KEBARUAN DALAM 9 DARI NADIRA


Maman S Mahayana

Konsep cerpen—novel akhirnya gagal mempertahankan dirinya.[1] 9 dari Nadira (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Oktober 2009, xi + 270 halaman) karya Leila S. Chudori boleh mengajari para penghamba teori untuk tidak lagi bersikukuh pada konsep.[2] Bukankah teks sastra yang melahirkan teori? Maka ia harus rela mendahulukan teks (sastra) yang berhasil menyibakkan rimbun teori dalam membuka jalan baru. Itulah yang terjadi pada 9 dari Nadira yang berada pada garis demarkasi cerpen—novel. Jadi, sinyalemen Budi Darma tentang 9 dari Nadira sebagai novel, patutlah dipertimbangkan.[3] Bahkan, mengingat


* Makalah Diskusi 9 dari Nadira, diselenggarakan Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, Salihara, 2 Agustus 2010.* Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Kini bertugas sebagai dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan.[1] Sejak awal pertumbuhannya, konsep cerpen (cerita pendek) memang tidak mengadopsi konsep cerpen (short stories) dari Barat. Sejak sejumlah penerbit swasta menerbitkan karya-karya sastra, penyebutan cerita dan hikayat sering digunakan dalam pengertian yang sama. Penulisan kata Hikayat pada sejumlah cerita –novel dalam pengertian sekarang—seperti Hikajat Soeltan Ibrahim (1890), Hikajat Amir Hamzah (1891), Hikajat Njai Dasima (1896) karya G. Francis sampai ke Hikayat Kadirun (1920) karya Semaun, Hikajat Soedjanmo (1924) karya Soemantri serta karya para penulis Cina Peranakan menunjukkan adanya hubungan yang sangat dekat dengan hikayat dalam kesusastraan Melayu lama. Jika kita mencermati cerpen-cerpen Indonesia yang awal, maka di satu sisi, terbuktilah, bahwa penulisan prosa Indonesia modern dimulai dari cerpen, dan di sisi lain, menegaskan bahwa kesusastraan Indonesia tidak lahir dari sebuah kekosongan. Ada sebuah perjalanan yang bergulir mencari jati dirinya. Lihat saja majalah Sahhabat Baik yang pertama kali terbit Desember 1890, sebagai kelanjutan Soerat Kabar India-Nederland. Dinyatakan dalam semacam kata pengantar majalah itu: “Sabermoela kita mengchabarkan jang Soerat Kabar India—Nederland jang tjontonja tahoen lennyap di kirimkan kepada sekalijan orang isi negri di Tanah India—Nederland tidak boleh di teroeskan terbitnja, maka sebab ija tidak dapat pertoeloengan bagaimana mestinja… (dikutip sesuai aslinya), di dalamnya termuat cerita pendek berjudul “Tjerita Langkara dari Orang Isi Negeri jang Soeloeng di Poelaoe Djawa,” dan beberapa cerita pendek lain. Di dalam subjudulnya majalah itu, tercantum keterangan berikut ini: Hikajat, tjerita, dongeng, sjair, pantoen, dan lain-lain dari pada itoe. Di Koempoelkan dan di hijasi dengan bebrapa gambar ….”

[1] Konsep cerita pendek sebagai cerita yang ringkas dan padat –apalagi dengan singkatan cerpen—pada awal abad ke-20 memang belum begitu jelas. Cerita bersambung (feuilleton) juga disebut sebagai cerpen. Pada dasawarsa kedua abad ke-20 penamaan cerita pendek sudah mulai jelas menunjuk pada cerita-cerita yang pendek dan ringkas yang dimuat media massa. Meskipun begitu, masih banyak cerita bersambung yang disebut cerpen. Bahkan, pada zaman Jepang, cerpen pemenang pertama lomba penulisan cerita pendek, “Setinggi-tinggi Terbang Bangau” karya Andjar Asmara yang kemudian dimuat dalam majalah Djawa Baroe secara berturut-turut selama tujuh edisi (No. 1, 1 Januari 1943— No. 7, 1 April 1943), tetap disebut sebagai cerpen, meskipun jika dilihat dari jumlah halamannya lebih tepat dikatakan sebagai novel. Oleh karena itu, sangat wajar jika konsep cerpen belum begitu tegas benar.

[1] Budi Darma dalam backcover buku itu menyatakan: “Kendati potongan kisah dalam kumpulan ini ditulis dengan jeda yang lama, pada hakikatnya potongan ini bukan kumpulan cerpen (kecuali “Kirana”), namun sebuah novel yang utuh mengenai sebuah keluarga dari dua generasi ….” Lihat juga Budi Darma, “9 dari Leila,” Tempo, 6 Desember 2009, hlm. 44.

pemaknaan karya (sastra) sangat bergantung pada pembaca, maka sesungguhnya pembaca punya hak penuh untuk memperlakukan 9 dari Nadira sebagai novel atau antologi cerpen. Dalam hal ini, bukan berarti tafsir pembaca secara tidak bertanggung jawab bebas memperlakukan karya sastra sebagai novel atau antologi cerpen, melainkan karena karya itu sendiri membuka peluang terjadinya penafsiran ke arah sana: novel atau antologi cerpen.
Meski begitu, perkara konsep cerpen—novel secara intrinsik lebih menyangkut pada keberkaitan dengan waktu penceritaan dan waktu cerita.[1] Capaian estetiknya tetaplah harus dapat teruji berdasarkan ekselensi dan eksesnya dalam mengusung sebuah bangunan cerita.[2] Di sinilah, 9 dari Nadira seperti menceburkan saya pada hamparan danau metafora dengan


[1] Waktu cerita adalah rentang waktu suatu cerita berlangsung yang terungkap dalam cerita rekaan (cerpen atau novel) berkenaan dengan riwayat hidup tokoh-tokohnya. Lihat Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1988), hlm. 103. Waktu cerita dalam Sitti Nurbaya, misalnya, menunjukkan rentang waktu lebih dari lima puluh tahun, karena di sana digambarkan sosok tokoh Samsul Bahri sejak remaja sampai meninggal dunia. 9 dari Nadira menceritakan dua generasi ibu dan anak yang dimulai sekitar tahun 1963—2000-an. Adapun yang dimaksud waktupenceritaan adalah rentang waktu seseorang menghabiskan bacaannya. Berdasarkan konsep itu, maka yang dimaksud cerita pendek (cerpen) adalah prosa yang memuat beberapa ribu kata dan pembacaannya dapat diselesaikan tidak lebih dari satu atau dua jam saja. Waktu penceritaan novel, dengan kekuatan membaca yang terus menerus, mungkin baru dapat diselesaikan lebih dari tiga—empat jam, karena cerita dalam novel memerlukan lebih dari lima puluh ribu kata untuk menyampaikan narasi atau deskripsinya. Inilah salah satu alasan pemilahan cerpen—novel. Jika kriteria cerpen—novel ditentukan berdasarkan jumlah kata yang representasinya dilakukan berdasarkan waktu penceritaan. Jika 9 dari Nadira menunjukkan kisahan yang lepas-lepas dengan tokoh-tokoh yang berlainan, maka konsep cerpen tak bermasalah di sana.Tetapi 9 dari Nadira mengungkapkan kisahan yang bersambungan dengan fokus pada tokoh Ibu (Kemala) dan anak (Nadira). Jadi, jelas pula benang merahnya. Dengan begitu, 9 dari Nadira memenuhi syarat sebagai sebuah novel, sebagaimana yang terjadi pada novel Para Priyayi, Umar Kayam.

[2] Dalam kajian struktural yang sudah menyebar dalam pengajaran sastra di sekolah, bahkan penerapannya dapat kita cermati dalam sejumlah besar skripsi di fakultas sastra di berbagai perguruan tinggi kita, konsep unsur-unsur intrinsik sering kali dipahami secara terpisah-pisah, tidak sebagai sebuah struktur bangunan. Akibatnya, analisis struktural yang coba menelisik salah satu unsur intrinsik karya sastra, hampir tidak pernah dihubungkaitkan dengan unsur lain untuk melihat peranan unsur itu secara fungsional. Alur atau tokoh, misalnya, masing-masing seperti berdiri sendiri, sehingga analisisnya tak menyentuh unsur lain. Bukankah setiap unsur itu berjalin kelindan membentuk sebuah struktur? Bukankah alur tidak mungkin akan hadir dan menciptakan rangkaian peristiwa jika di sana tak ada tokoh yang menjalankannya. Bukankah tokoh itu pun hadir dan bermain menjalankan peranannya lantaran ia berada dalam latar (tempat, waktu, dan suasana) terjadinya peristiwa. Dalam konteks itu, untuk menentukan apakah unsur-unsur intrinsik dalam 9 dari Nadira secara keseluruhan menciptakan sebuah kesatuan yang saling berkelindan secara fungsional, maka analisis setiap unsur itu harus dihubungkaitkan dengan unsur lainnya. Saya melihat, setiap unsur dalam 9 dari Nadira menjelma menjadi bangunan yang kokoh sebagai kesatuan struktural. Jadi, tak ada kesan berat sebelah, termasuk juga bagian yang bertajuk “Kirana” (hlm.165—180). Bagian ini sesungguhnya seperti hendak memperkuat problem psikologis tokoh Nadira. Mula-mula, ia protes pada keputusan kakaknya, Nina untuk menikah dengan Gilang Sukma yang ia rasakan juga “ketidaksetiaannya”. Rumah tangga Nina—Gilang akhirnya bubar. Belakangan, ia pun ternyata melakukan pilihan yang sama buruknya ketika memutuskan menikah dengan Niko yang kemudian juga berakhir dengan perceraian. Jadi, fragmen pertunjukan tari Kirana yang disusun secara tumpang-tindih dengan gambaran rumah tangga Nadira, seperti dua kisah yang masing-masing berdiri sendiri, padahal justru hendak menegaskan “penyesalan” Nadira yang seolah-olah hendak dibantahnya. Atau, Nadira mengakui kekeliruannya, tetapi coba ditutupi, tanpa harus melakukan penyesalan. Jadi, tarian Kirana bersifat metaforis sebagai representasi problem psikologis Nadira.

segala gelombang kata-kata bersayap. Dan bahasa Indonesia yang kerap dituding miskin daya ungkap, menjelma menjadi serangkaian tata kalimat yang penuh pesona, begitu plastis, lincah dalam permainan berbagai majas dan idiom.[1] Segalanya jadi terasa segar—renyah, bahkan terkadang juga suram—murung, bergantung pada peristiwa yang digambarkannya. Perhatikanlah kutipan berikut ini yang memperlihatkan suasana batin ditegaskan oleh gambaran suasana alam. Dengan demikian, penghadiran metafora itu fungsional mendukung kondisi kejiwaan si tokoh. Ia tak sekadar menciptakan keindahan bahasa, melainkan efektif memperkuat karakterisasi.

Nina tiba di Greenwich Village dan memburu angin malam seperti seekor anjing betina yang tengah dikejar angkara-murka. Di depan studio mini Gilang, Nina menghentikan langkah. Nafasnya tersengal. Dia ragu. Sayup-sayup dia mendengar bunyi gendang. Nina masuk dari pintu samping. Gelap. Suara gendang itu semakin jelas merayap ke telinganya. Kini semakin dekat, Nina mendengar kombinasi suara gendang dan suara desah, suara-suara erangan. Jantung Nina berdegup.

Meski gelap, Nina bisa menyaksikan sebuah adegan melalui jendela. Sebuah adegan yang sangat dikenalnya. Meski hanya ada seurai cahaya bulan yang menyelinap masuk ke lantai studio itu, Nina bisa melihat Gilang duduk bersila tepat di tengah studio. Seperti biasa, seperti beberapa tahun silam, Gilang duduk bersila telanjang dada. Tapi kini bahunya yang bidang dan dadanya yang padat dan keras itu ditutup oleh rambut panjang seorang perempuan yang duduk di pangkuannya. Bunyi gendang itu menghentak semakin cepat, semakin keras, dan semakin riuh mengikuti naik-turunnya gerakan perempuan itu.

Nina terpaku. Udara dingin New York telah membuat dia beku. (hlm. 55)

Perhatikan alinea penutup dalam kutipan itu: Nina terpaku. Udara dingin New York telah membuat dia beku. Bukankah itu seperti mewakili keseluruhan jiwa—raga Nina yang melihat suaminya berselingkuh, sementara alam justru tak memberinya kesempatan untuk mencari ketenangan. … membuat dia beku efektif menggambarkan sebuah badai besar yang menghantam jiwa tokoh itu. Dengan begitu, metafora dalam kutipan itu fungsional memperkuat karakterisasi tokoh Nina.


[1] Bandingkan gaya bahasa Nukila Amal dalam Cala Ibi dengan Leila S. Chudori dalam 9 dari Nadira ini. Menurut hemat saya, permainan bahasa Nukila dengan segala metaforanya, cenderung sebagai bahasa puitik yang simbolik. Akibatnya, karakterisasi tokoh dan latar tempat agak terabaikan (: berat sebelah). Leila S. Chudori juga mengembangkan metafora dengan berbagai ungkapan dan idiom, tetapi ia tidak meninggalkan perhatiannya pada karakterisasi (: konflik batin) tokoh ibu—anak (Kamila—Nadira) yang kemudian turut mempengaruhi sikap dan perilaku tokoh lain dalam berhubungan dengan kedua tokoh itu. Artinya, karakterisasi kedua tokoh itu memungkinkan hadirnya konflik lain yang menggelindingkan peristiwa demi peristiwa seperti tidak terlepas dari keberadaan dan peranan kedua tokoh itu. Jadi, metafora yang coba dikembangkan Leila S. Chudori tidak semata-mata demi menciptakan narasi yang indah (dan puitis), tetapi justru menegaskan fakta psikologis, bahwa batin kedua tokoh itu memang mengidap masalah yang representasinya wujud dalam segala tindakan menyimpang, emosional-meledak-ledak, dan kadang kala menentang dan menantang kelaziman.Tokoh-tokoh yang hadir dalam 9 dari Nadira sesuai tuntutan tema cerita dan tokoh mana yang hendak disoroti, gonta-ganti bertindak sebagai narator. Pusat penceritaan (focus of narration)[1] pun menyerupai adegan-adegan film dengan kamera yang menyoroti siapa saja yang dianggap bakal mendukung keseluruhan cerita. Di sinilah kepiawaian sutradara diuji. Apakah lintasan-lintasan peristiwa masa lalu, pemotretan pada tokoh tertentu, atau pergerakan pemain figuran, mirip pola serial silat Kho Ping Ho atau film-film Bollywood?[2] Pola kilas balik lintasan masa lalu, pergantian pencerita, pergeseran pusat penceritaan, jika tak hati-hati, sering menggelincirkan pada lubang kosong, menghadirkan rumpang, atau terkesan mengulur tegangan secara eksesif, bahkan lewah. Jika begitu, ia akan menjadi lanturan (digression), seperti bentuk surat pada novel-novel awal Balai Pustaka atau propaganda politik karya-karya zaman Jepang.[3]


[1] Pusat penceritaan adalah salah satu teknik bercerita ketika narator gonta-ganti menyoroti tokoh-tokohnya. Untuk menentukan tokoh utama dalam sebuah cerita rekaan, boleh juga dilakukan dengan mencermati aspek ini. Novel Para Priyayi karya Umar Kayam, misalnya, sejumlah tokoh dalam novel itu bertindak sebagai pencerita (narator), tetapi pusat penceritaan para narator itu tetap tidak beranjak jauh dari tokoh Sastrodarsono. Dan di bagian akhir, pusat perhatiannya bergeser ke tokoh Lantip. Pusat penceritaan ini dalam beberapa analisis sering disamakan dengan sudut pandang (point of view), padahal sesungguhnya merupakan dua konsep yang berbeda. Sudut pandang adalah tempat pengarang melihat semua atau beberapa tokoh rekaannya melalui tempat atau posisi keberadaan pencerita (narator). Dalam 9 dari Nadira pergantian pencerita memaksa pengarang melakukan pergantian sudut pandang. Tetapi pusat penceritaannya tetap jatuh pada tokoh Nadira. Periksa misalnya bagian “Sebilah Pisau” (hlm. 182—209) yang menampilkan pencerita tokoh Kris dan “Utara Bayu” (hlm. 212—232) yang menampilkan pencerita tokoh Utara Bayu. Dengan pusat penceritaan tetap pada tokoh Nadira, maka tokoh ini dilihat dari sudut pandang tokoh yang berbeda (Kris dan Utara Bayu).

[2] Dalam serial silat Kho Ping Ho, kilas balik lebih berfungsi untuk menjelaskan latar belakang tokoh tertentu, baik yang menyangkut riwayat hidupnya, ilmu atau kesaktian yang dipelajarinya, maupun untuk menceritakan tokoh lain. Mengingat kisahan dalam kilas balik sering terlalu panjang, maka bagian itu cenderung membentuk alur cerita sendiri. Dalam film-film Bollywood, kilas balik ini kerap diulang-ulang untuk menegaskan penyebab peristiwa, sehingga akibat yang ditimbulkannya jelas konteks hubungan sebab-akibatnya. Pengulangan itu cenderung didasarkan pada konsep karma dalam doktrin Hinduisme, bahwa setiap orang akan menerima karmanya sendiri sesuai dengan perbuatannya di masa lalu. Jika kemudian alur cerita film-film Bollywood itu terkesan bertele-tele, ya memang karena estetikanya justru terletak di situ; pada konsep karma. Pola yang digunakan dalam 9 dari Nadira, sesungguhnya bukanlah hal baru. Dalam sejarah novel Indonesia, teknik bercerita seperti itu rupanya telah banyak diterapkan para novelis kita. Sebut misalnya, Nur Sutan Iskandar, Hulubalang Raja (1934), Hamka, Di Bawah Lindungan Kabah (1938), Achdiat Karta Mihardja, Atheis (1934), Nasjah Djamin, Gairah untuk Hidup dan untuk Mati (1968), Ajip Rosidi, Anak Tanah Air, Putu Wijaya, Pabrik, sampai ke Dadaisme karya Dewi Sartika (pemenang pertama Dewan Kesenian Jakarta, 2003) atau Tabula Rasa karya Ratih Kumala (pemenang ketiga Dewan Kesenian Jakarta, 2003) juga memanfaatkan teknik kilas balik dan pergantian pencerita seperti itu.

[3] Bentuk surat dalam sejumlah novel terbitan Balai Pustaka yang awal (Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, Darah Muda, Asmara Jaya, Salah Asuhan, bahkan juga Tenggelamnya Kapan van der Wijck), selain memperlihatkan belum hilangnya pengaruh hikayat, juga terkesan sekadar memperpanjang cerita. Padahal, bisa saja bentuk surat itu disampaikan dalam satu dua kalimat. Dalam karya-karya zaman Jepang, lanturan itu seperti sengaja dihadirkan untuk menyampaikan pesan ideologi yang berkaitan dengan propaganda politik Jepang tentang semangat Tiga A.

9 dari Nadira ternyata pergi jauh mengubur model itu. Segala kisah memang berseliweran. Menclak-menclok di beberapa kota dunia, atau bolak-balik antara masa lalu dan masa kini. Kerap juga imajinasi kita dibawa melayang ke dunia di entah-berantah, tetapi terasa sangat dekat. Tiba-tiba saja kita seperti disergap peristiwa nun jauh di sana, tetapi tokh rasanya ikut terlibat di situ. Tentu saja itu dimungkinkan, bukan hanya lantaran jalinan ceritanya yang mengalir-mengasyikkan, tetapi juga karena semua peristiwanya mencantel pada satu titik, dan titik itu jatuh pada ketokohan Nadira.

Ada sembilan kisah yang disajikan Leila S. Chudori yang dimulai dari “Mencari Seikat Seruni” sampai “At Pedder Bay”. Kisah pertama sesungguhnya pintu masuk bagi tiga serangkai: Nina—Arya—Nadira berhadapan dengan pusaran problem yang sumbernya jatuh pada kematian sang ibu –Kemala—yang bunuh diri. Dan kisah yang kesembilan menegaskan cerai-berainya keluarga itu: sosok Nina yang terbelenggu dengan segala kesibukannya di New York, Arya yang memutuskan menikah, dan Nadira yang terlambat menyadari, bahwa dalam hatinya ada Tara, teman sekantornya. Tetapi, Tara sudah memutuskan menikah dengan Novena, yang juga masih teman sekantornya.

Jika dikaitkan dengan keberpihakan pengarangnya pada tokoh-tokoh itu, saya melihatnya ada semacam perlakuan yang berbeda. Keberpihakan pengarang atau “hukuman” yang ditimpakan pada tokoh tertentu, biasanya berkaitan dengan sikap dan ideologi pengarang dalam mengidealisasi tokoh-tokohnya. Dan tokoh Nadira, agaknya harus menerima nasib bukan sebagai tokoh ideal. Lihat saja, pada tokoh Nina, ada semacam pemaafan dengan membiarkannya menikmati kebebasannya hidup di New York. Begitu juga, pada tokoh Arya, ada semacam pembelaan dengan menghadirkan tokoh Amalia yang akan menjadi istrinya; lalu bagaimana sikap pengarang pada tokoh Nadira? Di sinilah Leila S. Chudori memperlihatkan kematangannya sebagai pengarang. Ia tidak mempertemukan Nadira dengan tokoh Tara, agar segalanya menjadi happy ending. Tetapi justru sebaliknya. Ada semacam bentuk hukuman pada Nadira yang kerap tidak mau kompromi dengan hati nuraninya sendiri. Dengan demikian, pilihan pengarang yang mematikan tokoh Kemala dengan cara bunuh diri makin jelas tidak sekadar sebagai pusat masalah bagi anak-anaknya: Nina—Arya, dan terutama bagi Nadira, tetapi juga untuk memperkuat problem psikologis yang terus berkecamuk pada ketiga tokoh itu.

Jika ditarik pada garis konvensional, maka kisahan pertama sebagai awal dan kisahan kesembilan sebagai akhir, memperlihatkan sebuah benang merah yang kronologis. “Mencari Seikat Seruni” sebagai sumber dan “At Pedder Bay” sebagai muara. Dengan begitu, penataan setiap kisahan tampak jelas tidak mengabaikan komposisinya yang secara fungsional dapat melekatrekatkan keseluruhan potongan gambar puzzle: sebuah keluarga Bram—Kemala, dan ketiga anaknya: Nina—Arya—Nadira.[1]

Dalam sejarah antologi cerpen Indonesia—jika ditempatkan di situ—tidak syak lagi, 9 dari Nadira berada dalam posisi terdepan. Inilah monumen cerpen Indonesia yang disiapkan dengan sangat matang. Sebuah tonggak penting yang niscaya akan menggagalkan kita, jika kita coba menafikannya. Lalu, bagaimana jika ditempatkan dalam peta novel Indonesia? Atas dasar apa pula 9 dari Nadira dapat dikatakan sebagai novel, selain alasan-alasan yang telah disampaikan di awal tadi? Apakah ia sekadar pelengkap belaka atau menawarkan sesuatu yang dapat menambah kekayaan tematik, stilistik, atau formalistik?

Penataan ke-9 kisahan dalam 9 dari Nadira, jelas sekali tidak sekadar diurutkan begitu saja. Tetapi mengingat dalam ke-9 kisahan itu Leila S. Chudori menggunakan pola kilas-balik yang menghancurkan urutan waktu, menyelinapkan model puzzle dan teknik kolase, maka sesungguhnya setiap kisahan tidak hanya dapat berdiri sendiri—jika hendak ditempatkan sebagai cerpen—tetapi juga pembacaannya dapat dimulai dari mana saja. Dengan tokoh Nadira mendominasi pusat penceritaan yang memungkinkannya paling banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, maka tak pelak lagi, tokoh ini menempati posisi penting dalam keseluruhan cerita. Oleh karena itu, ia menjadi pemeran utama sebagai protagonis, meski di sana kita tak berjumpa dengan tokoh antagonis. Keberadaan tokoh Nadira itulah yang merekatkan keseluruhan kisahannya.


[1]Mencermati teknik dan gaya bercerita dalam novel Indonesia selepas model stream of conciousness (arus kesadaran) dikembangkan Iwan Simatupang (terutama dalam Ziarah dan Kering), Putu Wijaya (Telegram, Keok, dan terutama Stasiun), kemudian Budi Darma (Olenka dan Rafilus), Ratih Kumala (Tabula Rasa) dan Dewi Sartika (Dadaisme) menyelusupkan teknik lain yang disebut kolase. Teknik bercerita yang dirumuskan William H. Hudson (1912) yang masih disinggung E.M. Foster (Aspect of the Novel) tentang teknik perian dan ragaan yang berlaku pada novel-novel konvensional, ternyata sudah tidak dapat memenuhi tuntutan novel-novel karya Albert Camus, Dostoyevski, Gabriel Garcia Marquez, Yasunari Kawabata atau Miguel Asturias. Model penceritaan seperti itu kemudian coba dirumuskan Norman Friedman (Form and Meaning in Fiction, 1975) dan Jonathan Raban (The Technique of Modern Fiction, 1976) sebagai bagian dari teknik membuat alur cerita (pengaluran) yang bertumpu pada lakuan atau dialog tokoh atau lintasan-lintasan pikiran si tokoh. Lalu bagaimana dengan teknik kolase yang memperlihatkan bukan cuma lintasan-lintasan pikiran sebagai peristiwa, tetapi juga bentuk kilas balik dan serpihan-serpihan cerita sebagai fragmen-fragmen yang seolah-olah bercerai-berai, tetapi sesungguhnya sebagai satu kesatuan ketika semua fragmen itu direkatkan dalam bingkai besar. Mirip gambar-gambar puzzle yang baru membentuk sebuah gambar utuh ketika semuanya dapat direkatkan dalam sebuah bingkai. Jelas di sini, konsep atau teori selalu mengikuti perkembangan karya. Oleh karena itu, teori mesti mengabdi pada karya, dan bukan sebaliknya. Dalam kasus 9 dari Nadira, teknik arus kesadaran, berbaur dengan teknik kilas balik dan model kolase yang menyerupai serpihan-serpihan fragmen itu.

Secara tematik, 9 dari Nadira berhasil melebarkan problem domestik menjadi persoalan manusia transnasional. Keluarga Bram Suwandi adalah representasi manusia Indonesia yang hidup dalam pergaulan masyarakat dunia. Jadi, meski tidak punya cantelan kultur etnik, akar agama (Islam) tetap sebagai penanda identitas ideologi. Dan sesuai dengan perkembangan zaman, akar ideologi itu disikapi secara berbeda oleh ketiga anaknya. Maka, tema apa pun yang coba dikembangkan melalui salah seorang tokoh anggota keluarga Bram Suwandi, problem domestik itu bisa menjadi sumber, bisa juga muaranya. Dengan begitu, jika 9 dari Nadira ditempatkan sebagai novel, ia mewujud novel yang unik, karena ke-9 cerita yang terhimpun dalam buku ini, dimulai dari bagian yang mana pun, dapat menjadi pintu masuk menelusuri kisah-kisah sebelum atau selanjutnya[12].
Sesungguhnya, pola 9 dari Nadira terasa lebih dekat pada Para Priyayi—Umar Kayam yang keseluruhannya memusat pada ketokohan Sastrodarsono. Tetapi, Umar Kayam membangunnya secara kronologis, sehingga agak sulit menempatkan Lantip yang berada di bagian akhir menjadi pintu masuknya[13]. Begitu juga dengan Burung-Burung Manyar—Mangunwijaya yang mengembangkan penceritaannya melalui tokoh Seto—Atiek[14], atau Pada Sebuah Kapal – Nh Dini yang melakukan pergantian pencerita Sri—Michel[15].


[11] Jika persoalannya dipersempit, maka 9 dari Nadira sesungguhnya berkisah tentang sebuah keluarga dengan persoalan yang dihadapi segenap anggota keluarganya. Tetapi problem domestik itu jadi melebar karena masing-masing anggota keluarga Bram—Kemala itu mempunyai masalahnya sendiri-sendiri yang berhubungan dengan persoalan dunia jurnalistik, persoalan yang tidak sekadar urusan rumah tangga, bahkan juga persoalan terjadinya perubahan sosial yang terjadi di negeri ini.

[12]Jika 9 dari Nadira hendak ditempatkan sebagai buku antologi cerpen, 9 dari Nadira tetap memperlihatkan kebaruannya. Bukankah dalam sejarah cerpen Indonesia, belum ada buku antologi cerpen yang keseluruhan cerpennya saling berkaitan dengan satu tokoh yang merekatkannya. Sejauh pengamatan, antologi cerpen yang menampilkan satu tokoh yang berfungsi merekatkan keseluruhan cerpen-cerpen yang terhimpun dalam sebuah antologi, belum pernah saya jumpai. Oleh karena itu, jika 9 dari Nadira ditempatkan sebagai antologi cerpen, ia tampil sebagai yang pertama. Di situlah salah satu kebaruannya. Meski begitu, sebagai novel pun, 9 dari Nadira tetap menampilkan kebaruannya yang lain. Bukankah belum ada novel Indonesia yang jika dibaca dari bagian mana pun, kita (pembaca) tetap tidak akan merasa terganggu dalam coba memahami tema keseluruhan wacana novel yang bersangkutan. Dalam kasus ini, jika kita mengawali pembacaan 9 dari Nadira dari bagian kisahan terakhir (“At Pedder Bay”) dan berakhir pada bagian pertama (“Mencari Seikat Seruni”) wacana keseluruhan buku itu tetap akan dapat ditangkap lantaran peran tokoh Nadira yang berfungsi sebagai perekatnya.

[13]Lihat Maman S Mahayana, “Posisi Para Priyayi,” dalam Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 274—297.

[14]Dalam Burung-Burung Manyar, tokoh Seto dan Atiek, bergonta-ganti sebagai pencerita. Belakangan, setelah kematian tokoh Atiek, hanya tokoh Seto yang menjadi pencerita.

[15]Dalam Pada Sebuah Kapal, pencerita akuan (Sri) ditempatkan di bagian awal dan pencerita akuan (Michel) ditempatkan di bagian kedua.

Komposisi 9 dari Nadira, meski “Mencari Seikat Seruni” (hlm. 1—34) paling pas berada sebagai pembuka cerita, kisah lain pun pada dasarnya berpeluang menjadi pintu masuknya[16]. Dengan demikian, 9 dari Nadira bolehlah diibaratkan abjad Korea, Hun Min Jeong Eum (Han Geul) yang jika dilipat dari atas ke bawah atau dari kiri ke kanan atau sebaliknya, akan tetap memperlihatkan keseimbangannya, komposisinya yang harmonis.

***
Ada sembilan kisahan dalam 9 dari Nadira yang berjalin kelindan mengungkap berbagai persoalan yang dihadapi keluarga Bram—Kemala, dan ketiga anaknya: Nina—Arya—Nadira. Kematian Kemala, Sang Ibu, yang bunuh diri, adalah sumber serangkaian problem psikologis melanda keluarga itu. Maka, perilaku menyimpang dan cuek habis Nadira, sikap protektif dan lepas kendali Nina, kecemasan Arya, semuanya punya akar psikologis, tidak hanya akibat kematian mendadak Sang Ibu, melainkan juga jauh ke masa kecil Nina—Arya—Nadira. Dengan begitu, tragedi ibu yang bunuh diri, dalam ke-9 cerita itu menjadi semacam pesona magnetis yang merambat memasuki wilayah sosial, politik, bahkan juga dunia jurnalistik yang menjadi salah satu kekuatan buku ini.
Dengan kehidupan dunia jurnalistik itulah, penghadiran tokoh-tokoh wartawan dan dinamika aktivitas majalah Tera, sesungguhnya seperti sebuah potret yang mempunyai cantelan peristiwa faktual yang terjadi dalam sejarah kontemporer kehidupan bangsa ini. Tentu saja penyajian peristiwa itu tidaklah sebagaimana adanya. Harus ada fiksionalitasnya. Dengan begitu, peristiwa fiksional di sana, justru dapat dicurigai sebagai fakta, seperti yang terjadi pada Penembak Misterius dan Saksi Mata, Seno Gumira Ajidarma.
Dalam 9 dari Nadira, penghadiran tokoh Nadira, selain menjadi kunci pembuka yang menggerakkan keseluruhan cerita, juga bertindak sebagai pengobar dan sekaligus peredam konflik, terutama bagi kedua kakaknya: Nina—Arya, dan lingkungan tempat kerjanya: majalah Tera. Meski begitu, dinamikanya akan surut ke belakang jika tak ada katalisatornya: bayang-bayang Sang Ibu yang bebas bergerak memasuki kegelisahan tokoh-tokoh Bram, Nina, Arya, dan Nadira. Jadi, setelah kisahan pertama, “Mencari Seikat Seruni,” kisah-kisah selanjutnya, termasuk “Kirana” (hlm. 165—180), seperti sengaja menyimpan benang merah yang selalu dapat ditarik ke belakang, ke kisahan pertama.
Sebut saja kisah “Utara Bayu” (hlm. 211—232) yang fokus ceritanya lebih banyak


[16]Lihat kembali Catatan Kaki 12.
jatuh pada tokoh Utara berikut keluarganya. Peranan tokoh Nadira di sana pun, seperti sengaja dihadirkan selintasan. Tetapi peristiwa apa yang melatarbelakangi terjadinya konflik Tara—Novena? Peristiwa bunuh diri Kemala, Sang Ibu yang lalu melekat membayang-bayangi Nadira. Dengan begitu, kisah ini pun benang merahnya jelas: Kemala—Nadira. Begitulah, Leila S Chudori tampaknya sangat mempertimbangkan betul pemanfaatan tokoh-tokoh yang menjadi pencerita, sebab implikasinya jatuh pada pergeseran pusat penceritaan. Jadi, meski Leila leluasa memainkan tokoh-tokoh rekaannya, ia tak lepas kendali. Lalu apa maknanya dalam konteks kepengarangan? Itulah yang ditegaskan Subagio Sastrowardojo tentang bakat alam dan intelektualitas.
9 dari Nadira tidaklah sekadar menyajikan sembilan kisah –cerpen panjang atau novel— yang mengalir berkelak-kelok atau dibungkus dalam kemasan yang begitu unik, tetapi juga sekaligus menunjukkan penguasaan berbagai teknik bercerita, keterampilan memanfaatkan dan memperpanjang tegangan, kelincahan mengolah bahasa, kekayaan pengalaman, dan keluasaan wawasan. Dengan demikian, kualitas karya seorang pengarang sesungguhnya sangat ditentukan oleh intelektualitasnya, dan bukan sekadar mengandalkan bakat alam. Dan Leila S Chudori lewat 9 dari Nadira ini telah menunjukkan kualitas itu. Percayalah!