimat mana yang perlu dibuang atau berapa ratus halaman yang harus dijagal, tetapi Perkins akhirnya menjadi bagian dari keluarga Perkins yang rutin menikmati perhatian seluruh anak-anak Perkins saat makan malam yang diakhiri dengan menginap di rumah Perkins. Perkins yang kebetulan memiliki banyak anak perempuan dan merasa Wolfe mengisi kekosongan itu. Persahabatan mereka yang menunjukkan ketergantungan lantas mengganggu para perempuan dalam cerita ini. Isteri dan anak-anak Perkins merasa Perkins kurang perhatian karena sudah menumpahkan seluruh hari dan malam untuk menyunting karya Wolfe. Pacar Wolfe, Aline Bernstein yang sebetulnya sudah menikah, luar biasa cemburu terhadap perhatian Wolfe yang seratus persen tercurahkan pada sastra dan pada Perkins.
Di atas kertas film ini sangat menarik dengan bahan dasar buku yang ditulis dengan bagus dan pemain-pemain kelas A. Film ini bahkan berhasil masuk dalam kompetisi 66th Berlin International Film Festival ke 66. Dengan fokus persahabatan kedua nama besar ini, sebetulnya ide film ini menjanjikan.
Tetapi besarnya ide dan karya Thomas Wolfe yang hanya disajikan melalui tingkah laku Wolfe yang impulsif, flamboyan, dibakar energi yang tak berkesudahan sama sekali tidak menceritakan pemikiran Wolfe maupun Perkins sebagai kawan debatnya. Kamera mengikuti perdebatan teknis mereka dengan cepat ; lantas manuskrip “O,Lost” berubah judul menjadi “Look Homeward, Angel” yang kemudian sukses di pasaran. Novel kedua Wolve yang naskahnya bertumpuk-tumpuk dan ditulis dengan tulisan tangan itupun menjadi proses yang digambarkan sebagai montase si penulis gila dengan si editor kalem.
Dunia yang tergambar adalah dunia lelaki kulit putih, sebuah gambaran dianggap mewakili masanya pada awal abad 20. Dengan kata lain, tokoh-tokoh perempuan dalam film ini adalah tokoh yang digambarkan sebagai sosok pengganggu kebesaran dunia sastra. Ini yang kemudian menjadi problem besar bagi saya. Dalam film ini, dunia sastra dianggap sebagai adalah dunia serius mainan lelaki, dan perempuan (pekerja maupun ibu rumah tangga) adalah mahluk pengganggu pencipta. “Pacarku kini lebih sibuk dengan suamimu,” kata Aline (Nicole Kidman) pada nyonya Perkins (Laura Linney).
‘Problem besar’ berikut sastrawan (lelaki) rupanya adalah soal menghadapi “komentar pembaca dan kritikus”. Masyarakat sastra Amerika menganggap Wolfe tak akan menjadi sebesar itu tanpa tangan midas Perkins. Setelah novel “Of Time and the River” berhasil meledak di pasar, hubungan mereka merenggang karena perkelahian dan kedua sahabat ini tak saling menyapa. Nama Thomas Wolfe menjadi rebutan banyak penerbit di New York. Dan seperti yang biasa dia lakukan, kata Aline Bernstein pada Perkins, “dia akan meninggalkanmu saat dia tak merasa butuh dirimu.”
Perkins, tanpa para penulis yang dibesarkannya,tak akan dikenal sejagat. Tapi para sastrawan yang melalui pensil merah yang menjagal banyak halaman yang tak berguna itu, juga belum tentu akan dikenal dan disukai karyanya hingga bisa menembus jaman. Ernest Hemingway (Dominic West) dan F.Scott Fitzgerald (Guy Pearce) muncul beberapa kali untuk menandai sejarah sastra dunia. Setelah Papa Hemingway menggerutu bahwa karya Thomas Wolfe adalah sampah, sementara si lembut hati Fitzgerald yang merasa buntu untuk menghasilkan karya baru, kedua nama besar itu seolah menyelip kembali ke dalam wikipedia sejarah sastra dunia.
Salah satu jasa film ini tentu saja memperkenalkan nama Maxwell Perkins yang selama ini hanya dikenal di lingkaran sastra belaka. Seorang penyunting unggul yang selalu mengatakan “seorang editor sebaiknya selalu anonim.” Tetapi ada pertanyaan penting yang pernah dia utarakan, yang bahkan tak terjawab hingga kini –bahkan di dalam dunia sastra Indonesia—bahwa “apakah seorang editor sekedar membuat sebuah novel menjadi lebih baik, atau kami sama sekali mengubahnya?”
Pertanyaan itu hingga kini tak terjawab. Sebuah karya sastra, pada akhirnya, mempunyai sejarahnya sendiri. Dan kita tak akan pernah tahu tangan-tangan mana yang sebetulnya menyebabkan karya itu menemui kegemilangan: sang penulis, sang editor, atau perkawinan keduanya?
Leila S.Chudori