“Pulang, Nostalgia, Harapan dan Kebebasan”


Robertus Robet

 

Home is where one starts from. As we grow older

The world becomes stranger, the pattern more complicated

Of dead and living.

 (T.S. Elliot, East Coker, “Four Quartets)

Ke mana kita pulang, rupanya bukan melulu urusan arah atau tempat dari mana orang berasal. Pulang bukanlah perkara teritori geografis yang melekat dalam ekslusifitas praktik rutin individual yang tanda materialnya tergeletak rongsok dalam rupa tiket kereta api yang dijepit atau karcis tol yang tercecer, atau sepatu dan sandal yang tertata di depan pintu rumah. Pulang rupanya adalah elemen kompleks dan paling emosional, resonansi terdalam dari pengalaman kehidupan yang seringkali bersifat epik.

Dua milineum lalu, Homer memulai kisah mengenai dahsyatnya hasrat ingin pulang. Odysseus diceritakan menerjang segala godaan, menghadapi berbagai monster guna memenuhi  rasa rindu paripurna untuk pulang ke tempat yang ia kenal pertama kalinya. Homer memberikan jiwa tokoh Odeysseus dengan hasrat untuk pulang.  Banyak penulis kemudian, seperti Homer –langsung maupun tak langsung, menjadikan pulang sebagai tema arketip. Penulis besar seperti Virginia Wolf, Doris Lessing hingga Tony Morrison, masing-masing pernah mengisahkan pengalaman nostalgis manusia, tentang hasrat yang sekaligus juga ratapan mengenai suatu tempat di luar sana.  Lalu hari ini kita menghadapi novel Pulang karya Leila S. Chudori.

Berhadapan dengan sebuah novel, kita diberi beberapa pilihan sikap. Pilihan  pertama, kita bisa menghadapinya dalam kerangka seorang ahli estetika dan ahli bahasa yang memeriksa seluruh pernik serta detail kelengkapan, tata bahasa, fakta dan keunggulan estetis sebuah karya. Dari situ kita menyajikan plus-minus, efek rasa dan dimensi estetis novel tersebut kepada pembaca.  Sikap kedua, kita bisa berdiri sebagai seorang Marxist, yang menilai sejauh mana novel ini mengungkap relasi-relasi sosial dan sejarah penindasan kelas.  Dari situ vonis kita jatuhkan dengan kategori: novel revolusioner atau novel kontra-revolusioner.  Sikap ketiga, kita bisa juga menghadapinya seperti seorang Michele Foucault. Melalui novel, kita memeriksa sejarah intelektual si penulisnya. Mengapa si penulis memilih A dan bukan B, mengapa si penulis memilih konsep atau ide A atau peristiwa B, apa kira-kira yang menjadi landasan dan kepentingannya? Doktrin kebenaran apa yang mau disajikan di dalam novel? Pilihan keempat, kita bisa mengambil sikap kesetaraan Ranciere. Dalam sikap ini yang utama bukan bagaimana novel menyajikan keadiluhungan estetiska, atau mengungkap kontradiksi kelas atau versi kebenaran apa, melainkan justru sejauh mana novel ini menerabas sekat-sekat estetis hingga bisa diresapi oleh orang banyak. Novel yang berhasil adalah novel yang secara estetis justru mampu menerjang klaim-klaim estetika dan ke-adiluhungan sehingga mampu dicerna secara setara oleh banyak orang. Cara kelima adalah cara paling mudah, dianjurkan oleh Richard Rorty.  Bagi Rorty, sebuah novel tidak perlu dilihat aspek intrinsik estetisnya. Yang penting adalah bagaimana kegunaan novel itu dalam rangka  ‘extensification of the self’ , sejuah mana sastra mampu mempeluas diri atau mereplikasi kemanusiaan ke dalam pembacanya hingga bisa menghalau fear and violences.

Oleh karena keterbatasan saya dalam bidang sastra, saya lebih menyukai pilihan keempat dan kelima: Ranciere dan Rorty. Oleh karenanya, soal teknis bahasa, gaya, diksi, teknis bagaimana plot disusun, bagaimana penokohan dibangun dan bagaimana level estetika, bukan menjadi urusan saya.  Yang terpenting bagi saya adalah bagaimana sebuah karya mampu menerjang dan merobohkan sekat-sekat linguistik dan estetis hingga ‘affect dan effectnya’ terasa bagi semua orang dan pada akhirnya ia mampu memperluas perasaan kemanusiaan.

Pulang dibuka secara dramatis dengan sebuah paradoks mencekam. Malam di jalan Sabang, di bulan April 1968. Hananto Prawiro yang dituduh terkait dengan PKI, hilang, justru setelah ia menjawab ajakan “Mari ikut kami….”. Maklum yang dia ikut adalah aparat yang mengintainya sejak lama. Dari penyergapan Hananto itu Pulang dimulai.

Dalam Pulang, Hananto bukanlah tokoh utama, Hananto adalah jembatan, a vanishing mediator untuk mengisahkan tokoh yang lebih sentral dalam novel ini yakni Dimas. Hananto dan Dimas pada mulanya adalah dua pegawai Kantor Berita Nusantara di era Orde Sukarno. Di kantor itu tumbuh tiga spektrum politik yakni mereka yang pro PKI (Hananto dan Nug), lalu mereka yang pro Natsir (Bang Amir) dan yang ketiga adalah mereka yang ‘sembarangan’ : tidak pro-PKI tapi tidak juga pro-Natsir. Mereka yang ketiga ini meski dekat dengan Hananto menganggap The Mother karya Gorky tidak lebih sekadar pamphlet. Dimas adalah tipe ketiga. Ia adalah tipikal intelektual sos-dem (menyetujui intervensi negara dalam ekonomi tapi tetap menyutujui kebebasan pasar) humanis dan pencinta Led Zeppelin.

Hananto dan Dimas mencintai satu perempuan: Surti. Namun Dimas yang jiwanya senantiasa gelisah dan tak mampu memantapkan hatinya pada suatu pelabuhan yang tetap, harus merelakan Surti diperistri Hananto.

Seluruh persahabatan dan riuhnya debat intelektual serta kisah cinta mereka mengalami perubahan yang mengejutkan setelah peristiwa 65.  Saat peristiwa itu meledak, Dimas sedang di Santiago, karena diminta menggantikan Hananto. Karenanya, begitu peristiwa 65 terjadi dan tentara memburu semua yang disangka Komunis atau dekat dengan komunis Kantor Berita Nusantara berantakan.

Dimas jelas bukan PKI dan tak pernah bersimpati pada PKI. Namun di mata kekuasaan Orde Baru, tak boleh ada secuilpun halangan dan potensi lawan yang tersisa. Maka Hananto yang ada di Jakarta diburu, Dimas yang dianggap sekutu Hananto juga dicari-cari. Akhirnya, Dimas yang tersangkut di negeri orang tak bisa pulang lagi ke Jakarta.  Sementara Hananto diciduk di Jalan Sabang, hilang dan kemudidan mati. Maka Dimas bersama-sama Nug, Risjaf dan Tjai, terlempar sebagai eksil di kota Paris. Sementara Surti dan anak-anaknya bersama Hananto terdampar dalam penjara Orde Baru.

Dalam pengasingan di Perancis, Dimas bertemu dengan perempuan Perancis bernama Vivienne. Mereka menikah dan punya anak perempuan bernama Lintang.  Dimas bersama, Nug, Risjaf dan Tjai pada akhirnya membangun kehidupan di Paris dengan membuka sebuah rumah makan Tanah Air. Di rumah makan itulah kehidupan para eksil ini berpusat.

Namun demikian, rumah makan, keluarga dan waktu yang panjang di Paris tidak mampu menjejakan Dimas, keterlemparan dramatis yang mematahkan sejarah dan relasinya dengan tanah air, keluarga dan terutama Surti menjadikan Dimas berada dalam kecemasan pemanen.

Bersama Vivienne, aku mencoba lahir kembali sebagai manusia baru, tetapi aku masih merasa ada sesuatu yang tertingal di tanah air. Mungkin ada hatiku yang tertingal pada Ibu, pada Aji, mungkin juga pada Surti…(Pulang, hlm. 80)

 Di malam-malam yang dingin, aku menatap Sungai Seine dan membayangkan seperti apakah warna merah darah pada sungai. Aku mulai menyesali kecendrunganku untuk tidak menetapkan pendirian. Aku gemar berlayar ke mana-mana tak karuan…..Tiba-tiba aku membutuhkan sepetak ruang kecil it. Sepetak kecil yang menurut Bang Amir diberikan Allah ke hati hamba-Nya. (Pulang, hlm. 80)

Pulang menghubungkan kehidupan para eksil di Paris dengan kehidupan di Indonesia melalui telegram.  Semua telegram dimulai dengan kata “Jangan pulang…”.  Maka telegram di sini memainkan fungsi yang ironis, ia menjelaskan apa yang ada di rumah, di kampung halaman, ia menjadi jembatan yang mendekatkan tokoh-tokokh di Paris dengan kampung halaman tapi sekaligus dengan itu ia membangun jarak. Semakin telegram menjelaskan Indonesia, semakin Indonesia tak bisa didekati terutama oleh Dimas.

Maka bagi Dimas, Indonesia, adalah rumah yang begitu dekat sekaligus begitu jauh:

Rumah adalah tempat keluargamu menetap, “ aku menyusul Dimas ke teras. Mencoba mempertahankan pendirianku tanpa menyinggungnya.

“Rumah adalah tempat di mana aku merasa bisa pulang,” jawab Dimas. Dingin. Datar. (Pulang, hlm. 208-209)

Dimas senantiasa ingin pulang, tapi ia tak pernah bisa pulang. Ia berulang-kali mengajukan visa untuk bisa pulang, tapi selalu ditolak. Maka Indonesia bagi Dimas adalah nostalgia. Indonesia semula adalah kenyataan, namun kekuasaan yang mutlak menolaknya menjadikan pulang sebagai ketakmungkinan bagi Dimas. Pulang kini  menjadi fantasi bagi Dimas. Fantasi yang membuat ia resah, murung, fantasi yang bahkan membuat ia tidak mampu mencintai Vivienne. Dimas terbelengu oleh fantasinya, tercekat oleh rasa kehilangan besar.  Ia mencari-cari sepetak ruangan kosong untuk memahami dirinya dan memupus rasa kehilangannya, namun rongga kehilangannya rasanya terlampau besar untuk dipadannkan dan disembuhkan oleh petak kecil yang sialnya tak juga ia temui. Fantasi, kehilangan dan nostalgia Dimas digambarkan oleh Vivienne:

Di ruang tengah apartemen kami, ada Indonesia yang ditanamkan Dimas Suryo. Dua sosok wayang kulit yang digantung di dinding: Ekalaya dan Bima. Ada beberapa topeng yang dibawa oleh kawan-kawan yang kembali dari Indonesia…Yang Paling menarik sebetulnya adalah dua stoples kecil yang diletakkan Dimas di atas rak buku, di jepit buku-bukunya. Isi stopels pertama adalah berliter-liter cengkih. Isi stoples kedua adalah bubuk kunyit kuning. Tak pernah ada yang paham mengapa kedua bumbu itu diletakkan di ruang tengah, bukan di dapur…

Pada saat itulah aku tahu: aku tak pernah dan tak akan bisa memiliki Dimas sepenuhnya. Saat iu pula aku tahu mengapa dia selalu ingin pulang ke tempat yang dia begitu cintai. Di pojok hatinya, dia selalu memiliki Surti dengan segala kenangannya. Yang kemudian dia abadikan di dalam stoples itu. (pulang, 215-216)

Obesesi terhadap benda, pada dasarnya adalah kompensasi terhadap kehilangan yang tak tertanggungkan. Orang kehilangan cinta kepada istrinya, namun harus tetap dengan istrinya oleh karenanya ia akan mengkompensasikan kehilangan cinta itu dengan benda, harta dan kemewahan. Dimas kehilangan Indonesia, kehilangan Surti, namun ia tidak ingin melepaskannya, oleh karenanya itu ia membangun sebuah jembatan fantasmatis yang setidaknya bisa mempertahankan kenangannya tentang Indonesia, tentang Surti, dalam rupa dua toples cengkih dan kunyit.

Pada sampul belakangnya diterangkan bahwa Pulang adalah sebuah drama keluarga, persahabatan, cinta dan pengkhianatan berlatar belakang tiga peristiwa sejarah: Indonesia 30 September 1965, Perancis Mei 1968 dan Indonesia 1998. Dari segi itu, tak usah lah lagi diragukan keberanian dan ambisi penulisnya untuk mengkaitkan sastra dengan kejadian politik. Namun demikian sesungguhnya  drama keluara, persahabatan dan cinta  di sampul belakang itu bukanlah inti dari Pulang.

Pulang adalah novel mengenai ‘hasrat akan gerak kembali’. Dalam gerak kembali itu, subyek resah, bertanya, meratap. Sebagian berhasil mendapatkan jawaban sebagian lagi gagal dan mati merana.

Pada Dimas Suryo, ‘hasrat akan gerak kembali’ itu merasuk dan menjadi nostalgia. Seperti dikatakan Vivienne “dari keempat sahabat itu hanya Dimas yang pertama-tama mengatakan akan pulang dan menikmati hari tua di Indonesia”. Vivienne menambahkan:

Berbeda dengan burung camar umumnya, Dimas adalah burung camar yang senantiasa ingin kembali ke tanah kelahirannya; bukan kepada keluarga yang dibentuknya di benua sekarang. (Pulang, 207)

Nostalgia dalam pengalaman Dimas adalah kepedihan yang disadari –bahkan mungkin menjadi kepedihan yang dipelihara dengan sengaja. Ekspresi dari kehilangan yang simultan. Nostalgia adalah sejenis ratapan duka, bukan atas sebuah kematian biologis, melainkan atas sebuah kematian sosial dan kultural: keterputusan dari tanah air dari kampung halaman dari mereka-mereka yang terkasih. [1]
_________________

[1]  Di tahun 1688 seorang dokter dari Swiss Johaness Hofer menulis sebuah disertasi di bidang medis yang menggambarkanpenyakit  akibat rindu rumah dan kampung halaman. Untuk menamai penyakit akibat rasa kangen ingin pulang itu, ia menggunakan istilah yang diambil dari kombinasi dua kata Yunani nostos (the retusn home) dan algos (dari algia yang berarti longing). Pada abad ke-17 para dokter di Swis beranggapan penyakit ini bisa disembuhkan dengan opium, sengatan lintah atau melancong ke sekitar pegunungan Alpen. Di masa itu, penyakit ini banyak diderita oleh pelajar yang berasal dari Republik Berne yang sedang belajar di  Basel, para pelayan yang bekerja di Perancis dan Jerman serta tentara yang sedang berdinas di luar negeri. Semenjak abad ke-18, kata ini kemudian diadopsi mulai dari para spesialis hingga kebanyakan orang. Sejak itu ia berkembang dalam berbagai peggunaan. Nostalgia kemudian terlepas dari pertautan awalnya dengan gejala medis, dan mulai menjadi gejala politik serta kebudayaan. Mengenai ini lihat dalam

In the deeper register, nostalgia is painful awareness, the expression of grief for something lost, the absence of which continues to produces significant emotional distress. Most individual experience such loss not merely as separation from someone or something but as an absence that continues to occupy a palpable emotional space—what I term presence of absence.[2]

Oleh karenanya dalam Pulang, nostalgia bukan lahir dari puisi, roman atau politik. Nostalgia adalah penyakit akibat dirundung duka campuran sifat-sifat kuasi patriotik dan cinta.

Nostalgia menjebak Dimas hingga membuatnya  gagal memahami perkembangan baru. Ia sinis bahkan kepada mereka yang lebih muda. Sikap ini ia tunjukkan mula-mula terhadap Nara yang muncul sebagai pria muda blasteran Perancis-Indonesia yang menjadi kekasih Lintang putrinya, di Perancis.

Dengan demikian, persis sebagaimana dikemukakan oleh Boym bahwa setiap nostalgia dapat dimengerti sebagai sebuah gerak ‘antimodern’. Modernitas bertumpu pada pandangan progresivitas mengenai waktu dan sejarah, sementara nostalgia menengok dan terpaku ke belakang. Nostalgia, sebagaimana diperlihatkan Dimas memang  tidak dengan serta merta beroposisi dengan modernitas, namun ia jelas memberontak  atau setidaknya enggan bergerak ke arah masa depan.

Dalam nostalgia, Dimas mencoba menyeret sejarah ke dalam ruang pribadi. Menjadikan sejarah seperti sebuah gua waktu yang setiap saat dapat
____________________

Marcos Piason Natali, History and the Politics of Nostalgia, Iowa Journal of Cultural Studies, No 5, Fall, 2004.

[2] Roberta Rubenstein, Home Matters: Longing and Belonging, Nostalgia and Mourning in Women’s Fiction, (New York: Pelgrave MacMillan, 2001),  hlm. 5.

ditengok. Nostalgia adalah waktu yang dilambatkan dan diposisikan seaakan-akan ada di luar waktu, nostalgia adalah waktu di luar waktu.[3]

Dalam banyak kisah lain, nostalgia sebenarnya tidak senantiasa bersifat retrospektif, ia juga bisa prospektif. Fantasi kita akan masa lalu, menentukan kebutuhan kita di masa kini dan berimbas pada realitas di masa depan. Pada Dimas, nostalgia di sini nyaris seperti Melankoli. Untungnya, pengarang masih menyiratkan peristiwa besar sebagai konteks, untung pula ada tokoh Lintang yang menyiratkan gambaran dan harapan akan masa depan. Walhasil, tidak seperti melankoli yang memenjarakan kita sepenuhnya dalam urusan individual, nostalgia pada dimas masih menjaring relasi yang rumit antara biografi individual dengan biografi sebuah kelompok dan bangsa. Pada Dimas, biografi individual itu dilekatkan dengan biografi kolektif: Indonesia adalah Surti, Surti adalah Kunyit dan Cengkih. Politik, cinta dan kemurungan sekaligus dalam satu nama. Seperti dikatakan Boym bahwa  Nostalgia produces subjective vision of afflicted imagination that tend to colonize the realm of politics, history and everyday perception.[4]

Pada akhirnya, di dalam Pulang kita menemukan sebuah penggambaran mental yang lengkap mengenai kemurungan dan sikap humanistis intelektual (laki-laki) manakala berhadapan dengan faktisitas kekuasaan yang mutlak. Leila menuliskan  secara sangat baik gambar mental dari manusia yang senantiasa bebas dalam pikirannya namun terpojok dan terbelenggu oleh sejarah. Dimas Suryo, dalam nostalgianya, adalah sosok korban yang lengkap, yang bertahan namun seperti yang dikatakan Marx Nay more, they are reactionary, for they try to roll back the wheel of history.[5]

Itu pula sebabnya dalam cerita, Dimas kemudian mengubah kehendaknya, setelah gagal pulang untuk mengobati nostalgia, ia ingin pulang ke Karet saja. Nostalgia berakhir dalam fatalisme.
____________________

[3] Svetlana Boym, The Future of Nostalgia, (New York: Basic, 2001).

[4] Svetlana, Boym, Nostalgia and Discontet, Esai tanpa tahun terbitan, hlm 6.

[5] Marx sebagaimana dikutip dari Marcos Piason Natali, ibid, hlm. 14.

Aku ingin pulang ke rumahku, Lintang. Ke sebuah tempat yang paham bau, bangun tubuh, dan jiwaku. Aku ingin pulang ke Karet. (Pulang, 282).

Namun demikian, kita beruntung bahwa Leila tidak berhenti pada Dimas. Setelah Dimas kita menemukan kekuatan yang polos, menggairahkan pada Lintang. Lintang menjelaskan dirinya sebagai:

Aku lahir di sebuah tanah asing. Sebuah negeri bertubuh cantik dan harum bernama Perncis. Tetapi menurut ayah, darahku berasal dari seberang benua Eropa, sebuah tanah yang mengirim aroma cengkih dan kesedihan yang sia-sia…(Pulang, hlm139).

Mengenai Indonesia pada mulanya Lintang mengatakan:

Indonesia, bagiku adalah sebuah nama di atas peta.. Ia hanya konsep. (Pulang, hlm. 139)

Namun pada akhirnya,  ia  kemudian menyadari sesuatu tentang dirinya dan masa lalunya ‘yang lain’, dari situ ia merumuskan Indonesia secara lebih terbuka namun intim:

“…ada sebuah ruang di dalam diriku yang tak keukenal, begitu asing, begitu ganjil yang bernama Indonesia” (Pulang, hlm 157)

Lintang ‘terpaksa pulang’ untuk memenuhi kewajibannya, ia ditugaskan untuk :

“…membuat sesuatu yang berhubungan dengan Indonesia. Menggali akarku. Mencari tahu sesuatu yang membentuk diriku…(Pulang, hlm. 153)

Lebih dari itu, Lintang ingin melihat ‘Indonesia yang lain’. Indonesia yang rupanya tidak sekelam pengalaman Dimas. Indonesia yang berada di luar dekapan magis stoples kunyit dan cengkih yang murung di rak buku ayahnya. Indonesia sebagai pengalaman dan keterbukaan, Indonesia yang belum ia kenal, Indonesia sebagai kemungkinan. Pengenalan semacam ini hanya mungkin karena kebebasan. Di titik inilah Lintang memiliki stand-point yang berbeda dengan Dimas, maka Lintang mengatakan:

Saya rasa, saya tak ingin memasukkan diri saya korban. (Pulang, hlm. 258)

Dengan itu, Lintang pulang ke Indonesia. Waktu ia pulang, Indonesia sedang berubah. Waktu ia pulang, ia sudah memiliki sedikit strategi memahami biografi dirinya dan biografi Indonesia. Dari situ ia berhasil membangun keintiman sekaligus jarak: keintiman dengan Indonesia yang baru ia kenal dan jarak antara diri dan masa lalunya, antara nasibnya dengan nasib Dimas. Jarak itu dipresentasikan dalam kamera. Bagi Dimas masa lalu adalah tetap kenyataannya sekarang, namun bagi Lintang masa lalu Dimas adalah ‘obyek’ yang bisa ia tangkap, berjarak dan terlampaui.

Pelampauan diri dan masa lalu, berbeda dengan penolakan diri. Pelampauan diri didasarkan pada kejujuran dan konfrontasi. Penolakan diri didasarkan pada kepengecutan dan rekonsiliasi semu. Pelampauan diri Lintang ini digambarkan secara sangat baik dalam momen konfrontasi Lintang dengan keluarga ‘Pak Direktur Priasmoro’ calon mertua sepupunya Rama. Menghadapi cemooh, stigma di saat yang genting, Lintang ada dalam dua pilihan: diam dan menyembunyikan dirinya dalam rangka menyelamatkan pertunangan sepupunya yang pengecut dan menyebunyikan sejarah keluarganya, atau terbuka menyatakan dirinya dan mengkoreksi pandangan keliru Pak Direktur mengenai ayahnya. Lintang memutuskan menunjukkan siapa dirinya dan sejarahnya. Hasilnya adalah sebuah makan malam yang katastrofik tapi mengkuhkan dan mengungkapkan kebenaran. Mengukuhkan kebenaran bagi Lintang, mengungkap kebenaran bagi Rama sepupunya yang selama ini menyembunyikan identitasnya sebagai anak dari keluarga yang ‘tidak bersih lingkungan’.

Konfrontasi Lintang tidak hanya melahirkan dirinya sebagai Lintang yang lebih kuat, tetapi juga membebaskan Rama dari dekapan rasa takut dan ketaksadaran. Sejak konfrontasi itu, Rama menjadi jujur pada dirinya dan terbebaskan.

Di titik inilah, Lintang mulai mengalami Indonesia dengan harapan. Perjumpaanya dengan tokoh Surti, Alam, keluarga Aji menyodorkan versi baru mengenai bagaimana manusia menghadapi penderitaan yang getir tapi sekaligus tenang. Ketenangan yang tabah dalam pengalaman penderitaan, menunjukkan harapan. Harapan dalam Pulang, tidak pernah dikatakan lurus, namun diceritakan dalam skema historis perjuangan mahasiswa penjatuhan Orde Suharto.

Setiap harapan adalah an intentional movement toward a preexistent object.  Obyek dari tiap harapan ada dalam not-yet-being. Setiap tindakan berpengharapan mengandaikan adanya sesuatu yang baik. Karenanya ia bisa diceritakan, detailnya bisa diungkapkan, kegemilangannya dan nuansa riangnya bisa ditemukan tanpa mesti dikatakan sebagai ‘harapan’.

Dalam pengalaman Lintang, Surti, Aji, Alam (juga pada akhirnya Rama) ditunjukkan bahwa manusia adalah mahluk yang berkemampuan untuk melampaui proses yang vital yang memungkinkan mereka mematahkan rasa takut. Patahnya rasa takut adalah fajar dari harapan. Harapan muncul sebagai hasrat. Harapan menghapuskan ketakutan :

Hope, this counter-emotion against anxiety and fear, is therefore the most human of all mental feelings and only accessible to men, and also refer to the furthest and brightest horizon.  It suits that apetite in the mind which the subject not only has, but of which, as unfulfilled subject, it still essentially consist.[6]

Dalam Pulang manusia atau individu adalah sesuatu yang tak pernah selesai karena di dalam diri mereka selalu tersimpan harapan dan mimpi akan hidup yang lebih baik. Oleh karena itulah di dalam pulang ditebari oleh dongeng, mitos, novel dan puisi. Dengan kata lain, pada akhirnya Pulang mencoba mendirikan status kemanusian di atas ontologi harapan.

Ontologi harapan inilah yang kemudian menjadi dasar historisisme Pulang. Karena manusia bahkan yang demikian terpencil dan tergencet sekalipun tak pernah selesai dan kehidupan dipenuhi oleh harapan. Maka Pulang menyarankan kita untuk memandang sejarah sebagai ‘sejarah kemungkinan-kemungkinan akan masa depan’. Di titik ini, Pulang mengajak kita seperti Bloch mengajak kita,  menghayati sejarah sebagai momen yang berbeda tapi simultan. Masa Lalu yang berisi penderitaan, tragedy dan kegagalan (Dimas) tapi sekaligus juga benih harapan yang belum terealisasi (Lintang). Masa Sekarang menjadi dasar laten dan kecendrungan, potensialitas dan tanda ke arah pergerakan ke depan. Serta yang terakhir adalah masa depan yang diantisipasi.

Pada akhirnya, dalam Novel ini kita mendapatkan dua jenis ‘gerak kembali’, persis sebagaimana yang dikatakan Bloch mengenai dua jenis ‘pulang’. Pulang yang pertama adalah pulang sebagai ‘a return’ dan pulang yang kedua adalah pulang sebagai sebuah ‘exodus’.  Bagi Bloch the realm of freedom develops not as a return but as exodus-though into the always intended promised land, promised by process.[7]
____________________

[6] Ernst Bloch, The Principle of Hope, Vol 1, (Oxford: Basil Blackwell, 1986), hlm.75.

[7] Ernst Bloch, The Principle of Hope (volume 1), (Cambridge: MIT Press, 1995), hlm. 205.

Kebebasan ada bukan pada ‘a return’ yang tujuan-tujuannya telah jelas dan tertentu, melainkan pada sebuah eksodus. Kebebasan ada di dalam eksodus persis karena dalam ekosodus seluruh gambaran mengenai masa depan itu hanya samar, belum jelas dan konkret akan tetapi dituju, diarungi dengan penuh kenekadan dan keberanian.

Pulang yang dikehendaki oleh Dimas pada akhirnya adalah ‘a return’. Untuk itu, pada akhirnya ia mendapatkannya dengan mendarat di Karet. Namun pulang dalam Lintang adalah ‘an exodus’, sebuah petualangan atas tanah yang sama sekali belum ia mengerti. Pulang yang tujuan-tujuan akhirnya hanya bisa ia temukan setelah ia berada di ‘sana’ dan bukan ketika ia berada di ‘Paris’.

Suara para mahasiswa yang keluar-nada itu terdengar begitu indah, jauh lebih dahsyat daripada komposisi Ravel.

Kini aku rasa aku tahu di mana rumahku. (Pulang, hlm.442-443)

Depok, 29 Januari 2013

Makalah ini disampaikan dalam acara diskusi Novel “Pulang” Karya Leila S. Chudori di Serambi Salihara, 29 Januari 2013