SUPERNOVA, RIZAL DAN BINTANG JATUH


Novel pertama Supernova karya Dee Lestari diangkat menjadi film. Megah, mewah, penuh pemain cantik dan ganteng.

***

9999--SUPERNOVA--POSTERSUPERNOVA
Sutradara : Rizal Mantovani
Skenario : Donny Dhirgantoro dan Sunil Soraya
Berdasarkan novel “Supernova, Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh” karya Dewi “Dee” Lestari.
Pemain : Raline Shah, Herjunot Ali, Arifin Putra, Hamish Daud
Produksi : Soraya Intercine Films

Novel Supernova meluncur ke tangan pembaca seperti Bintang Jatuh. Bersinar, melesat dan mengejutkan. Untuk pembaca yang tak terbiasa dengan istilah ilmu pengetahuan –kecuali apa yang diperoleh di sekolah dan tak pernah menghubungkannya dengan gerak alam, tingkah manusia—saya termasuk yang terkejut dan menjadi pecandu. Berbagai urusan tata bahasa yang masih perlu disunting –untuk penerbitan pertama tahun 2001—dan istilah “pintar” yang terlalu banyak bertaburan akhirnya banyak diabaikan oleh penggemarnya.Dee menyajikan sebuah bentuk menarik: cerita dalam cerita dalam cerita yang saling membingkai sekaligus saling memagut. Pasangan gay Reuben dan Dimas yang menciptakan tokoh-tokoh Ferre, Rana dan Diva dan mereka masuk ke dalam jagat Supernova.Dengan cerdas, Dee kemudian membuat Reuben dan Dimas kelak juga terhubung oleh ‘Supernova’, sebuah jagat ciptaan mereka.

Dee mengaku bahwa Supernova: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh adalah sebuah kisah “evolusi spiritual yang terjadi pada tokoh-tokohnya melalui beberapa konflik—antara lain cinta segitiga dan jejaring misterius yang dijalin tokoh cyber bernama Supernova—yang mengubah pandangan mereka tentang jatidiri mereka”. Artinya, seluruh karakter bergerak mencari sesuatu: untuk Rana mencari kebahagiaan yang sesungguhnya; untuk Ferre : dia akhirnya bertemu seseorang yang berhasil mengguncang jiwanya.

Bagaimana para sineas ini menerjemahkan novel Dee ke layar lebar?

Novel ini bukan sebuah karya yang mudah untuk diadaptasi menjadi film. Apalagi sejak lahirnya “Supernova, Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh”, telah pula lahir adik-adiknya “Akar”, “Petir”, “Partikel” dan yang terbaru “Gelombang”. Artinya, di setiap novel ini, Dee menciptakan karakter baru dengan tujuan panjang dan sangat terencana. Tantangan Rizal dan para penulis skenario adalah membangun sebuah cerita yang bisa mandiri dalam satu film, sekaligus tidak mematikan kemungkinan lanjutan kisah. Secara keseluruhan, Rizal berhasil mengangkat lapisan-lapisan plot yang kompleks itu menjadi jalan cerita yang cukup runut. Secara visual, film ini memang habis-habisan memanfaatkan ‘beauty shot’, adegan-adegan pemandangan cantik dan mewah: adegan Rana (Raline Shah) dan Ferre (Herjunot Ali) bermesraan di atas kapal, berpelukan di sebuah villa (entah di Bali atau di Labuan Bajo, pokoknya cantiklah), di restoran. Semuanya serba gigantik dan penuh warna. Keren. Tapi pada sebuah film, tentu bukan hanya itu yang dicari. Ada keberanian Rizal ketika melompat melampaui teks Supernova. Dia menerjemahkan beberapa adegan impian dengan bagus. Rizal paham bahwa dalam mimpi kita memang sering terperangkap dalam lingkungan dan benda ganjil. Tokoh Ferre yang berada di gurun berhadapan dengan kaca yang meleleh atau pada detik lain Ferre dan pestol di tangannya tersedot ke dalam tanah seperti masuk ke dalam sumur tanpa dasar. Ini justru bagian paling menarik dari seluruh film.

Tapi, nampaknya para sineas (sutradara dan penulis skenario) ingin terlihat setia kepada novel. Kesetiaan itu ditunjukkan dengan mengambil dialog-dialog sesuai teks dalam novel, bukan pada strategi plot. Padahal dialog dalam sebuah buku akan selalu berbeda rasa ketika diucapkan. Supernova KPBJ adalah novel pertama Dee ke publik sehingga dialog dan pernyataan beberapa tokohnya yang berpanjang-panjang dan penuh istilah teknis akan lebih cocok untuk dibaca. Karena itu, ketika Reuben berpanjang-panjang menyebut teori paradoks kucing Schrödinger, kita garuk kepala karena jadi terasa aneh. Para penulis skenario dan sutradara bisa menyedot sumsum dari seluruh dialog dan menyemprotkannya kembali ke layar sesuai fitrah film agar dialog antar tokoh –baik antara Reuben dan Dimas , maupun antara Ferre dan Diva—tidak terdengar kaku dan tetap realistis.

Memang sejak awal Dimas (Hamish Daud) dan Reuben (Arifin Putra), pasangan yang enak dipandang mata itu, sudah menyatakan “ini adalah pseudo-Jakarta” sehingga memungkinkan anomali atau elemen antah berantah. Mungkin penonton akan memaklumi atau memaafkan keajaiban dialog itu walau harus diakui beberapa kali saat Ferre dan Diva saling melotot dan berbicara melalui pikiran kita akan bertanya “huh? Apaan?”

Bahwa plot cinta segitiga lantas menjadi plot utama sebetulnya tidak mengejutkan betul. Cinta segitiga selalu menjadi topik seksi untuk sebuah film. Dengan sendirinya, trio Rizal,Donny dan Sunil ‘menyingkirkan’ sebuah strategi plot Dee dalam kesinambungan Supernova, yaitu: Diva, sosok paling menarik dalam novel ini. Diva , seorang supermodel misterius yang sesekali menjadi pelacur kelas tinggi bukan untuk cari duit (karena sungguh dia sudah kaya raya), tapi lebih sekedar untuk melecehkan pelanggan lelaki yang bodoh dan dikuasai nafsu tubuh. Dia cerdas dan dengan santainya berbincang soal pemikiran Marx dengan pelanggannya dan bersedia tidak dibayar penuh ketika penis sang pelanggan letoy tak bertenaga. Dalam film ini, jangankan adegan seks, cium antara suami-isteripun absen. Diva di dalam film –diperankan seorang model yang menjulang tinggi, langsing dan mulus bernama Paula Verhoeven—muncul seperti seorang boneka cantik yang sebaiknya tidak perlu diberi dialog karena sungguh dia bukan seorang narator yang enak didengar. Itulah sebabnya, saya malah lega tokoh Diva dalam film ini tidak diberi tempat yang luas.

Akhir film ini sebetulnya bisa dipotong pada saat Diva berkelana dan duduk di pinggir danau. Pesan kepergian Diva –yang kemudian dicari banyak orang pada serial berikutnya—akan tercapai jika saja Rizal menghentikanya pada momen ini. Namun entah karena tak percaya diri, atau karena ingin meninggalkan rasa romantisme, terjadilah serangkaian adegan antiklimaks. Rizal memutuskan mengembalikan adegan-adegan kilas balik percintaan dan kemesraan Rana dan Ferre berulang-ulang, berkali-kali diiringi lengkingan musik Nidji (seperti juga Melly pada suatu masa, kini Nidji sudah terlalu betebaran di dalam film-film Indonesia).

Sekali lagi, bahwa Rizal Mantovani dan timnya telah berhasil mewujudkan visualisasi novel yang kompleks ini, menurut saya adalah pencapaian yang perlu dihargai. Seandainya Rizal lebih berani lagi mewujudkan novel ini dengan visual dan lebih tega membuang bagian-bagian repetitif itu, film ini bakal lebih terasa padat dan berisi.

Leila S.Chudori