KARYA SASTRA YANG MENGGUNCANG DUNIA


9999--200px-Rye_catcherJ.D SALINGER (1919-2010)

Nama J.D. Salinger, John Lennon, dan Mark Chapman sering disebut-sebut dalam satu kalimat. Itu karena psikopat Mark Chapman mengaku, novel sastra” The Catcher in the Rye” karya J.D. Salinger mempengaruhi hidupnya sehingga dia merasa harus menghabisi nyawa musisi legendaris itu pada 1980. Tetapi, sesungguhnya, apakah karya-karya Salinger itu memang demikian mempengaruhi jiwa? Mengapa sastrawan itu memilih hidup dalam kesunyian? Dan kenapa pula dia menyimpan beberapa novelnya di perpustakaan Universitas Princeton untuk dipublikasikan 70 tahun lagi? Tempo menyusuri karya dan hidupnya yang penuh enigma.

***

Kota New York,

8 Desember 1980, pukul 22.49.

Limusin hitam itu meluncur tepat di depan Apartemen Dakota. John Lennon dan Yoko Ono berjalan menuju pintu gerbang seusai sebuah sesi rekaman di studio rekaman Plant. Dari jalanan di muka apartemen, Mark David Chapman melepas buah peluru dari pistol revolver ke tubuh penyanyi legendaris itu.

Sementara orang-orang di sekeliling masih terpaku karena guncangan yang terjadi, Chapman tetap berdiri di dekat jenazah John Lennon. Dia mengeluarkan novel The Catcher in the Rye karya J.D. Salinger dan membacanya hingga para polisi New York tiba di tempat kejadian perkara. Mark Chapman langsung ditahan tanpa perlawanan. Dan hanya tiga jam setelah peristiwa penembakan itu, Chapman langsung membuat klaim: “Saya yakin, sebagian besar dalam diri saya adalah Holden Caufield (tokoh utama dalam novel The Catcher in the Rye) dan sebagian kecil diri saya adalah setan.”

Siapakah J.D. Salinger? Dan mengapa novel The Catcher in the Rye begitu berpengaruh dahsyat, bahkan jauh sebelum Mark Chapman membunuh John Lennon? Apa betul sebuah novel bisa mendorong seseorang melakukan tindak kriminal?

9999--imagesCAFOS2PC--TIME--SALINGERLahir di Manhattan, Kota New York, 1 Januari 1919, Jerome David Salinger adalah putra bungsu pasangan Sol dan Miriam Jilich Salinger.

Dunia sastra mulai dimasukinya ketika dia menjadi mahasiswa Whitt Burnett pada mata kuliah penulisan cerita pendek di Columbia University (1939). Burnett juga redaktur majalah Story, yang kemudian memuat cerpen Salinger pada 1940 berjudul The Young Folks yang dianggap sangat komprehensif, ketat, serta berhasil membangun cerita dan suasana berdasarkan dialog. Setelah berkorespondensi dan mengirim beberapa cerpennya-yang semula ditolak oleh The New Yorker-nama Salinger mulai dilirik ketika cerpen Slight Rebellion off Madison dimuat di New Yorker. Cerita inilah yang menjadi cikal bakal novel The Catcher in the Rye.

Ketika The Catcher in the Rye terbit pada 1951 dunia terguncang. Bukan hanya komunitas sastra, melainkan juga para remaja. Inilah kisah Holden Caufield, remaja lelaki berusia 17 tahun yang baru saja didepak dari Pensy Preparatory School, sebuah sekolah swasta yang mempersiapkan anak-anak sekolah memasuki universitas. Sepanjang novel, kita mengikuti petualangan pemikiran dan langkah kaki Holden. Di mata Holden, dia percaya sesungguhnya manusia terdiri atas cinta dan kebaikan. Tapi yang merusak kebaikan manusia adalah nilai-nilai yang dipegang manusia kelas menengah Amerika yang mempunyai definisi sukses sebagai: uang dan kekuasaan.

Sikap Holden yang sinis terlihat jelas ketika dia mengejek para pengacara yang seharusnya menolong orang-orang yang tak bersalah, tapi terlihat lebih sibuk bermain golf, bridge, atau memborong mobil sembari minum martini agar terlihat keren. Bagaimana mereka bakal menyadari bahwa mereka hanya orang dungu yang palsu (Holden menyebut istilah phoney)? Masalahnya, menurut Holden, mereka tak akan menyadarinya.

Keinginan Holden untuk “kabur” ke New York-setelah dia menertawakan dirinya yang dikeluarkan dari sekolah-malah membawa pertemuan dengan seorang germo, dan berbagai karakter lainnya. Selama petualangan itu, kita melihat gabungan sikap Holden yang sinis, penuh amarah itu sebetulnya masih terselip seuntai optimisme, terutama jika dia membicarakan adik perempuannya, Phoebe; atau kedua kakaknya, DB (yang dalam cerita lain dikenal sebagai Vincent Caufield) dan Allie (yang nama lengkapnya adalah Kenneth Caufield).

Novel ini adalah kisah seorang remaja pemberontak pascaperang; sebuah penolakan terhadap pemujaan materialisme dan ukuran sukses dunia kapitalisme yang sedang membangun dirinya. Ada saat-saat kita tahu, Holden sudah berada di tubir keinginan bunuh diri. Tapi itu tak dilakukannya.

Pertemuannya dengan Phoebe adalah bagian manusiawi yang paling mengharukan. Kita kemudian paham, Holden Caufield berhasil mengatasi kegalauannya yang sering membawanya pada destruksi diri. Dalam novel ini, Salinger sengaja menggunakan bahasa seorang anak remaja lelaki yang cerdas, sinis, dan antisosial. Dia sengaja tidak menggunakan bahasa yang canggih atau bahkan puitis untuk menunjukkan cara berpikir Holden. Tokoh Caufield seenaknya menggunakan kata phoney untuk menggambarkan kedunguan dan banalitas orang-orang di sekelilingnya yang dianggapnya pretensius (hingga akhirnya kata phoney menjadi trademark bagi Salinger) dan ratusan makian ala Holden Caufield.

kelebihan-11 dr bawah safe_imageCA42DJSXKelebihan Salinger, seperti yang dikatakan novelis Richard Yates, adalah, “Salinger menggunakan bahasa sebagai sebuah energi yang dia kontrol dengan sempurna. Dia tahu kapan dia harus berkisah melalui dialog; kapan dia bercerita melalui deskripsi; dan kapan dia bersuara melalui sunyi.”

Inilah keistimewaan Salinger. Dia tidak berpretensi membentuk kalimat “sulit” atau “puitis”. Dia seolah-olah menggunakan bahasa Inggris yang sederhana. Mereka yang tak cukup awas akan menyangka Salinger tidak mengolah bahasa. Tapi sesungguhnya, di antara kesederhanaannya itu, Salinger menyajikan simbol dan berbagai frasa penuh makna. Apa arti The Catcher in the Rye; arti kalimat Raise High the Roof Beam, Carpenters; atau arti fantasi sosok bananafish; hingga sekarang masih menjadi obyek perdebatan pengamat sastra ataupun penggemar Salinger.

Sejak novelnya yang fenomenal ini, Salinger merasa risi dan memutuskan untuk hidup reklusif. Dia tak bersedia ditemui wartawan (apalagi wartawan televisi atau radio); setiap kali ada yang mendengus posisi rumahnya, Salinger langsung memutuskan pindah rumah terus-menerus sepanjang hidupnya. Terakhir dia berdiam di sebuah rumah terpencil di Kampung Cornish, New Haven, dengan para tetangga dan warga sekampungnya yang sangat protektif terhadap sang sastrawan. Mereka langsung tutup mulut jika pers atau turis bertanya-tanya tentang J.D. Salinger. Begitu reklusifnya hingga Salinger juga tak sudi mengizinkan siapa pun mengangkat novelnya ke layar lebar; apalagi untuk datang menghadiri festival-festival sastra, tempat para sastrawan saling pamer ego dan pamer karya.

Mungkin Salinger adalah satu dari sedikit sastrawan dunia yang tak perlu menghadiri acara promosi apa pun; festival sastra di negeri mana pun; dan dia bahkan tak perlu menjadi anggota geng sastra atau komunitas sastra. Dia bisa hidup bersembunyi, terpencil, sedangkan bukunya tetap menjadi pegangan dan berpengaruh di dunia. Hidupnya yang terpencil ini menjadi inspirasi film Finding Forrester (sutradara Gus Van Sant, 2000) yang berkisah tentang seorang penulis besar Amerika yang 30 tahun hidup di apartemennya tanpa ingin bertemu dengan siapa pun.

karya salingar lainnya- 6 dr bwahKarya Salinger lainnya, Nine Stories, Franny and Zooey, Raise High the Roof Beam, Carpenters, Seymour: an Introduction, dan puluhan cerpen lainnya yang tersebar di berbagai media juga membuat namanya semakin melambung dan menjadikan J.D. Salinger sastrawan terkemuka yang paling enigmatis.

 

Karena Salinger selalu menolak tawaran untuk mengangkat karyanya ke film, orang hanya bisa meminjam “inspirasi” atau “pengaruh”-nya. Ratusan karya sastra, lagu, dan film banyak yang dipengaruhi oleh berbagai karyanya. Menurut sastrawan Harold Brodkey, pemenang penghargaan sastra O Henry, “karya-karya Salinger adalah karya yang paling berpengaruh dalam sastra Inggris sejak Hemingway.”

Para sastrawan yang mengaku (atau dianggap) banyak dipengaruhi secara langsung dan tak langsung oleh J.D. Salinger, antara lain John Updike, Philip Roth, Haruki Murakami, Carl Hiaasen, Susan Minot, Tom Robbins dan Louis Sachar. Di majalah The New Yorker 2001, Louis Menand menulis bahwa banyak sekali karya kontemporer yang terasa aroma The Catcher in the Rye, hingga bisa dikatakan novel ini memiliki genre sendiri. Novel-novel yang dianggap terpengaruh karya Salinger ini, antara lain The Bell Jar (Sylvia Plath), Fear and Loathing in Las Vegas (Hunter S. Thompson), dan Bright Lights, Big City (Jay McInerney).

Tapi perayaan terhadap karya J.D. Salinger ini memang bagi mereka pencinta seni. Apa boleh buat, dunia yang lebih luas ternyata mengenal nama Salinger setelah peristiwa penembakan Mark Chapman. Setelah pemeriksaan psikiater dan interogasi yang rigid dan ketat, Chapman memang dianggap mengalami gangguan jiwa yang luar biasa. Bahwa dia menggunakan novel karya Salinger sebagai “buku sakti”-nya tak berarti novel inilah penyebabnya. Buku ini sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa serta sudah dibaca oleh ratusan juta penggemarnya, dan yang melakukan tindak kriminal itu adalah seorang Mark Chapman.

Apa boleh buat, setelah peristiwa tragis pada 1980 itu, lahir berbagai lagu dan film, seperti I Just Shot John Lennon, dari the Cranberries (1996); 3 Warning Shots oleh Rick Springfield (2008); The Killing of John Lennon (karya Jonas Ball, 2007); dan sebuah film yang tengah disutradarai Sean Penn tentang peristiwa penembakan ini, yang belum diberi judul, akan menampilkan Mark Linn-Baker sebagai Mark Chapman.

Tapi J.D. Salinger adalah contoh soal terbaik dari apa yang dikatakan the death of writer oleh Roland Barthes. Di masa dia hidup, dan di masa dia sudah berpulang, yang lebih banyak berbicara kepada kita adalah karya-karyanya. Bukan persona. Bukan penulisnya. Dan memang demikianlah seharusnya hidup sebuah karya sastra.

 

Leila S. Chudori

Rubrik Iqra, dimuat di majalah TEMPO 11 Apr 2010