TASBIH


Leila S. Chudori

9999--3 Tasbih bapak x

***

Di dalam s.e.r.u.n.i
kutelusuri diriMu.

SETIAP  kali melalui rumah itu, Nadira selalu membentangkan sebuah  skenario baru dalam benaknya.  Mungkin rumah itu milik seorang pengusaha; atau seorang pengacara yang gemar membela mafia. Atau seorang pejabat pemerintah yang rajin korupsi. Yang pasti, rumah itu bukan milik seseorang yang  rendah hati. Pemilik rumah ini begitu bersemangat  memperlihatkan seluruh harta bendanya dan kekuatannya.

Rumah itu terletak di sebuah pojok di kawasan Bintaro. Setiap kali Nadira baru saja mengunjungi rumah ayahnya di Bintaro pada akhir pekan, ia sengaja melalui rumah besar ini. Biasanya, Nadira meminta supir taksi yang ditumpanginya berhenti sejenak. Lima menit, atau 10 menit. Bahkan dia mempersilahkan sang supir merokok, sementara Nadira membuka jendela kaca taksi yang ditumpanginya, dan menatap rumah besar  dan mewah itu.

Rumah itu menonjol sendirian di antara rumah-rumah Bintaro yang memiliki format yang mirip antara satu dengan yang lain.  Rumah-rumah di kompleks Bintaro lazimnya lebih seperti deretan kotak korek api yang tak memiliki kepribadian. Rumah ini   berdiri dengan  angkuh di atas luas tanah yang tak terbayangkan; bertingkat empat itu disangga oleh tiang-tiang yang tinggi seolah ingin menggapai langit. Inilah perangai sang rumah:  megah, besar, dan mampu melahap manusia. Lalu, lihatlah motor-motor besar  yang terlihat galak itu, yang berpose di halaman depan dan bukan di dalam garasi yang  sangat luas?

Yang paling menarik mata Nadira adalah patung lelaki besar yang menyerupai sosok Napoleon itu. Wajah patung nampaknya digantikan oleh wajah empunya rumah: muka lelaki Jawa berusia sekitar 50-an dan berkumis tipis.

Di sekeliling patung Napoleon dari Jawa itu, Nadira melihat   dua patung cupid yang mendampinginya. Selain itu– nah, ini adegan yang paling disukai Nadira—tujuh patung perempuan  yang tengah menatap kagum kepada Napoleon. Nadira seolah bisa mendengar bisikan salah satu patung perempuan yang meminta Tuan Besar Napoleon untuk menyemprotkan kasih cintanya barang setetes. Nadira sengaja tak ingin bertanya pada pemilik warung rokok dipojok jalanan tentang identitas pemilik rumah ini. Ia lebih suka bermain-main dengan imajinasinya.

Setelah upacara mingguan itu selesai, Nadira kembali ke realita, ke atas taksi yang menantinya, lalu berangkat mengarungi lautan kemacetan Jakarta.

 

***

TARA MENGHELA nafas.

Lagi-lagi dia melongok ke bawah meja kerja yang penuh dengan buku-buku, beberapa boks dan seorang perempuan muda bergelung seperti seekor kucing yang kedinginan. Nadira Suwandi.

Tara tahu, Nadira ingin menenggelamkan seluruh kesedihannya ke kolong meja itu. Dia hanya akan keluar jika terpaksa. Terpaksa untuk bekerja.  Atau terpaksa melawan matahari. Mata Nadira masih terpejam. Tetapi, Tara tahu Nadira bukan sedang terlelap. Bibirnya komat-kamit mengucapkan entah apa. Arloji dinding majalah Tera menunjukkan pukul delapan pagi. Dan Nadira masih mengenakan baju yang sama seperti kemarin.

“Mas Tara….” Satimin berbisik sembari menggenggam tongkat pel, “saya ndak berani mbanguni mbak Dira…….”

Tara mengangguk dan memberi isyarat agar  Satimin mengepel di bagian lain saja dulu. Satimin mengangguk patuh. Tara memegang bahu Nadira dengan lembut agar Nadira tak terkejut. Perlahan-lahan Nadira membuka matanya. Begitu dia menyadari pemilik tangan yang membangunkannya, Nadira segera duduk tegak dan menggosok-gosok matanya. Dia keluar dari kolong meja; menyambar handuk dari salah satu lacinya.

“Selamat pagi, mas….saya ke kamar mandi dulu…”

“Saya tunggu di ruang rapat lantai delapan ya Dir…”

“Siap!”

Hanya 30 menit kemudian, Nadira sudah hadir di ruang rapat, lebih segar dan sudah berganti baju. Tara tersenyum, meski dia tak bisa menyembunyikan keprihatinannya. Nadira langsung duduk di hadapan Tara dan melirik ke kiri dan kanan.

“Yang lain mana?”

“Yang lain sedang liputan, Dir. Saya mau bicara…”

“Oh……” Nadira terdiam beberapa saat,  “saya juga mau mengajukan satu permohonan, mas…”

“Ya?”

“Saya tahu, kita tak boleh memilih penugasan. Tapi, hanya untuk minggu ini….saya minta untuk tidak dilibatkan tim laporan utama.”

Dalam keadaan biasa,  sang Kepala Biro  akan memberi ceramah dua jam tentang filsafat majalah Tera: bahwa siapapun tak boleh menolak penugasan yang diberikan. Tetapi setelah tiga tahun kematian ibu Nadira, Tara tak pernah melihat Nadira tersenyum atau menangis (kecuali ketika mereka  menemukan bunga seruni yang mengiringi kepergian jenazahnya ke liang lahat). Diam-diam Tara memperhatikan, Nadira sudah tak memiliki emosi. Apa yang disebut emosi (yang diperkirakan Tara bersatu padu dengan “hati”. Dan dalam hal ini Tara tak ingin berdebat apakah hati seharusnya merupakan terjemahan dari “jantung” atau “liver”),  seperti ikut-ikutan menguap bersama roh sang ibu; dan seolah  tak ada rencana kembali ke tubuh Nadira. Dengan kata lain, selama tiga tahun, Nadira tak pernah melakukan apapun selain bekerja 24 jam sehari, tujuh hari dalam seminggu.

 

(Selengkapnya baca di kumpulan cerita  9 dari Nadira, berjudul Tasbih, Kepustakaan Populer Gramedia, 2010)