Menguak Kisah Marsinah


Slamet Rahardjo meniupkan roh Marsinah ke atas layar perak. Film Marsinah lebih memotret sosok Marsinah dari mata Mutiari—tokoh yang dituduh sebagai otak pembunuhan—daripada menggunakan pendekatan biografis. Bagaimana Slamet menampilkan adegan penyiksaan?

Marsinah (Cry Justice)

Sutradara : Slamet Rahardjo Djarot

Skenario : Agung Bawantara, Karsono Hadi, Tri Rahardjo, Slamet Rahardjo, Eros Djarot

Pemain : Megarita (Marsinah), Diah Arum (Mutiari)

Produksi : PT Gedam Sinemuda Production

***

SEKELEBAT gambar hidup, sekelebat jeritan, sekelebat kematian. Marsinah hadir dalam adegan-adegan yang begitu cepat, susul-menyusul berdesakan dengan potongan gambar lain. Dia datang begitu cepat dengan semangat menggebu untuk memperjuangkan kenaikan upah buruh dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250 per hari. Dan dia pergi begitu cepat pada suatu malam tanggal 5 Mei 1993 dan tak pernah kembali. Empat hari kemudian, ia ditemukan tergeletak tak bernyawa dengan kondisi yang mengerikan di Dusun Jegong, Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur.

Tokoh Marsinah dalam rekaan sutradara Slamet Rahardjo Djarot hanya tampil dalam durasi yang begitu pendek. Namun, rohnya hidup hingga akhir film ini. Jika begitu banyak yang memprotes kenapa film ini memberikan porsi yang lebih banyak kepada Mutiari, harus dipahami bahwa penonton (Indonesia) tampaknya masih terbiasa dengan pendekatan biografis, terutama bila sosok yang diangkat sudah menjadi ikon, lambang, atau pahlawan.

Film ini pada akhirnya memang hanya mengambil satu cuplikan periode peristiwa yang dimulai dari demonstrasi para buruh PT Catur Putra Surya; disusul kematian Marsinah; pencidukan sembilan orang tertuduh, termasuk Mutiari, kepala personalia per-usahaan itu, yang dianggap sebagai otak pembunuhan; hingga pengadilan para tersangka.

Yang membuat film ini layak tonton adalah bagaimana sutradara menyajikan suasana interogasi para tertuduh dengan teknik dokumenter, kamera yang agresif, cepat, dan adegan-adegan yang menggebrak mata. Di sebuah markas militer, para tertuduh itu tampil close-up dalam kondisi “orang-orang yang kalah”, basah, menunduk, dan memberikan kesaksiannya kepada penonton tentang apa yang terjadi pada mereka. Slamet kemudian memilih Mutiari sebagai tokoh “jembatan” antara penonton dan subyeknya. Kepada penonton tidak disajikan seluruh adegan kekerasan secara telanjang dan verbal. Melalui reaksi Mutiari—yang disekap di ruang sebelah tempat penyiksaan—kita mendengar jeritan-jeritan tokoh Yudi Susanto, Yudi Astono, Karyono, Suwono, Suprapto, Prayogi, Bambang Wuryantoyo, dan Widayat. Secara sugestif, kamera merekam situasi mereka dalam ke-adaan yang paling hina yang tak pernah terbayangkan oleh peradaban mana pun. Justru karena kekerasan sesungguhnya tak divisualkan (“karena saya tak tega,”) demikian ungkap sang sutradara), efek sugestif itu malah mencekam dan menggerogot. Slamet sama sekali tak menyentuh materi siksaan secara verbal—seperti penis yang diolesi  minyak angin, penyetruman, atau pemaksaan minum air kencing—bukan hanya untuk kemanusiaan. Ini juga menjadi adegan-adegan yang melahirkan gambar yang jitu secara estetis dan sinematik.

Dari problem interogasi dan penyiksaan, penonton akhirnya memperoleh pandangan Mutiari atas segala peristiwa. Marsinah pada akhirnya menjadi roh yang mempertanyakan keadilan melalui kesenang-senangan dan rekayasa gila-gilaan dari seluruh kasus ini. Memang ini pilihan yang penuh risiko. Penonton mengharapkan dua hal: kesatu, profil Marsinah sejak kecil hingga ia tewas (dan pendekatan seperti ini punya risiko lain: romantisisme); atau kedua, sebuah investigasi memburu pembunuh Marsinah sebenarnya (pilihan ini akan memaksa Slamet Rahardjo menjadi detektif Sherlock Holmes). Slamet menolak kedua pendekatan itu, seperti halnya dia menolak banyak usul—termasuk ada usul memasang Krisdayanti sebagai pemeran Marsinah.

Maka pilihan mengambil Mutiari sebagai sosok “jembatan” untuk memandang ketidakadilan ini berisiko banyak hal: banyak penonton merasa judul film ini tidak tepat karena pada akhirnya Mutiari mengambil begitu banyak porsi.

Slamet mengaku berangkat dari data yang tersedia dan dia tak bersedia berspekulasi. Artinya, dia juga tak ingin menghakimi atau menyimpulkan siapa pembunuhnya. Sutradara Oliver Stone juga hanya menampilkan John F. Kennedy beberapa menit—dalam bentuk dokumenter—dalam film JFK dan lebih mengutamakan sosok asisten jaksa. Bedanya, Stone berani bersikap—dengan teori konspirasi yang agak gegabah—tentang pembunuhan JFK.

Terlepas dari sikap Slamet yang dianggap terlalu “santun” itu, ada beberapa hal yang perlu dipujikan dalam film ini. Pertama, adegan-adegan teknik dokumenter yang penuh sesak. Setiap kali adegan Marsinah, gambar berubah menjadi hitam-putih bak sebuah dokumen yang tengah bercerita. Adegan-adegan kilas balik ini berselang-seling dengan berbagai adegan penyiksaan para tersangka yang disajikan secara sugestif. Kedua, akting para pemainnya—yang sama sekali bukan pemain profesional—yang luar biasa wajar, menyentuh, dan alamiah. Mereka tampil tanpa pupur, lipstik, atau teori akting Stanislavsky yang membebani pundak. Dalam hal ini, baik para pemain maupun sutradaranya layak diberi penghargaan.

Ketiga, keberanian Slamet dan timnya untuk menampilkan adegan kekejaman—meski sugestif—sebagian anggota militer. Ini adalah sesuatu yang baru dalam perfilman Indonesia, bahkan pasca-Orde Baru, yang melahirkan film-film komersial, persona yang sama sekali tak menyentuh persoalan sosial dan politik negeri ini.

Yang perlu dikritik adalah keengganan Slamet untuk menampilkan Marsinah sebagai manusia biasa. Meski ia sudah telanjur tampil sebagai ikon, dan meski Slamet tak ingin menggunakan pendekatan biografis, penonton tetap ingin tahu sosok Marsinah yang lengkap. Selain aktif memperjuangkan hak buruh dan sibuk bekerja di pabrik, bagaimana kehidupan sehari-harinya? Bagaimana hubungannya dengan keluarganya dan rekan-rekannya? Apa sih hobinya? Di beberapa media, teman-temannya yang diwawancarai sering mengatakan Marsinah senang membaca buku primbon untuk iseng. Kenapa sisi-sisi human seperti ini tak ditampilkan untuk memperlihatkan bahwa ia juga seorang gadis yang memiliki hidup yang wajar? Seorang pahlawan, bagaimanapun hebatnya dia, pasti akan dipandang juga sebagai manusia yang lengkap dengan jiwa dan kegairahannya dengan hidup. Saya yakin, penonton pemuja Marsinah mana pun tak keberatan memandang dia sebagai manusia.

Pada akhir film, Slamet melemparkan sebuah pertanyaan untuk republik ini—yang selalu saja terlindas oleh rutinitas sehari-hari, sehingga melupakan satu jiwa yang masih belum jelas pembunuhnya. Pertanyaan itu dilontarkan melalui bibir Marsini ketika para tersangka dibebaskan: “Jika bukan mereka, siapa pelakunya?”

 

Leila S. Chudori

TEMPO, 21 April 2002,  Rubrik Layar