“Pulang”, Sebuah Novel
JALAN SABANG, JAKARTA APRIL 1968
Malam sudah turun,tanpa gerutu dan tanpa siasat.
Seperti jala hitam yang mengepung Jakarta; seperti tinta yang ditumpahkan seekor cumi raksasa ke seluruh permukaan Jakarta. Seperti juga warna masa depan yang tak bisa kuraba.
Di dalam kamar gelap ini, aku tak mengenal matahari, bulan atau arloji. Tetapi kegelapan yang mengepung ruangan ini penuh dengan aroma bahan kimia dan rasa cemas.
Sudah tiga tahun kantor berita Nusantara, tempatku bekerja, dibersihkan dari debu seperti kami. Tentara adalah disinfektan. Kami, kutu dan debu yang harus dibersihkan dari muka bumi. Tanpa bekas. Kini sang kuru mencari nafkah di Tjahaja Foto di pojok Jalan Sabang.
Aku menyalakan lampu merah untuk mengecek beberapa film yang tengah digantung. Mungkin ini sudah jam enam, karena aku bisa mendengar sayup suara adzan Magrib yang menyelip melalui kisi pintu. Aku membayangkan suasana sepanjang jalan Sabang, suara bemo yang cerewet, opelet yang bergerak dengan malas, derit becak dan kelenengan sepeda yang simpang siur menyeberang serta penjual roti yang menyerukan dagangannya. Aku yakin di tengah mengulek kacang tanah lalu mencampurnya dengan kecap manis dan irisan bawang merah.Dan aku masih ingat betapa sahabatku, Dimas Suryo, akan mempelajari dan membahas bumbu kacang tanah Pak Heri dengan intens, sama seperti dia membicarakan bait-bait puisi Rivai Apin.
Semua kerewelan di luar itu biasanya ditutup dengan bunyi siulan gerobak Soehardi, penjual kue putu langganan kami yang senantiasa berhenti di depan Tjahaja Foto. Selain aroma sate kambing pak Heri, suara siulan itulah yang bisa menembus memasuki kamar gelap. Biasanya, kamar gelap ini bisa mengalihkan suara-suara melalui warna hitam yang mematikan. Tetapi bunyi dan aroma kue putu itu selalu berhasil mengetuk pintu dan jendela. Itu pertanda aku harus keluar dari ruang yang tak mengenal waktu ini.
(Bersambung di dalam novel Pulang, penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, 2012)