Rindu Abadi Kaum Eksil
JUDUL BUKU : Pulang
PENULIS : Leila S. Chudori
HALAMAN : viii + 464 halaman
PENERBIT : Kepustakaan Populer Gramedia
TAHUN TERBIT : Desember 2012
BUKU novel Pulang ini, boleh dibilang, terbit pada waktu yang tepat. Pada zaman yang sudah berubah: ketika kondisi Indonesia sudah berbeda drastis dibanding ketika tahun 2000-an. Andai saja buah karya Leila S. Chudori ini dilepas ke pasaran sebelum tahun 2001, bisa dipastikan akan mengalami nasib yang sama buruknya dengan buku-buku kekiri-kirian yang terbit ketika itu –dan tahun-tahun sebelumnya. Ya, sejarah kelam perbukuan negeri ini telah mencatat, pada 19 April 2001 silam terjadi pembakaran dan aksi sweeping atas buku-buku yang dianggap kekiri-kirian.
Definisi kekiri-kirian yang paling sederhana tercermin dalam kebijakan pemerintah RI (Departemen Dalam Negeri). Kebijakan yang diterbitkan pada era 1080-an itu berisi tentang ’’Bersih Diri’’ yang dikenakan kepada mereka yang terlibat dalam G 30 S PKI, anggota PKI dan anggota organisasi sejenisnya. Juga, ’’Bersih Lingkungan’’ yang dialamatkan kepada anggota keluarga mereka yang telah dicap komunis. Segala hal yang terkait dengan marxisme-komunisme tidak boleh hidup. Sekalipun hanya dalam bentuk buku. Puncaknya, mungkin karena kewalahan, belakangan menjalar ke aksi pembumi-hangusan karya-karya yang beraroma kekiri-kirian.
Nah, buku novel Pulang secara gamblang mengisahkan perjuangan mempertahankan hidup kaum eksil di Prancis. Kisah hidup para tokoh dalam novel berhalaman 464 lembar ini bisa jadi merupakan representasi pengalaman sebagian besar korban kekerasan politik yang terjadi sekitar 1965. Tepatnya, September 1965.
Kisah perih novel bersampul kuning ini diawali oleh tokoh sentralnya, Dimas Suryo, wartawan yunior Kantor Berita Nusantara. Dia harus menggantikan redakturnya, Hananto Prawiro, berangkat ke Cile bersama seniornya, Nugroho, pada September 1965. Hananto tidak bisa menghadiri konferensi wartawan internasional (International Organization of Journalists) di Santiago, Cile, karena harus menyelesaikan masalah keluarga. Dia sedang berselisih berat dengan istrinya, Surti Anandari. Surti sendiri merupakan cinta abadi Dimas yang telah direbut oleh Hananto. Meski sudah menikah dengan Vivienne Deveraux (mahasiswi-aktivis Univesitas Sorbonne, Prancis) dan dikaruniai seorang anak perempuan, Lintang Utara, Dimas tidak pernah bisa melupakan Surti. Dimas masih menyimpan dengan rapi perasaannya kepada Surti. Leila C. Chudori berhasil mengemas drama cinta Dimas-Surti-Vivienne dengan racikan yang memukau. Mengalir seperti air dan tidak lebay laiknya novel-novel cinta umumnya.
Dimas tidak menyangka kepergiannya ke Santiago adalah awal petaka baginya. Bersama Risjaf yang sedang berada di Havana, dia dan Nugroho tidak bisa kembali ke tanah air. Sebab, mereka menjadi target operasi ’’perbersihan’’ rezim Orde Baru. Dimas bingung. Dia merasa tidak pernah tepesona pada ideologi Marx seperti para seniornya. Penulis novel ini seolah ingin menegasi bahwa dalam kondisi politik seperti pada 1965 orang harus pandai-pandai memilih: ikut komunis dan underbow-nya sekalian atau tidak sama sekali. Dan, Dimas tidak pandai memilih. Dia tidak tertarik untuk ikut-ikutan Hananto cs yang diam-diam gemar membaca dan mengikuti diskusi ideologi Marx. Tetapi, pada saat bersamaan, dia juga tidak berminat terhadap Masjumi. Sekali pun dia akrab dengan salah satu aktivis Masjumi, Bang Amir. Konsekuensi atas sikap tidak punya pilihan itu, Dimas harus menanggung ’’dosa politik’’ yang memaksanya berpisah dengan negeri yang sangat dicintainya.
Dari Santiago, Dimas dan Nugroho berkelana ke Havana, Peking, dan akhirnya hinggap di Prancis. Di negeri mode itu pergulatan hidup dimulai oleh empat serangkai eksil: Dimas Suryo, Nugroho, Risjaf, dan Tjahjadi (Tjai). Mereka memulai kehidupan baru dengan mendirikan restoran ”Tanah Air’’ di Paris. Restoran itu cepat terkenal. Bukan semata karena menyajikan kuliner khas Indonesia yang kuat di bumbunya. Melainkan, karena juga menggelar pameran dan diskusi tentang Indonesia. Tempat itu pun menjadi oase penumpahan buncah rindu pada tanah air, Sekaligus menjadi sebentuk perlawanan atas rezim Orde Baru yang telah menangkal mereka pulang ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Meski sudah mapan dengan restoran ’’Tanah Air’’, bagaimana pun, para eksil itu tetap ingin kembali ke tanah air. Tempat mereka dilahirkan. Setidaknya itulah yang ditangkap oleh Vivienne, ’’Semua buku yang kubaca memiliki teorinya masing-masing tentang apa yang terjadi pada bulan September 1965. Pada tahun-tahun perkenalanku dengan Dimas, Tjai, dan Risjaf, tak mudah bagiku untuk memahami mereka yang diutarakan begitu sporadik. Meski banyak peristiwa yang mereka alami bersama, sebagai pengelana mereka adalah pribadi-pribadi yang berbeda, yang mempunyai reaksi tak sama terhadap tragedi di tanah airnya. Semuanya ingin pulang dan ingin mempunyai kesempatan melihat Indonesia yang lebih baik (hal. 206)
Plot novel ini melompat-lompat. Misal, saat asyik menikmati suasana tahun 1997 dalam subjudul L’IRREPARABLE, tiba-tiba pembaca diseret ke suasana 1994 (Hal 169-183). Lompatan dan bolak-balik kilas kejadian terjadi beberapa kali. Tentu saja, tidak mudah menulis kisah seperti. Butuh keterampilannya khusus dan jam terbang tinggi. Dan, Leila yang sudah menghasilkan beberapa karya novel sukses melakukannya dalam novel Pulang. Salah satu indikatornya, pembaca tidak bingung meski alur ceritanya bolak-balik: dari masa sekarang ke masa lampau, kemudian balik lagi dari masa lampau ke sekarang-masa lampau-masa sekarang.
Riset mendalam yang dilakukan penulis sejak 2006 tentang peristiwa pasca-65 di Indonesia dan Prancis sampai reformasi 1998 di Indonesia, membuat novel ini serasa pembaca mendapatkan kesaksian sejarah yang selama ini ’disembunyikan’.
Akhirnya, beberapa kesalahan ketik tidak sampai mengganggu keasyikan membaca novel yang meramu dengan apik antara kisah cinta, bunga, kuliner dengan politik dan ideologi.
*) Wartawan Jawa Pos, menulis dua buku puisi: Jarang Goyang (2009) dan Haiku Sunrise of Java (2011)