The Hunger Games
SEBATANG ANAK PANAH, SEHELAI NYAWA DAN KATNISS
Duapuluh empat remaja dikumpulkan di tengah hutan untuk bertarung saling membunuh. Yang terakhir bertahan keluar sebagai pemenang.
Sutradara : Gary Ross
Skenario : Suzanne Collins dan Billy Ray
Berdasarkan novel karya Suzanne Collins
Pemain : Jennifer Lawrence, Josh Hutcherson, Woody Harrelson, Donald Sutherland, Wes Bentley, Liam Hemsworth, Stanley Tucci, Elizabeth Banks
Nun di Amerika Utara pasca-apokaliptik , hidup sebagai penduduk Panem adalah sebuah mimpi buruk. Bukit gersang, hutan yang kehabisan nafas, sisa-sisa binatang yang diam-diam diburu adalah cara mereka bertahan hidup. Kehidupan penduduk di12 distrik itu ada dalam genggaman President Coriolanus Snow (Donald Sutherland) dan para pejabat tinggi di Capitol. Akibat pemberontakan yang dilakukan Distrik 13 di masa lalu, maka tiap tahun ke 12 distrik lainnya dihukum dengan kewajiban menyerahkan sepasang remaja lelaki dan perempuan untuk menjadi peserta sebuah lomba keji yang disebut The Hunger Games. Ke 24 remaja berusia 12 hingga18 tahun itu kelak dikumpulkan, ditranspor ke kota, dijamu dan didandani berkilap-kilap sembari segala tingkah lakunya disaksikan seluruh penjuru dunia seperti sebuah reality-show. Mereka lantas dilepas ke hutan dengan bekal seadanya dan dibiarkan mencoba bertahan, berebut bekal dan obat-obatan, saling melukai dan membunuh . Yang terakhir bertahan akan keluar sebagai pemenang.
Binatang? Kembali ke zaman purba?
Ini memang plot yang keji, apalagi jika mengingat film ini diangkat dari novel remaja (bahasa penerbit masa kini, ini novel young-adult) trilogi karya Suzanne Collins yang meledak di dunia. Tetapi di sini ada pahlawan remaja perempuan bernama Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) dari distrik 12 yang sejak awal sudah merebut hati penonton. Dia adalah puteri sulung dari keluarga Everdeen yang ambruk. Sang ayah, buruh tambang batubara, tewas dalam kecelakaan. Sang Ibu (Paula Malcomson) tak bisa berfungsi sebagai orangtua. Katniss yang baru berusia 16 tahun itulah yang dengan sigap merawat adiknya, Primrose (Willow Shields) yang empat tahun lebih muda daripadanya. Dengan anak panah dan busurnya, Katniss berburu binatang apa saja—yang sebetulnya dianggap ilegal—agar adiknya jangan sampai kelaparan.
Begitu protektifnya pada sang adik, Katniss segera saja menyediakan diri untuk menggantikan Prim menjadi peserta lomba The Hunger Games. Primrose yang semula terpilih secara acak itu terselamatkan oleh Katniss. Sedangkan peserta lain yang juga terpilih untuk berangkat ke Capitol adalah Peeta Mellark (Josh Huthcerson), remaja lelaki yang sudah lama jatuh hati pada Katniss .
Di Capitol yang mewah dan penuh warna-warni itu, para penduduknya yang berdandan seperti anggota cirq du soleil menatap para peserta dengan rasa takjub, penuh gairah dan kekejian. Inilah pertandingan sudah diselenggarakan berpuluh kali mana mereka melihat anak-anak saling membunuh untuk saling bertahan. Warga Capitol yang kaya raya biasanya diharapkan menjadi sponsor bagi peserta yang mereka sukai (mengirim makanan, obat-obatan atau keperluan apa saja melalui parasut terbang).
Untuk menarik perhatian sponsor, Katniss dan Peeta diberikan seorang pengarah gaya bernama Cinna ( Lenny Kravitz yang sungguh lezat dan rock and roll) yang bertugas “membuat penampilan kalian agar melekat di benak pemirsa.”
Di antara kesibukan latihan dan intrik politik antar peserta tokoh-tokoh, Katniss dan Peeta harus berhadapan dengan berbagai tingkah dan gaya para pejabat pertandingan seperti Seneca Crane (Wes Bentley), pimpinan pertandingan yang berjanggut melingkar-lingkar yang menentukan nafas dan arah pertandingan, termasuk kapan mereka harus menampilkan binatang jadi-jadian atau kapan mengguyur lokasi peserta dengan api. Ada Haymitch Abemathy (Woody Harrelson), mentor Katniss dan Peeta , alumni pemenang yang meski tenggelam dalam alkohol toh peduli kepada anak-anak didiknya. Lalu ada pula Caesar Flickerman (Stanley Tucci) yang berfungsi seperti Ryan Seacrest dalam pertandingan yang disaksikan jutaan pemirsa. Tugasnya mengeksploitasi cerita pedih setiap peserta untuk membuat pertunjukan ini semakin menggairahkan sekaligus menimbulkan emosi para sponsor.
Film ini sejak awal sudah merebut perhatian para pembaca Suzane Collins, novelis yang berhasil membawa genre dystopia–yang lazimnya digenggam oleh sastrawan seperti Adolf Huxley dan George Orwell—ke tataran remaja. Sebuah dunia masa depan yang dikuasai oleh ‘pemerintah’ yang otoriter yang melahirkan peraturan-peraturan yang sedemikian fasisnya hingga rakyat tak memiliki hidupnya sendiri. Di dalam dunia rekaan Suzanne Collins yang diadaptasi dengan cukup setia oleh sutradara Gary Ross ini, bukan hanya perbedaan antara yang luar biasa kaya dan hedonistik di Capital dengan yang miskin di 12 Distrik itu sungguh memualkan, tetapi juga bagaimana kompetisi gaya gladiator bernama The Hunger Games yang menjadi hiburan itu ditampilkan dengan kegairahan .
Jennifer Lawrence sudah pernah tampil dalam peran serupa dalam film indie Winter’s Bone (Debra Granik, 2010) sebagai seorang kakak sulung yang mengambil alih mengurus dan melindungi adik-adiknya sementara sang Ayah menghilang dan sang Ibu hilang ingatan. Dalam film ini, dia bukan hanya seorang kakak yang penuh kasih dan tanggungjawab, tetapi dia juga seorang jagoan bertarung karena kelincahannnya memburu binatang tak terkalahkan.Menghadapi serombongan anak-anak ‘geng populer’ Cato dan Marvel yang tengil itu tentu saja membuat simpati penonton kepada cewek underdog ini semakin berlipat-lipat.
Yang membuat film ini jauh lebih unggul dan lebih enak ditonton ketimbang sesama film remaja yang juga sukses di pasar (ya, serial dungu berjudul Twilight itu), adalah karena protagonis kita diciptakan sebagai perempuan yang perkasa, mandiri, jago memanah sekaligus penuh kasih dan perlindungan terhadap yang lebih lemah. Kita tak perlu mendengar desah cemas dan kalimat galau idiotik selama dua jam 20 menit itu. Tak berarti pertarungan antar remaja itu sama sekali tak melibatkan roman remaja. Tentu saja mereka juga masih punya hormon dan kegairahan. Tarik ulur antara Katniss dan Peeta menjadi kompleks karena kita tahu nun di kampungnya Katniss juga mempunyai kawan baik bernama Gale (diperankan dengan kaku seperti batang kayu oleh Liam Hemsworth).
Untuk mereka yang bertanya-tanya apakah film ini akan menyajikan kebrutalan macam film Jepang Battle Royale (Kinji Fukasaku, 2000), jangan khawatir, Nampaknya sutradara Gary Ross dan timnya sepakat untuk mengejar PG-13, artinya film ini harus bisa ditonton oleh remaja. Karena itu adegan pembunuhan dan kematian peserta yang kalah selalu saja direkam dengan long-shot, sehingga penonton hampir tak perlu melihat darah barang setetespun. Bahkan beberapa kali kita hanya mengetahui kematian beberapa peserta melalui bunyi bel (yang menandakan tewasnya seorang peserta). Jadi bagi para ibu yang tempo hari mengkerut menyaksikan film The Raid, misalnya, tak perlu membandingkannya dengan film The Hunger Games. The Raid adalah film laga untuk penonton dewasa. The Hunger Games adalah film drama remaja.
Dengan kata lain, meski ide pertandingan ini sungguh brutal, namun sutradara Gary Ross menampilkan adegan-adegan yang lunak.
Kekerasan dan kekejian justru lebih diperlihatkan dari sikap Presiden Snow dan penyelenggara pertandingan yang jengkel terhadap tingkah laku perlawanan Katniss dan Peeta pada babak final. Bukan saja pasangan remaja ini mempermalukan para pejabat Capitol, tetapi juga secara politis sungguh berbahaya jika anak-anak dari distrik miskin ini seolah mendiktekan keputusan mereka.
Film The Hunger Games adalah satu dari rangkaian trilogi yang asyik ditonton dan layak ditunggu lanjutannya.
Leila S Chudori