Java Heat


java-heartKETIKA HOLLYWOOD MENYENTUH YOGYAKARTA

Ada tokoh Sultan gondrong berdandan gotik. Ada puteri raja berkonde menjulang seperti gulali. Lalu ada serangkaian bom dan aktor Mickey Rourke.

Sutradara : Conor Allyn

Skenario : Rob Allyn

Pemain : Mickey Rourke, Kellan Lutz, Ario Bayu, Atiqah Hasiholan, Tio Pakusadewo, Rio Dewanto

Produksi : Margate House Film

Bom. Candi. Terorisme. FBI. CIA. Amerika Serikat.

Semua kosakata ini menjanjikan sebuah petualangan yang seru, yang menggelegar dan sudah pasti berbau Hollywood. Tetapi setelah 30 menit pertama, melihat ada seorang lelaki asing bernama Jake Travers (Kellan Lutz) yang mengaku sebagai seorang ilmuwan dari Universitas Cornell dengan gaya tengil, pertanyaan yang muncul di benak penonton tentu saja sama dengan pertanyaan Komandan Detasemen 88 Hashim (Ario Bayu), siapa yang percaya lelaki dengan tubuh sebesar pohon ini adalah seorang ilmuwan? Cornell? Kasihan betul Indonesianis kita Prof.Ben Anderson jika punya kolega seperti ini.

Lalu muncul tokoh Sultana (Atiqah Hasiholan), seorang puteri Jawa yang sanggulnya bertingkat-tingkat seperti es campur yang disiram sirup. Lalu ada lagi seorang Sultan (Rudy Wowor) yang berambut gondrong dan mengenakan celak mata. Sementara si Sultan mengenakan celana pantalon biasa, tokoh Perdana Menteri yang senantiasa mengenakan blangkon dan baju adat Jawa yang lengkap.
Baiklah.

Kita selonjor saja, tak perlu terlalu serius. Sutradara Conor Allyn nampaknya menciptakan sebuah dunia Jawa alternatif, di mana sang puteri pewaris tahta yang gelung kondernya melongkar-lingkar ke atas seperti es campur itu menjadi ‘korban bom’ pada menit-menit pertama setelah pertemuannya dengan ilmuwan bodong tadi. Anggap saja ini negeri antah berantah.

Meski saling curiga dengan motivasi dan peran masing-masing dalam peristiwa pengeboman ini, peristiwa besar yang konon menewaskan sang Sultana menyatukan Hashim dan Jake Travers (yang ternyata bukan ilmuwan, melainkan agen intelijen) untuk melakukan investigasi. Tetapi kabar kematian Sultana juga disertai dengan hilangnya seuntai kalung pusaka. Kepala Polisi (Frans Tumbuan) dengan pasukannya dengan sigap melakukan penggerebekan dan penangkapan, Hashim dan Jake mengendus kea rah seorang asing bergaya flamboyan, berbicara dalam bahasa Inggris beraksen yang diseret-seret dan wajah yang rusak karena sentuhan pisau operasi : Malik (Mickey Rourke).

Ketika adegan berikutnya adalah sang Sultana, yang ternyata sedang dimandikan dan digosok-gosok rambutnya oleh Malik yang menggerundeng, kita bukan terkejut karena ternyata Sultana masih hidup dan menjadi tawanan Malik. Kita lebih kaget karena tempat kediaman Malik—yang kita asumsikan saja itu Yogyakarta—adalah sebuah rumah berisi penari-penari yang dipajang sebagai hiasan yang sesekali bergerak untuk memuaskan mata.
Film Java Heat tentu saja sejak awal memang dimaksudkan sebagai film laga hiburan dengan ‘otot’ Hollywood. Otot di sini maksudnya, duit besar (dikabarkan biayanya melebihi 10 juta dollar AS) karena bukan saja menggunakan bintang Hollywood seperti Mickey Rourke dan Kellan Lutz, tetapi juga karena adegan pengeboman dan tembak-menembak yang terjadi cukup kerap itu—yang memang membuat film ini seolah melesat dari Hollywood. Tetapi, interpretasi untuk menciptakan sebuah dunia alternatif lebih merupakan sebagai fantasi klise si Barat terhadap eksotisme Timur: misteri, harta karun, puri, puteri dan segalanya.

Tembak menembak di antara candi? Entah itu tipuan kamera atau tidak, tetapi efeknya bukan pada sebuah petualangan laga, melainkan penonton jadi cemas dengan keadaan bangunan bersejarah milik Indonesia itu.

Seni peran nampaknya dilemparkan ke luar jendela. Mickey Rourke yang lama menghilang dan kembali ke Hollywood dengan mengagumkan dalam film The Wrestler (Darren Aronofsky, 2008) kini hanya sibuk menggerundeng dan kita tak bisa membedakan apakah dia tengah mabuk atau sedang akting. Kellan Lutz adalah Kellan Lutz, pemain dalam film Twilight dan serial TV 90210 yang beruntung bisa digaet film-film besar Hollywood lebih karena tubuhnya sebesar pohon beringin dan berotot besi. Para aktor Indonesia jelas mengambil kesempatan bermain dalam film ini lebih untuk pengalaman menceburkan diri dalam produksi besar, bukan karena tertantang untuk menggali watak.

Dengan ongkos produksi yang begitu besar dan hasil yang membuat kita menghela nafas, menyaksikan film Java Heat seperti bangun dari sebuah mimpi yang menyadarkan bahwa inilah (salah satu) cara pandang orang Barat terhadap Indonesia.

Leila S.Chudori