MAN OF STEEL


Mensstilll-130624KEMBALINYA KAL EL, CLARK KENT DAN SI MANUSIA BAJA

Sutradara : Zack Snyder

Skenario : David S. Goyer

Berdasarkan karakter dari DC Comics Superman dan film-film Superman

Pemain : Henry Cavill, Amy Adams, Russel Crowe, Kevin Costner, Diane Lane, Laurence Fishburne

***

Dia melesat ke langit. Sekejap. Sekelebat.

Dan dia menghilang begitu saja seolah menyatu dengan planet lain, untuk kembali lagi ke bumi jika dia dibutuhkan.

Itulah yang dia janjikan Kal-El (Henry Caville) kepada Jendral Swanwick (Harry Lennix) , “saya akan membantu Bumi ini, ketika saya dibutuhkan.” Setelah mengucapkan satu kalimat yang meyakinkan, tubuh tinggi besar yang hanya terdiri dari otot dan baja itu melesat kembali ke langit, meninggalkan debu yang menyembur ke wajah Jendral.

Superman adalah nama yang hanya diucapkan dua kali dalam film berdurasi lebih dari dua jam ini. Selebihnya kita hanya mengenal nama Clark Kent, nama Superman di kalangan ‘manusia biasa’ atau Kal-El, nama asli Superman sebagai penduduk Krypton. Film Man of Steel memperkenalkan sejarah kedatangan sang Lelaki Bertubuh Baja ini ke dunia. Tepat pada saat planet Krypton di ambang kehancuran, terjadi kudeta terhadap para penguasa oleh Jendral Zod (Michael Shannon). Zod memaksa Jor-el (Russel Crowe) untuk memilih bergabung dengannya atau mati. Jor-El memilih tidak bergabung dengan seseorang yang dia anggap berkhianat pada perdamaian. Apalagi mengingat puteranya yang baru saja lahir. Jor-El akhirnya memilih untuk mengirim sang putera ke bumi untuk dibesarkan manusia biasa, sementara dia dan isterinya menetap di Krypton menghadapi kehancuran planetnya.

Sang bayi yang ditemukan pasangan Martha dan Jonathan Kent (Diane Lane dan Kevin Costner), diberi nama Clark dan dibesarkan di area pertanian Smallville, Kansas. Martha dan Jonathan tentu saja menyadari kelebihan putera angkatnya yang begitu saja bisa mengangkat mobil atau mendorong sebuah bis sekolah ke tepi sungai. Sang Ayah selalu saja menekankan betapa pentingnya Clark yang bermata biru dan tajam itu merahasiakan kekuatannya, karena “dunia belum siap menghadapimu.” Bagi Jonathan, manusia lebih sering ketakutan menghadapi sesuatu yang ‘berbeda’.

Untuk waktu yang lama, Clark Kent timbul tenggelam dalam emosi remaja. Dia mencoba menjadi anak yang patuh para orangtua, yang tidak melawan jika dihajar anak-anak sekolah—karena dia tahu sekali tonjok mereka akan lumat seperti bubur—tetapi pada saat yang sama, Clark juga ‘manusia’ yang bisa marah dan galau.

Untuk beberapa saat, adegan-adegan kilas balik masa-masa kanak-kanak dan remaja Clark Kent yang diutarakan secara bertahap selalu menjadi bagian yang manusiawi dan mengharukan. Inilah bagian yang menjelaskan latar belakang hubungan Clark dengan ayah-ibu angkatnya (yang membuat dia merasa menjadi bagian umat manusia Bumi) sekaligus rasa hormatnya kepada Jor-El, yang menandakan dia adalah warga Krypton. Berbagai insiden di masa kecil ketika dia ‘terpaksa’ membantu seisi bis sekolah yang nyemplung ke sungai atau saat dia membantu seorang perempuan di warung kopi adalah beberapa adegan khas pola superhero di mana ada manusia biasa (yang sudah pasti blagu sekaligus dungu) berhadapan dengan si superhero yang hanya memperlihatkan sekelebat kekuatannya untuk membuat si dungu jera. Meski adegan-adegan ini hanya sekedar ‘penunjang’ dalam transisi hidup seorang superhero (menuju babak kehidupan dia yang akan menjadi superhero ‘penuh’ yang menyelamatkan dunia) justri itulah bagian yang disukai penonton. Karena di dalam kehidupan nyata, saat menghadapi si Blagu dan si Dungu,kita juga ingin melakukan apa yang dilakukan Clark Kent alias Superman.

Pada babak transisi ini, sutradara Zack Snyder nampak tak bisa memutuskan, apakah dia ingin membuat sebuah film laga atau drama yang gelap seperti Abang Christopher Nolan, sang produser. Nolan adalah sutradara yang berhasil memberi definisi ulang tentang sosok Batman dalam triloginya yang beberapa tahun terakhir meledak. Kini Nolan mengenakan topi produser film Man of Steel, dan sudah jelas Snyder ingin mengadopsi “Nolanisme” ke dalam film yang sudah ditunggu-tunggu kehadirannya sejak kegagalan interpretasi Bryan Singer dalam Superman Returns (2006). Keinginan untuk membuat Man of Steel menjadi sebuah film yang kompleks secara emosional adalah sesuatu yang baru dan menarik, tetapi Snyder harus menyadari kekuatannya. Dia bukan Nolan yang tetap mampu membuat sebuah film superhero yang penuh laga sekaligus persoalan kecamuk hati sang protagonis.

Ketika kita mulai diperkenalkan tokoh-tokoh militer dan wartawan Lois Lane (Amy Adams) yang bersama-sama tengah menganalisa masuknya ‘pesawat /mahluk asing’ yang kemungkinan adalah ‘pesawat militer Soviet tua’, Snyder dan penulis skenario Goyer berhasil menaikkan rasa ingin tahu penonton. Ketegangan naik. Kita ingin tahu bagaimana reaksi Lois Lane jika mengetahui ‘jongos’ yang mengangkat kopernya adalah seorang ‘super man’; seseorang yang kelak merebut hatinya. Tetapi sepanjang film, meski akhirnya Lois Lane dan Clark Kent bersatu, jalan menuju asmara tak terbangun dengan rinci. Ada keinginan memberikan sosok Lois Lane yang kredibel sebagai wartawan dan ada keinginan memperlihatkan transisi Clark Kent manusia yang bergonta ganti pekerjaan yang akhirnya menjadi ‘Superman’ yang menyelamatkan dunia. Di antara kesibukan dua karakter penting itu, Snyder gelagapan membuat kisah asmara yang intens, yang sesungguhnya sangat mungkin terjadi di antara kekacauan.

Ketika Superman akhirnya berhadapan dengan Jenderal Zod yang bermaksud membangun planet Krypton dengan menghancurkan Bumi, maka kita mulai menyaksikan problem terbesar Snyder. Dia memang seorang sutradara laga (300, Watchmen, Sucker, Sucker Punch) tetapi tidak berarti babak ketiga film ini harus diisi adegan laga yang tak berkesudahan; yang hanya mengambil jeda sesaat setiap kali Jenderal Zod bergantian mengucapkan sekalimat ancaman bak film silat. Dengan kegilaan kemampuan CGI (Computer Generated Imagery) dan 3D, babak tiga film ini bukan saja mencoba menghadirkan muncratan air laut atau lontaran puisng gedung-gedung yang ditabrak Zod dan Superman, tetapi kita merasa sesak oleh adegan perkelahian yang tak kian selesai.

Persoalannya adalah: Zod sama kuat (jika tak lebih sakti) daripada Superman. Sudah dibanting-bantin seperti apapun, Zod tak kunjung mati. Sungguh lelah melihat kedua jagoan itu berkelahi hingga seluruh kota hancur lebur.

Michael Shannon yang memerankan Zod nampaknya tidak bisa mengulang keajaibannya dalam serial Boardwalk Empire—dia sangat bersinar sebagai agen FBI yang keji—nampak seperti monster robotik yang kerjanya mengucapkan satu kalimat ancaman yang bernada sama. Russel Crowe memang bukan Marlon Brando. Tetapi untuk film Superman versi ini, Crowe memang aktor yang tepat karena Jor-El versi Snyder adalah Ayah yang tak hanya berfilsafat, tetapi juga berperang dengan otot melawan Zod. Yang terakhir, Henry o Henry Cavill memang sebuah pahatan yang nyaris sempurna. Agak cilaka memasang aktor yang terlalu ganteng ini. Di dalam serial The Tudors, kita melupakan sosok Raja Henry VIII (Jonathan Rhys Mayers) karena terpukau kehadiran Charles Brandon yang diperankan oleh Henry Caville. Apalagi memasang aktor Inggris ini sebagai peran utama. Ada saat Kal El tampak seperti malaikat yang sedang turun dari langit, serangkaian adegan itu malah mengganggu karena Snyder terlalu memanfaatkan wajah Caville untuk berlama-lama disorot dari segala arah.

Akhir dari film ini ternyata disambut tepuk tangan riuh penonton karena –sebagai pengisi waktu jika dunia tak sedang kacau– Kal El memilih menjadi Clark Kent yang bekerja di Daily Planet sebagai wartawan, berdampingan dengan si manis Louis Lane. Keseharian ternyata sesuatu yang selalu didambakan penonton, karena itu terasa realistik dan milik penonton. Meski ‘keseharian’ dalam hidup nyata tak mungkin menyajikan seseorang seperti Henry Caville memperkenalkan diri sebagai wartawan.

Leila S.Chudori