Tentang novel “Pulang” karya Leila S. Chudori dan Kontekstualisasi Fakta Historisnya[1]


 Oleh Budiawan[2]

Saya ingin melakukan kontekstualisasi fakta historis yang terkandung di dalam novel ini, yakni perihal para eksil politik Indonesia sesudah Peristiwa 30 September 1965 terjadi. Kontekstualisasi ini mungkin bermanfaat untuk memperkaya wawasan sejarah, yang di dalam novel ini menyisakan sejumlah celah. Sebuah novel, bahkan novel sejarah sekalipun, memang tidak berpretensi untuk menuturkan kisah sejarah itu sendiri.

Sebelum melakukan kontekstualisasi itu, saya merasa perlu memaparkan ringkasan isi novel ini. Sebab, saya tidak boleh berasumsi bahwa semua yang hadir dalam forum ini sudah membaca novel ini. 

***

Novel ini berkisah tentang empat eksil politik Indonesia yang menjadi pendiri “Restoran Tanah Air” di Paris: Dimas Suryo, Nugroho Dewantoro, Risjaf, dan Tjahjadi Sukarna [Tjai Sin Soe]). Keempatnya adalah wartawan – kecuali Tjai – pada Kantor Berita Nusantara sebelum Peristiwa 30 September 1965 terjadi.

Menjelang Peristiwa 30 September 1965 terjadi, Dimas Suryo dan Nugroho menghadiri Konperensi International Organization of Journalists di Santiago, Chile. Sedangkan Risjaf menghadiri ‘event’ lain di Havana, Kuba. Sementara Tjai meninggalkan Indonesia menuju Singapura hanya beberapa waktu sesudah Peristiwa 30 September 1965 terjadi.  Bagaimana mereka bisa bertemu kembali, lalu mendirikan Restoran “Tanah Air” di Paris?

Pucuk pimpinan Kantor Berita Nusantara, Hananto Prawiro, dikenal sebagai seorang jurnalis kawakan yang ‘sangat kiri’ atau pengikut PKI. Karena itulah Kantor Berita ini pun dianggap sebagai ‘sarang pengikut/simpatisan PKI’, meskipun tidak semua wartawan/karyawannya pengikut PKI, bahkan ada yang haluan politiknya berseberangan dengan pimpinan. Kantor Berita inipun tidak luput dari razia tentara, polisi dan pemuda anti-PKI pada hari-hari dan minggu-minggu sesudah Peristiwa 30 September 1965 terjadi. Hananto Prawiro menjadi buronan (dan tertangkap pada April 1968).

Sadar bahwa situasi politik di Indonesia pasca-30 September 1965 bukan hanya sedang tidak berpihak tetapi sangat berbahaya bagi siapapun yang dengan mudah bisa dikait-kaitkan dengan PKI, maka Dimas Suryo dan Nugroho serta Risjaf tidak berani memutuskan untuk pulang. Selain itu, dan ini alasan yang lebih penting, mereka memang tidak mungkin bisa pulang karena paspor mereka dicabut. Mereka pun lalu pergi ke Peking, bertemu dengan orang-orang Indonesia yang juga mengalami nasib sama. Dari Peking lalu ke Eropa, dan keempatnya ketemu di Paris. Sejak itulah (1968) mereka menyandang status sebagai eksil politik Indonesia, sebelum kemudian setelah beberapa tahun menetap di sana memperoleh status sebagai warga negara Prancis. Untuk bertahan hidup, setelah menjalani sejumlah pekerjaan serabutan, mereka mendirikan restoran masakan Indonesia yang mereka namai “Restoran Tanah Air”.

Dimas Suryo, eksil politik yang menjadi tokoh sentral dalam novel ini, dikisahkan sebagai seseorang yang senantiasa memendam harapan dan keinginan untuk pulang ke Indonesia, entah hidup atau mati. Sebab baginya “Indonesia” adalah rumah, kendati pemerintahnya (mungkin juga sebagian warganya) tidak menghendaki kehadirannya.

Dimas Suryo menikah dengan perempuan Prancis, Vivienne Deveraux, dan punya anak yang dia namai Lintang Utara. Singkat cerita, Lintang dewasa pergi ke Jakarta untuk menyelesaikan tugas akhirnya di universitas Sorbonne, yaitu membuat film dokumenter yang berisi wawancara dengan para eks-tapol Peristiwa 1965 beserta keluarga mereka. Ia pergi ke Jakarta pada bulan Mei 1998, ketika situasi politik Indonesia memanas antara lain sebagai dampak dari krisis monoter sejak 1997, dan tuntutan agar Presiden Suharto mundur pun semakin kencang.

Selang sebulan kemudian, ayahnya menyusul ke Jakarta. Akhirnya ia benar-benar bisa pulang, tetapi sudah menjadi satu dengan tanah.

***

Dalam kenyataan, eksil politik seperti Dimas Suryo dkk. itu (hingga) kini jumlahnya masih (se)ribuan, bahkan mungkin lebih, dan tersebar di berbagai negara Eropa. (Majalah berita mingguan Gamma, edisi 9 Januari 2000 mencatat [sampai dengan akhir 1999] ada sekitar 1400 orang). Pertanyaannya: mengapa dan bagaimana mereka sampai menjadi eksil politik? (Menjadi eksil politik jelas bukan pilihan mereka, tetapi rezim Orde Barulah yang memaksa mereka menyandang status itu).

Latar belakang yang membuat mereka terpaksa menjadi eksil memang beragam. Tetapi secara umum jawabannya bisa dilacak ke akhir 1950-an, ketika Presiden Sukarno dengan Dekritnya mencanangkan apa yang disebut Manipol USDEK (Manifestasi Politik UUD 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia). Terkait dengan poin keempat, yakni Ekonomi Terpimpin, Sukarno menjabarkannya sebagai suatu cita-cita Indonesia sekian puluh tahun ke depan, yaitu Indonesia dengan ekonomi berdikari, yang sanggup mengolah segala bahan mentah – baik hasil tambang maupun pertanian dan perkebunan – yang ada di bumi Indonesia. Untuk itulah sejak 1960 hingga 1965 pemerintah secara bergelombang mengirimkam ribuan kaum muda untuk belajar di universitas-universitas di negara-negara blok sosialis,  misalnya Uni Soviet, Yugoslavia, Rumania, Cekoslovakia, Hungaria, Albania, Polandia, Bulgaria, Jerman Timur, Kuba, RRT, dsb. (Negara-negara blok sosialis waktu itu memiliki kedekatan politik dengan Indonesia, dan hendak dijadikan sebagai model pembangunan industri oleh Presiden Sukarno). Mereka belajar di berbagai disiplin ilmu, dari teknik, kedokteran, ekonomi, pendidikan hingga linguistik.

Mereka yang dikirim ke negara-negara blok sosialis itu belum tentu memiliki haluan politik dan ideologi pada PKI. Namun yang jelas mereka mendukung ide Nasakom-nya Sukarno. Sesudah Peristiwa 30 September 1965 terjadi dan kekuasaan Sukarno secara de facto sudah diambil-alih oleh Suharto dan rezim Orde Baru (dengan pilarnya Angkatan Darat) secara de facto pula sudah mulai berkuasa, mereka – para mahasiswa Indonesia di negara-negara blok sosialis itu – dihadapkan pada tuntutan politik rezim Orba: mengutuk G30S sebagai bikinan PKI dan menolak kepemimpinan Sukarno, atau mendukung tindakan Suharto membubarkan PKI dan sekaligus menerima kepemimpinannya. Bila mereka memilih pilihan pertama, maka mereka pun bisa pulang ke Tanah Air dengan aman, karena dianggap telah melakukan transformasi mental menjadi “Orde Baru”-is. (Salah satu contohnya adalah Tungki Aribowo, yang belajar di Yugolsavia, dan sepulang ke Indonesia lalu memimpin Krakatau Steel). Sebaliknya, bila mereka tidak memilih pilihan pertama, maka mereka bukan hanya dicap sebagai masih bermentalitas Sukarnois, tetapi juga pendukung atau simpatisan PKI. Konsekuensinya, status kewarganegaraan mereka sebagai WNI pun dicabut. Karena kebanyakan dari mereka merasa tidak tahu persis apa yang sesungguhnya terjadi dengan G 30 S, serta masih memandang Sukarno sebagai pemimpin bangsa dan negara Indonesia, maka mereka pun mengalami konsekuensi itu: dicabut status mereka sebagai WNI. Mereka pun menjadi ‘stateless’ atau tak berkewarganegaraan.

Kebanyakan dari mereka masih bertahan di negara-negara blok sosialis itu – yang di masa Orde Baru hubungan diplomatiknya dengan Indonesia relatif dingin, bahkan ada yang putus sama sekali, yaitu RRT. Di negara-negara sosialis itulah mereka berkarya dalam berbagai bidang kehidupan, menyumbangkan keahlian mereka pada pemerintah dan masyarakat di negara-negara itu. Ketika tembok Berlin runtuh dan rezim-rezim komunis goyah atau bahkan jatuh, banyak di antara mereka hijrah ke Eropa Barat (dan beberapa negara lain) sebagai pengungsi politik, sebelum akhirnya memperoleh status sebagai warga negera di mana mereka kemudian menetap.

Di negara-negara baru itu sebagian beruntung mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka, misalnya seperti Dr. Warunojati yang bekerja di Max Planc Institute, Jerman; Dr. Sri Basuki, apoteker, yang bermukim di Berlin; Dr. Ernoko Adiwasito, ekonom, menjadi dosen di Venezuela; Dr. Sophian Walujo (tokoh Perguruan Taman Siswa), ahli pendidikan anak terbelakang mental, menjadi dosen di Swedia. Namun, tidak sedikit yang kurang beruntung, dalam arti tidak mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka. Yang kurang beruntung itulah yang antara lain lalu mendirikan restoran masakan Indonesia, sebagaimana yang menjadi fokus cerita novel ini.

***

Cerita-cerita itu nyaris tak pernah terdengar dalam buku-buku sejarah, entah tidak resmi apalagi resmi. Cerita-cerita tentang ribuan kaum terpelajar Indonesia yang pada mulanya disiapkan oleh Sukarno untuk menjadi pilar-pilar penyangga cita-cita Indonesia dengan Ekonomi Berdikari itu sepanjang Orde Baru berkuasa boleh dibilang ‘non-existent’, tak ada dalam wacana publik, tak hinggap kedalam memori sosial. Bahkan rezim Orba ketika mulai menggelindingkan wacana tentang perlunya pengembangan sumber daya manusia (SDM) pada awal 1980-an, masih sempat mengatakan Sukarno dengan Orde Lamanya lebih sibuk dengan politik dan revolusi, ketimbang dengan pembangunan ekonomi dan sumberdaya manusia. Rezim Orba lupa atau sengaja lupa bahwa wacana pengembangan SDM itu sudah dilakukan dua puluh tahun sebelumnya.

Pasca-Suharto jatuh, kisah-kisah dan cerita-cerita tentang para eksil politik Indonesia itupun mulai bermunculan. Kini kita sadar bahwa dalam perjalanan sejarah Indonesia pasca-1945 kita pernah membuang dan menyia-nyiakan satu generasi emas hanya karena perbedaan haluan politik. Novel ini adalah bagian dari manifestasi kesadaran itu – sebuah kesadaran dan ingatan yang perlu diwariskan tak lain agar generasi mendatang tidak mengulanginya. Disinilah makna kehadiran novel ini dalam konteks meninjau kembali historiografi kita, yakni menghadirkan salah satu sisi perjalanan sejarah kita yang dulu dengan sengaja dilupakan oleh rezim Orba.

Dalam posisinya sebagai karya sastra, tentu novel ini bisa dibaca lebih dari dari sekedar “mengungkapkan sejarah yang dilupakan itu”. Tetapi saya merasa ini di luar porsi saya. Terim kasih.

===============


[1]  Disampaikan dalam Diskusi Novel “Pulang” di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta, Jumat 1 Maret 2013.

[2]  Dosen tidak tetap di Jurusan Sejarah, FIB UGM.