SEORANG PELAYAN DAN TUJUH PRESIDEN
Terinspirasi dari kisah seorang pelayan Afro-Amerika yang mengabdi selama 34 tahun di Gedung Putih.Forest Whitaker dan Oprah Winfrey duet yang luar biasa.
THE BUTLER
Sutradara : Lee Daniels
Skenario : Danny Strong
Diangkat dari artikel The Washington Post berjudul “A Butler Well Served by This Election”.
Pemain : Forest Whitaker, Oprah Winfrey, David Oyelowo, Terrence Howard, Cuba Gooding Jr., Lenny Kravitz
***
“Segalanya dimulai dari putihnya kapas…..”
Demikian Cecil Gaines (Forest Whitaker) bercerita tentang asal mula hidupnya yang dramatik di perkebunan kapas di Georgia pada tahun 1926 ketika segregasi hitam dan putih masih berlaku dengan ketat.
Gaines kecil menyaksikan ibunya diperkosa dan ayahnya dibunuh oleh Thomas Westfall (Alex Pettyfer). Annabeth Westfall (Vanessa Redgrave) segera saja mengangkat dan mendidik si kecil Gaines sebagai pelayan di dalam rumah tangga pemilik perkebunan. Dengan cakap dan cepat, Gaines belajar melayani makan malam keluarga, membersihkan sendok dan garpu dengan seksama dan berhasil menetap di zona netral, sehingga persoalan politik diskriminasi di kawasan Selatan Amerika disingkirkan dari jiwanya. Keahlian rumah tangga dan sikap submisif inilah yang kemudian membawa Gaines melangkah ke Gedung Putih untuk kemudian berturut-turut meladeni tujuh Presiden Amerika Serikat.
Sebuah “Forrest Gump” deja vu, film ini menceritakan pengabdian Gaines sejak pemerintahan Dwight Eisenhower (Robin Williams) menjulur hingga Presiden AS yang ke 40 Ronald Reagan. Gaines melayani berbagai presiden dengan aneka temperamen: dari John F.Kennedy (James Marsden) yang digambarkan sebagai sosok yang sungguh perhatian hingga Lyndon B.Johnson (Liev Schreiber) yang mengadakan pertemuan dengan staf sembari duduk di jamban karena susah buang air. Dari Richard Nixon (mengapa pula John Cusack yang dipilih memerankan presiden AS terburuk ini?) yang kerjanya menyemprot sumpah serapah hingga Ronald Reagan (Alan Rickman) yang ngeyel tidak mau menjatuhkan sanksi terhadap pemerintahan Afrika Selatan yang saat itu masih menjalankan politik diskriminatif Apartheid. Itu semua disaksikan oleh Gaines dengan sikap yang sama: menetap dengan dingin di zona netral.
Di rumahnya, situasi jiwa keluarganya justru panas membara. Sang isteri, Gloria (dimainkan dengan cemerlang oleh Oprah Winfrey) merasa frustrasi karena perhatian suaminya sepenuhnya terpusat pada Gedung Putih. Gloria melarikan diri pada alkohol dan ke pelukan tetangganya, Howard (Terrence Howard). Apalagi karena putera sulung mereka, Louis (David Oyelowo) yang mereka harapkan duduk manis sebagai mahasiswa ternyata ikut dalam protes sosial anti diskriminasi. Dari aktivis yang percaya jalan damai gaya Martin Luther King, Louis akhirnya bergabung dengan kelompok garis keras Black Panther yang memilih jalan senjata. Sang Ayah seperti berada dalam dua dunia yang saling menjepit. Dia meladeni serangkaian presiden AS yang mempunyai sikap ambivalen terhadap soal diskriminasi, sementara anaknya adalah aktivis yang sepenuhnya menentang kebijakan pemerintahannya. Putera bungsunya dihardik oleh peluru perang Vietnam dan isterinya dihajar oleh kekecewaan yang tak berkesudahan.
Penulis skenario Danny Strong mengaku terinspirasi sosok Eugene Allen, seorang pelayan Gedung Putih yang mengabdi selama 34 tahun. Setelah pensiun tahun 1986, Allen masih sempat menyaksikan naiknya Barack Obama sebagai Presiden AS. Namun persamaan, atau inspirasi kehidupan Allen itu hanya berhenti sampai di sana. Selebihnya: masa kecil yang tragis dan kehidupan keluarga yang berantakan adalah kreasi penulis skenario Danny Strong dan sutradara Lee Daniels. Sebagai seorang sutradara, kekuatan Daniels justru terletak pada drama keluarga (kita sudah menyaksikan film terdahulunya berjudul Precious yang menggelegar itu). Karena itu, film ini terasa hidup ketika kamera menyorot pergolakan antara Gaines, Gloria dan puteranya Louis. Adegan makan malam saat Louis membawa sang pacar yang bergaya sok revolusioner (baca: kurang ajar pada orangtua) sungguh kuat; sebuah adegan yang menghasilkan rasa pedih sekaligus amarah.
Kelemahan film ini justru terletak pada sederetan bintang besar yang memerankan presiden AS. Kecuali Alan Rickman yang memerankan Ronald Reagan, para aktor lain yang diberi dandanan seperti akan menghadiri pesta Halloween. Apalagi John Cusack yang diberi hidung prostetik dan menyajikan sumpah serapah ala Richard Nixon adalah kemubaziran.
Tentu saja film ini, terutama untuk seni peran Forest Whitaker dan Oprah Winfrey akan dilirik berbagai festival. Akhir film ini bak sebuah kado dengan pita cantik untuk penonton yang haus akan penyelesaian yang menenangkan.Adegan Obama, yang ditampilkan dari footage dokumenter, disumpah menjadi Presiden bergantian dengan wajah Gaines di masa tua adalah sebuah konfirmasi: manusia tak selalu buruk hati.
Leila S.Chudori
Sebuah “Forrest Gump” deja vu, film ini menceritakan pengabdian Gaines sejak pemerintahan Dwight Eisenhower (Robin Williams) menjulur hingga Presiden AS yang ke 40 Ronald Reagan. Gaines melayani berbagai presiden dengan aneka temperamen: dari John F.Kennedy (James Marsden) yang digambarkan sebagai sosok yang sungguh perhatian hingga Lyndon B.Johnson (Liev Schreiber) yang mengadakan pertemuan dengan staf sembari duduk di jamban karena susah buang air. Dari Richard Nixon (mengapa pula John Cusack yang dipilih memerankan presiden AS terburuk ini?) yang kerjanya menyemprot sumpah serapah hingga Ronald Reagan (Alan Rickman) yang ngeyel tidak mau menjatuhkan sanksi terhadap pemerintahan Afrika Selatan yang saat itu masih menjalankan politik diskriminatif Apartheid. Itu semua disaksikan oleh Gaines dengan sikap yang sama: menetap dengan dingin di zona netral.
Di rumahnya, situasi jiwa keluarganya justru panas membara. Sang isteri, Gloria (dimainkan dengan cemerlang oleh Oprah Winfrey) merasa frustrasi karena perhatian suaminya sepenuhnya terpusat pada Gedung Putih. Gloria melarikan diri pada alkohol dan ke pelukan tetangganya, Howard (Terrence Howard). Apalagi karena putera sulung mereka, Louis (David Oyelowo) yang mereka harapkan duduk manis sebagai mahasiswa ternyata ikut dalam protes sosial anti diskriminasi. Dari aktivis yang percaya jalan damai gaya Martin Luther King, Louis akhirnya bergabung dengan kelompok garis keras Black Panther yang memilih jalan senjata. Sang Ayah seperti berada dalam dua dunia yang saling menjepit. Dia meladeni serangkaian presiden AS yang mempunyai sikap ambivalen terhadap soal diskriminasi, sementara anaknya adalah aktivis yang sepenuhnya menentang kebijakan pemerintahannya. Putera bungsunya dihardik oleh peluru perang Vietnam dan isterinya dihajar oleh kekecewaan yang tak berkesudahan.
Penulis skenario Danny Strong mengaku terinspirasi sosok Eugene Allen, seorang pelayan Gedung Putih yang mengabdi selama 34 tahun. Setelah pensiun tahun 1986, Allen masih sempat menyaksikan naiknya Barack Obama sebagai Presiden AS. Namun persamaan, atau inspirasi kehidupan Allen itu hanya berhenti sampai di sana. Selebihnya: masa kecil yang tragis dan kehidupan keluarga yang berantakan adalah kreasi penulis skenario Danny Strong dan sutradara Lee Daniels. Sebagai seorang sutradara, kekuatan Daniels justru terletak pada drama keluarga (kita sudah menyaksikan film terdahulunya berjudul Precious yang menggelegar itu). Karena itu, film ini terasa hidup ketika kamera menyorot pergolakan antara Gaines, Gloria dan puteranya Louis. Adegan makan malam saat Louis membawa sang pacar yang bergaya sok revolusioner (baca: kurang ajar pada orangtua) sungguh kuat; sebuah adegan yang menghasilkan rasa pedih sekaligus amarah.
Kelemahan film ini justru terletak pada sederetan bintang besar yang memerankan presiden AS. Kecuali Alan Rickman yang memerankan Ronald Reagan, para aktor lain yang diberi dandanan seperti akan menghadiri pesta Halloween. Apalagi John Cusack yang diberi hidung prostetik dan menyajikan sumpah serapah ala Richard Nixon adalah kemubaziran.
Tentu saja film ini, terutama untuk seni peran Forest Whitaker dan Oprah Winfrey akan dilirik berbagai festival. Akhir film ini bak sebuah kado dengan pita cantik untuk penonton yang haus akan penyelesaian yang menenangkan.Adegan Obama, yang ditampilkan dari footage dokumenter, disumpah menjadi Presiden bergantian dengan wajah Gaines di masa tua adalah sebuah konfirmasi: manusia tak selalu buruk hati.
Leila S.Chudori