Zero Dark Thirty


Zero-Dark-ThirtyPERBURUAN DALAM GELAP MALAM

Sebuah terminologi militer yang menjadi judul film ini adalah kisah perburuan Osama Bin laden, termasuk serangkaian penyiksaan yang melahirkan protes dan kemarahan.

Sutradara : Kathryn Bigelow
Skenario : Mark Boal
Pemain : Jessica Chastain, Jason Clarke, Joel Edgerton, Jennifer Ehle , Mark Strong, Kyle Chandler, Edgar Ramirez, James Gandolfini,

“Ada dua macam narasi tentang lokasi Osama bin Laden,” kata agen CIA Maya (Jessica Chastain) di hadapan tim Navy Seals yang ditugaskan dalam misi rahasia memburu Osama Bin Laden. Menurut Maya, narasi pertama adalah: pimpinan Al-Qaeda itu bersembunyi di gua-gua nun di daerah pelosok Pakistan yang dipagari oleh para pendekarnya yang sigap dan militan. Narasi kedua adalah, bukan hanya teori, tetapi fakta yang dia yakini, “Bin Laden berdiam di sebuah kompleks rumah di Abbottabad, mengoperasikan jaringan teroris dia yang berskala dunia.”

Ini diucapkan seorang agen perempuan bertubuh kecil, berambut merah panjang, bermulut mercon dan bermata penuh dengan keyakinan. Maya, ini nama samaran, karena agen CIA sesungguhnya yang dijadikan model oleh sutradara Kathryn Bigelow kini masih bekerja dalam samaran.

Tetapi film ini diklaim oleh sineasnya sebagai sebuah kisah nyata. Betulkah? Benarkah ini memang sebuah kisah nyata? Seberapa jauh ‘lisensi sineas’ bisa melar untuk sebuah dramatisasi film? Atau sebaliknya seberapa jauh apa yang ditayangkan dalam film ini memang mendekati kenyataan hingga Amerika ternyata seolah mengizinkan dirinya untuk menggunakan penyiksaan sebagai medium mencari informasi?

Film ini dibuka dengan 45 menit adegan penyiksaan brutal yang berkepanjangan terhadap para tahanan. Tubuh dijungkalkan, disetrum, digojlokkan berliter air hingga mereka gelagapan, diikat dengan tali anjing dan diseret bak binatang menuju peti kayu kecil tempat mereka dicemplungkan. Ini berlangsung berkali-kali dalam beberapa adegan. Sang interogator adalah agen CIA Dan (Jason Clarke), dan Maya adalah agen ‘junior’ yang mengobservasi dan menganalisa.

Para agen CIA lantas menyadari, kebrutalan tak berbuah apa-apa. Justru saat tahanan diberi makan dan diajak berbincang dengan lebih ‘beradab’ (baca: tidak disiksa), justru dia mau membuka mulut hal-hal yang dia ketahui.

Sebagai agen baru yang ditempatkan di ‘black site”– titik hitam yang tersebar di berbagai penjuru dunia tempat Amerika tempat menahan para tersangka teroris untuk penggalian informasi—Maya dianggap anak bawang. Selain CIA adalah ‘klub lelaki’ , institusi yang disorot ini adalah orang lapangan yang macho dan tempat otot bicara. Maya adalah perempuan kecil petite yang dianggap lebih layak duduk manis di balik komputer.

Perburuan Bin Laden masih terus gagal. Atasan Maya cenderung menggali inofrmasi tentang pengeboman berikutnya. Maya lebih mengejar hal terbesar yang selalu dianggap tak mungkin: Osama bin Laden. Ambisinya semakin bulat ketika serombongan kawan-kawannya, termasuk kawan dekatnya, terhajar bom bunuh diri ketika mereka dijebak dalam sebuah operasi tipuan.

Maya menyorot salah seorang ‘kurir’ bin Laden yang kelihatan begitu tak penting, namun ternyata memegang peran yang sangat besar sebagai penyampai informasi. Bertahun-tahun dia mengajukan nama itu, mental dan mental lagi. Bukan hanya karena dia dianggap tak penting, tetapi juga karena nama sang kurir dikabarkan sudah tewas. Jalan buntu. Maya baru mendapat titik terang ketika salah satu staff analis menyampaikan bukti baru: sang kurir masih hidup. Mereka memang sembilan bersaudara dan tampak mirip.

Ketika akhirnya Maya berhadapan dengan Kepala CIA (diperankan James Gandolfini yang masih tambun tetapi kini dengan kepala yang berambut), meski dia diatur agar berdiri di pojok tak penting saat pertemuan—agar dia kelihatan insignisifan—Maya menyatakan “sayalah orang yang menemukan lokasi Osama Bin Laden. Sir.”

Tegas, tanpa rasa gentar seolah tubuh terdiri dari baja berurat kawat. Bung direktur CIA terpana. Dia mengabulkan operasi itu. Bawahannya menjadi ciut. Maya ternyata punya hidung tajam.

Kathryn Bigelow dan penulis skenario Mark Boahl tentu sudah memperhitungkan, untuk menetapkan Maya sebagai tokoh utama film ini akan ada sebuah manfaat emosional tersendiri. Seorang perempuan di tengah gerombolan lelaki macho yang picik dan tidak sportif. Siapa yang tak akan membela dia? Maya sudah memenangkan simpati penonton sejak awal.

Jessica Chastain menampilkan sebuah ledakan dalam tubuh kecil Maya. Mata yang tajam, mulut yang pedas, kata-kata yang melecut dan mengancam atasannya yang selalu saja menolak proposalnya. Sepanjang film, Bigelow menjaga ketegangan dengan cerdik dan teliti. Kamera akan menyorot malam yang gelap dengan tenang; tetapi dia akan menggunakan handheld saat menyorot kegiatan pasar yang sibuk. Adegan perburuan di Abbottabad, Bigelow mencoba serealistik mungkin. Tim Navy Seal masuk rumah Bin Laden yang gelap total dan penembakan terjadi begitu saja. Kita, penonton bahkan tak tahu di kamar mana dan saat apa Osamah tertembak. Bigelow sengaja menyimpan kepastian itu untuk adegan akhir. Harus diakui saat-saat akhir ketika konfirmasi mereka berhasil menaklukkan Bin Laden, adegan Hollywood yang lazim dan klise adalah bendera Amerika yang berkibar atau musik genderang kemenangan. Bigelow justru memilih adegan Maya di dalam kesunyian.

Kathryn Bigelow tentu sudah menunjukkan jam terbangnya dalam film-film yang dianggap tema ‘lelaki’ seperti film Blue Steel (1990), Point Break (1991), K-19: Widowmaker (2002). Tetapi nama Bigelow baru melejit di dunia internasional setelah film Hurt Locker yang semula tidak terlalu terdengar malah membawanya sebagai Sutradara Terbaik dan filmnya sendiri meraih gelar Film Terbaik Academy Award 2010.

Film Zero Dark Thirty adalah sebuah hal yang tak bisa terhindarkan bagi saya,kata Bigelow dalam sebuah wawancara. Dia tak lagi bisa kembali pada tema film yang non-tematik. Setelah Hurt Locker, dia merasa sudah membuka jendela bagi dirinya untuk menggarap film yang berhubungan dengan situasi sosial dan politik masa kini. Film ini melahirkan banyak kontroversi begitu ditayangkan karena persoalan sikap. Di satu pihak, 45 menit adegan penyiksaan yang brutal itu: apakah itu sebuah pembenaran penyiksaan demi sebuah informasi? Atau yang seperti diklaim oleh sutradara dan produser bahwa justru film ini menunjukkan brutalitas itu adalah teknik yang tak akan menghasilkan apapun?

Pihak CIA dan para senator melayangkan surat protes pada produser dan sineas film ini yang berisi sepenting-pentingnya ‘lisensi sinematik’ tetapi menunjukkan adegan penyiksaan itu akan membuat penonton menyimpulkan bahwa metode itulah yang menyebabkan mereka mampu menemukan Osama Bin Laden. Organisasi pendukung hak asasi manusia mengajukan protes boikot dan mengimbau agar anggota Academy jangan ada yang memilih film ini sebagai Film Terbaik Academy Awards (akan diumumkan pagi ini waktu Indonesia).

Terlepas serangkaian protes tersebut dan dengan tetap menghargai kebebasan berkreasi, film Zero Dark Thirty, tanpa disadari atau tidak, telah mengibarkan teknik penyiksaan sebagai sebuah cara yang ‘disahkan’ demi mendapatkan sebuah informasi. Film ini telah membuat penyiksaan, yang di awal pemerintahan Obama diucapkan sebagai sesuatu yang harus dihapus, menjadi glorifikasi kemenangan.

Dengan segala lisensi yang diberikan pada seorang pencipta, ada hal-hal sensitif yang perlu dipikirkan berulang-kali: gambaran apa yang sesungguhnya ingin ditampilkan seorang pencipta dari seluruh narasi itu. Kalaupun Kathryn Bigelow justru ingin menunjukkan ‘anti-kekerasan’ atau ‘anti-penyiksaan’ sebagai metode, maka pertanyaan penting yang perlu ditekankan: apakah benar dia membutuhkan 45 menit untuk adegan penyiksaan (meski disajikan secara sporadis)? Apakah dia menyadari adegan ini mengibarkan metode yang justru sedang dilawan dan harus dihapus dari kehidupan ini?

Dengan ketelitian penggarapan karakter Maya dan kecerdasan Bigelow memperhitungkan menit-menit pembangun ketegangan, sangat sayang dia telah meruntuhkan film ini dengan cacat yang cukup besar.


Leila S.Chudori