“Apa Kata Mereka”
Ignas Kleden, sosiolog
Berdasarkan ukuran pribadi, novel “Pulang” adalah salah satu novel yang bisa menahan saya untuk membacanya secara kontinu. Deskripsi sejarah politiknya bagus. Teknik surat yang terlalu banyak bukanlah hal selalu dipujikan dalam novel, dalam hal “Pulang”, surat-surat itu meyakinkan saya sebagai otentik. Mungkin ini dokumen literer terlengkap tentang krisis-krisis politik yang menempatkan Indonesia pada titik to be or not to be.
Bagus Takwin, Pengajar Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Penataan adegan dalam novel ini memberi kesan visual yang kuat. Citra-citra visual membentang di benak saya seperti sedang menonton film. Lebih dari sekadar menonton, pikiran saya juga digugaj terus oleh rangsangan verbal dari rangkaian kata yang dipancarkannya. Leila juga mahir memanfaatkan gaya bahasa. Sejak awal, tuturan yang bernas disebar dalam novel.
(Majalah Tempo, 23 Desember 2012)
Goenawan Mohamad, penyair
Mungkin itu juga sebabnya, pada akhirnya novel ini adalah cerita tentang generasi umur 20-an yang aktif untuk mengubah Indonesia ke sebuah masa depan. Pulang praktis tanpa nostalgia: anak-anak muda yang kemudian mengambil alih kisahnya justru menghendaki sebuah republik yang lain, dengan kemerdekaan yang tak pernah dinikmati ayah dan ibu mereka sejak di bawah “Demokrasi Terpimpin” Bung karno sampai dengan “Orde Baru” Soeharto.
(Catatan Pinggir, Majalah Tempo, 23 Desember 2012)
Seno Gumira Ajidarma , sastrawan
Teknik novel Pulangmenggunakan apa yang dalam film disebut “seamlessness realism“. Artinya jika dalam film, waktu menyaksikann film tidak terasa seperti sedang menonton film, melainkan terasa berada di dalam suasana yang ditampilkan. Kalau dalam konteks membaca (novel ini) artinya saat membaca terasa tidak sedang membaca, tetapi sedang berada di dalam situasi yang digambarkan novel.
(Pada diskusi novel Pulang, Universitas Padjadjaran, Desember 2012)
Amarzan Loebis, penyair, Redaktur Senior Tempo
Tanpa pretensi, novel “Pulang” masuk ke dalam ikhtiar merawat ingatan tentang salah satu “gempa politik” terbesar di negeri ini. Karya yang luarbiasa, asyik tapi tetap sederhana.
David Wahyu Hidayat, karyawan bank swasta dan blogger
Bagi banyak orang, buku ini akan mencelikkan mata sejarah baru, membangkitkan rasa ingin tahu untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada waktu itu. Selain itu, buku ini akan melahirkan rasa cinta tanah air yang baru. Bahwa apapun suku, campur atau tidak campur, pandangan politik; kita semua yang lahir di I.N.D.O.N.E.S.I.A berhak menjadi warga negara dan mencintai tanah air ini. Itu tercium di dalam cerita Dimas kepada Lintang mengenai Ekalaya, dalam bau masakan menggiurkan di restoran “Tanah Air” yang digambarkan dengan sangat sempurna, dan mengapa kata reformasi begitu dekat pada dada Lintang, seperti bau tanah Karet yang begitu familiar pada hidung Dimas.
Maria Hartiningsih, wartawan Kompas
‘Pulang’ diantar oleh rasa bahasa indah dan kuat, menyentuh, nakal, romantis, menggelitik, sekaligus pahit humor-humornya. Dialog-dialognya mantiki. Sangat terasa, novel ini ditulis dengan pemahaman matang tak hanya tentang sejarah, tetapi terutama tentang hidup.
Maka, berbeda dengan banyak novel bertema sama, ‘Pulang’ terbebas dari jebakan merayakan korban, yang malah melebarkan jarak dengan tragedi politik dan kemanusiaan yang tak pernah terselesaikan. ‘Pulang’ terasa ditulis tanpa pretensi sosial mau pun personal, tak ada beban ideologi dan otoritas untuk menempatkan kebenaran penulis sebagai yang utama. Dengan begitu, kisah dalam novel ini menjadi sangat dekat, bahkan seperti menjadi bagian kehidupan kita.
Amahl S.Azwar, journalist
Despite the political situation that year –which saw the fall of the Soeharto’s New order—through the eyer and lenses of Lintang, the readers find heartfelt testimony from those suffering expulsion from society.
The Jakarta Post January 6, 2013
Yenni Kwok
Saya sangat terkesan dengan kepekaan Leila S.Chudori dalam penulisan karakter-karakter di dalam novel ini, terutama mereka yang dicap berdosa politik.
John McGlynn, Lontar Foundation
Novel “Pulang” adalah sumbangan penting bagi sastra dan sejarah Indonesia
Djoko Sri Moeljono, bekas tahanan Pulau Buru
Mungkin karena saya eks-tapol maka saya bisa menghayati isi novel “Pulang”. Mata saya berkaca-kaca membaca acara makan malam di rumah Priasmoro, dimana tokoh Lintang membeberkan soal Restoran Tanah Air dan peran ayahnya. Novel ini memang fiktif, tapi saya hanyut, dan dalam benak saya seperti bukan fiksi.
Ananda Sukarlan, pianis, komponis
Pulang is my book of the year. Wajib diterjemahkan ke bahasa-bahasa lain.
Ardita Cesari- Goodreads Indonesia
I haven’t read good story in Bahasa Indonesia for quite a while. I’d like to say “Pulang” shed a light on many things. It’s a new hybrid of a genre that comes with a bibliography (which means: pretty thorough research). The characters study, the plot, the sub-plot, the atmosphere building, and the intimacy were just the right dose. For me, at least. It didn’t burden you with heavy theories, mind-boggling facts and philosophy. It was a story about four men and their families and friends (though not all were included, otherwise it would be biblical) caught in a political storm…. I’d really love to see this book goes into cinema, with serious research and scriptwriting and all. Otherwise, it would be a huge waste of talent and story ideas if this book is not properly translated into cinematic experience.